Desakan agar Joko Widodo atau Jokowi, Gubernur DKI Jakarta saat ini, ikut berlaga dalam ajang pemilihan presiden 2014 semakin menguat. Misalnya, Minggu (12/1) pekan lalu, bertempat di Bunderan HI, Jakarta, Sekretariat Nasional Jokowi menggelar Pawai Budaya: Jokowi Presiden RI 2014.

Pawai diikuti sekitar 3.000 pendukung, mulai dari warga atau komunitas seputar Jabodetabek, dan peserta dari berbagai daerah (peserta Rakernas I Seknas Jokowi). Kegiatan ini dilengkapi dengan berbagai atraksi kesenian di antaranya adalah kesenian Tanjidor, Reog Ponorogo, Barongsai, dan Marching Band, dan juga diikuti oleh Forum Komunikasi Waria yang mengadakan fashion street, serta berbagai atraksi lainnya.

Kendati besar harapan masyarakat untuk mengusung Jokowi menjadi presiden namun PDI Perjuangan, partai tempat Jokowi bernaung, belum juga mengikuti kehendak masyarakat. Untuk mengetahui lebih jauh apa sebenarnya yang terjadi, Mungky Sahid, reporter Gresnews.com, mewawancarai Wakil Sekretaris Jenderal Ahmad Basarah di kantor PDI-P, Sabtu (11/01). Ahmad Basarah juga menguraikan landasan PDI-P dalam berinteraksi dengan parpol lainnya. Berikut petikan wawancaranya:

PDIP saat ini terkesan tarik-ulur mengumumkan capres yang akan diusung kenapa? Apakah suara di internal partai belum solid?
Yang bilang tarik-ulur itu kan eksternal partai, media, publik, pengamat dan lain sebagainya. Bagi PDI Perjuangan tidak ada tarik-menarik seperti yang dipersepsikan publik. Yang bilang tarik-menarik itu siapa? Kan publik, karena yang terjadi di PDI Perjuangan bukan persoalan tarik-menarik dalam persepsi yang negatif. Yang sedang kita lakukan adalah proses dialektika. Proses dialektika sebagai sebuah partai politik tentu kan kita harus menguji setiap tesis pasti ada anti-tesisnya dari anti-tesis itu menghasilkan terus berputar lagi menjadi tesis, lalu anti-tesis lagi, inilah yang disebut proses dialektika berpartai.

Kalau orang yang tidak mengerti jati diri ideologinya PDI Perjuangan pasti akan melihat dinamika politik itu secara linier, padahal politik itu ada dinamikanya, dia selalu berputar dengan paradigma dialektis yang tadi saya sebutkan. Bahwa kalau PDIP hanya menyandarkan keputusannya dalam setiap pemilihan calon pejabat publik yang akan dipilih lewat Pemilu hanya pada faktor survei, maka Jokowi dan Ganjar Pranowo pasti tidak akan pernah dicalonkan sebagai Gubernur DKI dan Jawa Tengah karena pada awalnya survei mereka berdua sangat rendah yaitu hanya masing-masing 7% dan 3,5% dan jauh di bawah incumbent Fauzi Bowo dan Bibit Waluyo yang sudah di atas 40%.

Artinya melihat kondisi juga?
Oh iya, bagi PDI Perjuangan soal Pilpres itu menyangkut kepemimpinan bangsa Indonesia. Kepemimpinan tokoh yang akan menjadi nahkoda terhadap arah dan tujuan berbangsa dan bernegara kita. Itu sangat complicated, sangat berat dalam pengertian di tengah situasi dan bangsa yang sedang mengalami krisis multidimensi seperti sekarang ini. Negara yang sedang mengalami krisis multidimensi ini mulai dari persoalan ideologi, moral berbangsa, politik yang tidak lagi berdaulat, ekonomi yang dikuasai asing, kepribadian yang sudah jauh dari jati diri bangsa Indonesia, masalah pertahanan yang sudah mulai terganggu kedaulatannya, dan lain- lain. Sehingga tidak bisa urusan mencari pemimpin bangsa Indonesia untuk menangani krisis multidimensi semacam itu, hanya diputuskan oleh faktor elektabilitas.

Apakah survei itu tidak terlalu berpengaruh pada jadi tidaknya calon yang diusung?
Survei hanya salah satu faktor saja. Di dalam mengidentifikasi, merumuskan dan mencari solusi atas persoalan bangsa yang mengalami krisis multidimensi yang semacam itu. Sehingga bagi PDI Perjuangan tidak ada situasi dan kondisi tarik-menarik kemudian ada orang yang menyebut ada faksi-faksi yang menyebut pro dan kontra Jokowi, itu tidak ada sama sekali. Kalau orang memahami dan para pengamat politik itu mau menganalisis cara berpikir dan cara bersikap PDI Perjuangan mestinya pelajari dulu ideologinya. Kan ideologi yang kita anut itu kita turunkan, kita implementasikan dalam kebijakan-kebijakan partai. Salah satu misalnya, kita menjadikan Trisaktinya Bung Karno itu menuju masyarakat Pancasila 1 Juni yaitu masyarakat yang religius, berkeadilan, yang menjaga persatuan dan kebhinekaan dengan cara-cara demokrasi untuk menuju pada kesejahteraan sosial. Menuju ke arah situ adalah Trisakti Bung Karno, yaitu berdaulat di bidang politik, kemudian berdikari di bidang ekonomi dan kepribadian di bidang kebudayaan.

Nah berdaulat di bidang politik dalam konteks ke-Indonesia-an itu kita ingin semua kebijakan-kebijakan bangsa Indonesia, harusnya tidak didikte oleh kepentingan- kepentingan bangsa asing. Di turunkan dalam konteks kepartaian keputusan-keputusan politik PDI Perjuangan juga harus berdaulat tidak boleh keputusan PDI Perjuangan diintervensi oleh siapapun dan apapun termasuk oleh hasil survei. Kalau mereka memahami jati diri PDI Perjuangan yang seperti itu mestinya tidak ada perdebatan yang pro-kontra salah menganalisis. Termasuk apa yang kita pikirkan hari ini termasuk soal pencapresan. Karena sekali lagi urusan Pilpres itu adalah urusan memilih dua orang anak bangsa yang akan menjadi nahkoda dari sebuah kapal besar bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia ini yang tengah berada di lautan yang penuh ombak, penuh badai, penuh petir, di bawahnya itu ada ikan-ikan buas, yang siap ketika kapal ini oleng dan tenggelam isi kapalnya langsung di caplok oleh ikan-ikan buas itu tadi.

Pertanyaannya kemudian, apakah patut kita hanya memikirkan tingkat elektabilitas semata? Artinya dalam konteks kepentingan bangsa yang lebih besar PDI Perjuangan tidak akan terjebak pada pragmatisme politik yang memang itu menjadi ciri dari sebuah sistem demokrasi liberal, yang sekarang ini sedang dipraktekkan oleh bangsa Indonesia. dimana sebagian masyarakat kita juga terjebak dalam demokrasi liberal itu yang membawa sifat-sifat pragmatisme, sikap-sikap instan yang tidak mau memikirkan hal-hal yang substansial serius dengan cara sungguh-sungguh. Demokrasi kita bukan demokrasi angka, demokrasi kita bukan hitungan hasil suara (responden survei maksudnya). Demokrasi yang substansif adalah demokrasi yang mampu membawa bangsa ini keluar dari krisis menuju kepada kesejahteraan rakyat. itulah yang oleh Bung Karno disebut sebagai socio-democracy. Dari ajaran Marhaenisme itu kan pertama ada socio nasionalisme, socio demokrasi dan ketuhanan.

Socio nasionalisme adalah kita ingin ikut dalam pergaulan bangsa-bangsa di dunia. Kita bukan bangsa yang chauvinism, tetapi pergaulan bangsa-bangsa itu haruslah meletakkan standar hubungannya dalam pola-pola yang saling menghormati saling harga-menghargai dan saling menguntungkan. Socio demokrasi adalah sebuah paham demokrasi yang demokrasi itu bukan demokrasi politik tapi juga demokrasi ekonomi. Artinya adalah demokrasi harus bersentuhan langsung dengan kesejahteraan rakyat. Dan yang ketiga adalah ketuhanan. Bahwa socio nasionalisme dan socio demokrasi harus dipandu atas dasar nilai-nilai ketuhanan, itu marhaenismenya Bung Karno. Ini yang kita pegang sebagai pijakan. Jadi demokrasi kita bukan demokrasi barat, yang the winner take all, segala-galanya dihitung oleh hasil suara. Demokrasi kita adalah demokrasi yang dipimpin oleh kerakyatan, hikmat dalam kebijaksanaan. Dan kita (PDI Perjuangan) menempatkan survei hanya sebagai salah satu pertimbangan, bukan segala-galanya.

Apakah ini juga berkaca pada pengalaman Pemilu 2009 lalu, dimana PDIP dalam beberapa survei sempat leading bahkan mengungguli Golkar, namun kenyataannya hasil Pilegnya justru tidak?
Sekali lagi saya katakan itulah dinamika politik. Itulah mengapa PDI Perjuangan tidak terburu-buru memutuskan komposisi capres dan cawapres. Situasi politik ke depan, jangankan hitungan bulan, hitungan detik saja masih mungkin terjadi dinamika lain. Nah kita tidak ingin tersandera oleh sebuah keputusan premature yang membuat ketika ada faktor-faktor lain yang kemudian muncul di tengah jalan, tetapi kita sudah terlanjur memutuskan, kan tersandera? Kami tidak ingin tersandera oleh keputusan kami sendiri.

Apakah ini jadi indikator juga, misalnya Ibu Megawati mengumumkan sekarang siapa calonnya, katakanlah Jokowi begitu, itu mengesankan kekhawatiran bu Mega jika nanti para kadernya tidak bekerja, hanya tinggal memasang fotonya Jokowi dalam baliho-baliho mereka?
Sejak kongres kedua, sebelum kongres terakhir tahun 2010 PDI Perjuangan telah menegaskan komitmennya untuk menjadi partai modern dengan ruh kerakyatan. Itu harus dikembangkan dan dibina diatas sistem kepartaian. Diatas sistem kepartaian ini adalah salah satunya program kaderisasi partai. Program kaderisasi partai dan program-program yang lain, yang itu kita rumuskan dalam program PDI Perjuangan, yang menempatkan sistem kepartaian diatas managemen partai secara modern. Sehingga oleh karena itu, PDI Perjuangan bukan partai yang bekerja pada saat Pemilu tapi diputuskan dalam kongres seluruh program partai itu dilaksanakan oleh seluruh kader partai. Baik yang di struktur, legislative dan eksekutif, dalam hal ini kepala-kepala daerah. Inilah yang kami sebut dengan konsep Sinergi Tiga Pilar Partai. Sehingga kita bekerja diatas sistem kepartaian, bukan orang-perorang (baca: figur). Oleh karena itu kita tidak ingin kader-kader PDI Perjuangan tidak percaya diri. Oleh karena itu, kami tidak ingin mempunyai kader-kader yang malas, yang tidak ingin bekerja dan berada di tengah- tengah rakyat, kemudian mereka ingin menjadi anggota dewan. Kalau anggota DPR yang terpilih seperti itu maka akan rugi juga rakyat.

Tapi ada parpol yang merekrut kadernya karena figur. Misalnya artis?
Itulah yang saya katakan, pemahaman partai-partai politik tidak dipahami oleh sebagian partai-partai politik yang ada di Indonesia. mereka hanya menjadikan partainya partai electoral menjelang pemilu. Sehingga pemahaman dan sikap menjadikan partai politik itu menjadi sebuah mesin electoral untuk mendulang suara menjelang Pemilu digunakanlah cara-cara pragmatis. Dengan cara merekrut artis atas dasar pertimbangan popularitas. Ini yang saya katakan merusak sistem kepartaian. Kalau saya bandingkan pertanyaanmu secara linier tadi apa bedanya dengan memanfaatkan popularitas Jokowi sekarang? Ini yang jadi catatan kenapa media dan publik melihat ini sebagai ambigu? Persoalan Jokowi ini, ingin menjadikan atau tidak, itu sepenuhnya kewenangan ibu Mega.

Masalahnya bila PDIP benar-benar mencalonkan seseorang yang bukan Ketumnya atau trah Soekarno seperti itu, akan menjadi parpol pertama dalam sejarah Indonesia yang menempatkan kadernya sebagai capres. Apa itu akan meruntuhkan oligarki sejarah PDIP?
Itu kan teori-teori politik yang belum tentu berkesuaian objektif dengan kepartaian di Indonesia. Oleh karena itu saya menghimbau kepada kalangan media, pengamat politik dan lain-lain sebagainya, untuk menganalisis sebuah prototype dari sebuah partai politik, hendaknya dia memahami jati diri partai itu, mulai dari ideologinya, platformnya karena itu yang akan kemudian menjadi ciri cara berpikir dan pedoman cara bertindak bagi setiap partai politik. Tadi sudah saya katakan urusan pencapresan bukan urusan elektabilitas. Tapi ini menyangkut nasib bangsa yang sedang mengalami krisis multidimensi seperti sekarang ini. Sehingga karena itu kita tidak meletakkan pertimbangan-pertimbangan itu semata-mata pada faktor elektabilitas ataupun pada pertentangan dikotomi ketua umum ataupun bukan ketua umum, trah tertentu dan bukan trah tertentu. Kalau kita salah memilih pemimpin ditengah badai dan hujan yang penuh ombak dan petir yang dibawahnya itu banyak ikan buas. Yang jadi korban itu kita semua, termasuk media. Jadi oleh karena itu kami memanfaatkan waktu yang disediakan oleh undang- undang untuk melakukan kajian-kajian terhadap identifikasi masalah bangsa hari ini dan kebutuhan-kebutuhan untuk menjadi bahan solusinya. Kenapa kami harus tergesa-gesa?

Terkait koalisi. Belajar dari koalisi yang dilakukan oleh Partai Demokrat saat ini yang bisa dikatakan koalisi pelangi. Apakah ini menjadi pembelajaran PDIP. Karena pengalaman PDIP pun dulu saat bu Mega nyapres berduet dengan pak Hasyim Muzadi yang merupakan kalangan santri. Apakah PDIP tetap terbuka dengan parpol dengan ideologi berbeda?
Pada dasarnya PDIP itu sudah menegaskan bahwa dirinya itu adalah nasionalis. Rumah besar kaum nasionalis. Konsepsi gotong royong yang menjadi perasan Ekasila-nya Bung Karno dalam pidato 1 Juni, itu kita pahami betul dalam setiap sikap dan tindakan politik kita. Tetapi dalam konteks koalisi itu yang sudah terjadi di dalam era demokrasi liberal di jaman era reformasi sekarang ini, konteksnya kan menjadi koalisi transaksional, bukan atas dasar satu visi pengalaman bangsa. Atas dasar itulah kami tidak ingin mengulangi formasi politik yang itu tidak bermanfaat bagi bangsa Indonesia, lalu kemudian menjebak kita kepada sistem demokrasi transaksional. Politik transaksional inilah yang kita tidak inginkan. Sehingga oleh karena itu, ibu Mega, pak Sekjen dan lain sebagainya berhati-hati betul di dalam membangun suatu konsepsi koalisi partai-partai politik itu.

Jadi kalau setelah Pileg nanti PDIP apakah anti kepada parpol yang tidak se-ideologi?
Kita bukan partai yang eksklusif, kita partai yang inklusif. Tetapi ketika keinginan-keinginan berkoalisi itu, ibu Mega tidak suka dengan kata koalisi tapi bekerjasama. Prinsip- prinsip kerjasama itu harus sepakat dulu hal-hal yang fundamental. Nah oleh karena itu, PDI Perjuangan sedang menyiapkan sebuah konsepsi yang dinamakan Konsepsi Pembangunan Semesta Berencana Nasional, ini yang akan menjadi sistem dan pola yang akan kita gunakan pada saat ketika nanti Tuhan dan rakyat memberikan mandat PDI Perjuangan untuk memerintah. Kekuatan koalisi yang akan kita ajak kerjasama bukan hanya partai politik tapi juga organisasi kemasyarakatan, media massa dan seluruh komponen-komponen bangsa. Tetapi syaratnya adalah setuju pada prinsip-prinsip dasar yang menjadi pedoman dan platform PDI Perjuangan. Sehingga dengan demikian kerjasamanya bukan atas dasar kebutuhan transaksional.

Jadi semacam ada kontrak ya jika nanti terjadi koalisi?
Exactly! Otomatis. Kita tidak ingin sistem koalisi pemerintahan SBY saat ini itu terulang dalam sistem pemerintahan yang akan datang.

Termasuk ada sanksinya dalam kontrak itu?
Automatically! Sehingga kita pahit-pahit di awal, jadi jangan ada dusta di antara para partai politik yang ingin kerjasama itu. nah ini formatnya pak Sekjen sedang menyiapkan pola semacam itu.

Kalau nanti Pileg PDIP menang, apakah akan mengusung capres dan cawapres tunggal, tanpa koalisi atau bagaimana?
Semua opsi itu kita kaji saat ini. Yang pasti kita tidak menggunakan logika linier saat ini, kita tidak menggunakan faktor-faktor determinan dalam pencapresan itu secara tunggal, misalnya hanya faktor elektabilitas, dan menempatkan pemilihan diatas kepentingan bangsa yang sedang mengalami krisis multidimensi.

Apa kriteria cawapres yang diinginkan oleh PDIP?
Identifikasinya kan sudah jelas. Urusan presiden dan wakil presiden adalah urusan memilih dua anak bangsa yang akan menjadi nahkoda memimpin kapal NKRI yang sedang berlayar di laut lepas yang penuh dengan ombak dan badai. Sehingga kriteria yang diinginkan adalah nahkoda yang mampu membawa kapal besar NKRI keluar dari krisis itu dan mengantarkan rakyat Indonesia pada kesejahteraan rakyat. Kita belum terjebak pada dikotomi teknokrat dan atau birokrat.

Terkait kebersamaan Bu Mega dan Pak Jokowi belakangan ini, apakah sinyal untuk merestui?
Ibu Mega memimpin dan kaderisasi partai ini sejak lama, sehingga beliau tahu betul bagaimana melakukan treatment terhadap setiap anak buahnya, sehingga beliau tahu betul bagaimana menugaskan dan membuat kader-kadernya menjadi pemimpin yang mumpuni di tengah-tengah masyarakat.

BACA JUGA: