Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menuai atensi publik di tengah semangat pemberantasan korupsi yang hingar bingar di negeri ini. Hasil kerjanya dipuji sebagai kanal ampuh untuk menguak tabir kejahatan pencucian uang (money laundering).

Pekan lalu, misalnya, PPATK muncul dengan kabar yang mengejutkan mengenai ditemukannya transaksi mencurigakan bernilai miliaran rupiah yang diduga berkaitan dengan proyek Hambalang. ´Barang´ itu pun diberikan ke KPK: sepuluh Laporan Hasil Analisis (LHA) transaksi mencurigakan terdiri dari empat orang dan enam perusahaan.

Statistik juga bisa bersuara mengenai kiprah PPATK. Per Juli 2012, jumlah laporan yang diterima PPATK mencapai  11.671.060  laporan. Hasil Analisis (tidak termasuk Hasil Pemeriksaan) yang disampaikan ke penyidik mencapai 2.046 HA yang terkait dengan 4.232 Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM). Dari jumlah itu ada 48 HA terkait terorisme dan 191 LTKM terkait terorisme.

PPATK, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, adalah lembaga independen di bawah Presiden yang mempunyai tugas mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Fungsinya adalah pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang; pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK; pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor; dan analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi Transaksi Keuangan yang berindikasi tindak pidana Pencucian Uang dan/atau tindak pidana lain.

Untuk menelusuri lika-liku PPATK, wartawan gresnews.com Ahmad Kusairi mewawancarai Wakil Kepala PPATK Agus Santoso, Senin (29/10).

Agus lahir di Purwokerto, 9 Agustus 1960. Ia mendapatkan gelar Sarjana Hukum dari Universitas Padjajaran pada tahun 1983 dan Master of Law dari Rijks Universiteit Leiden Belanda pada tahun 1997.

Ia merupakan pejabat karier di Bank Indonesia sejak tahun 1984. Pernah menjabat sebagai Deputi Direktur Hukum Bank Indonesia pada tahun 2008-2011. Agus ditetapkan sebagai Wakil Kepala PPATK untuk masa jabatan 2011–2016 berdasarkan
Keputusan Presiden RI No. 160/M Tahun 2011, tertanggal 20 Oktober 2011 dan diambil sumpahnya (dilantik) oleh Presiden pada 25 Oktober 2011.

Berikut petikannya:

Bagaimana kondisi kejahatan pencucian uang di Indonesia saat ini?
Dari data Laporan Hasil Analisis (LHA) PPATK, tindak pidana asal dari praktek pencucian uang di Indonesia didominasi oleh tindak pidana korupsi. Ini tentu sangat mengkhawatirkan karena dampak negatifnya sangat luas bagi perekonomian makro, terutama hilangnya peluang pembangunan dan kemakmuran karena dirampoknya uang APBN/APBD oleh penyelenggara/aparat negara. Juga merusak  tatanan sosial kemasyarakatan, karena orang sepertinya ´bebas´ gentayangan walaupun tetangga kiri kanan kasak kusuk bahwa seseorang bahkan suatu keluarga itu diduga koruptor.

Berdasarkan data PPATK, orang-orang yang diduga koruptor itu biasanya melibatkan keluarga, anak, istri, orang tua, mertua, supir, ajudan, dan lain-lain Ini sangat menyedihkan. Apalagi kita juga melihat fenomena koruptor yang pandai melakukan pencucian uang sudah merasuk pula pada aparat-aparat muda dan mereka ini dari waktu ke waktu seperti belajar untuk semakin canggih cara mencuci uang hasil kejahatan korupsinya itu. Sehingga untuk mencari dugaan kejahatan pencucian uang ini PPATK dalam tahun ini saja sudah menelusuri transaksi yang nominalnya hingga Rp100 triliun. Angka yang fantastis kan?

Apa sebab semakin meluasnya tindak pidana pencucian uang itu?
Menurut hemat saya ada beberapa hal. Pertama, sistem pengelolaan keuangan negara yang masih banyak bolong-bolongnya, di sektor pajak, misalnya. Ini saya ambil sebagai contoh karena pajak memberi kontribusi sebesar 70% dari penerimaan APBN atau targetnya Rp1.000 triliun.

Di sektor pajak ini masih terbuka kesempatan negosiasi antara petugas pajak dan wajib pajak. Ini tentu harus dibenahi dengan serius. Bila terlambat dibenahi maka target penerimaan APBN tidak tercapai dan dengan demikian dana pembangunan akan kurang.

Kedua, yang harus dibenahi adalah penegakan hukum. Harus dilakukan pembenahan terhadap aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim. Mereka harus diberi remunerasi yang layak, tetapi harus ditindak tegas bila melakukan penyimpangan. Aparat penegak hukum harus bebas korupsi dan pencucian uang. Hanya dengan seperti itu maka mereka bisa menyapu koruptor.

Ketiga adalah sistem penganggaran. Sistem pembahasan anggaran dan alokasi anggaran APBN/APBD harus dibenahi. Harus ada political will dari wakil-wakil rakyat di DPR RI dan DPRD untuk mendahulukan kepentingan rakyat dan pembangunan. Demikian juga di jajaran pemerintahan, penganggaran dan program kerja harus mendahulukan kepentingan rakyat. Harus ada dampak langsungnya pada pecepatan kemakmuran rakyat.

Keempat, lembaga-lembaga auditor, baik auditor internal di bawah Inspektur Jenderal, maupun BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) dan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)  harus lebih berani menyampaikan temuannya. Tidak boleh mau diintervensi. Harus ada kemauan untuk mengupayakan kepatuhan dan tertib administrasi. Penyimpangan yang diduga korupsi dan pencucian uang harus ditindak ekstrakeras.

Kelima, dan ini yang paling penting. Harus ada pembangunan nilai-nilai, value antikorupsi di setiap pribadi anak indonesia. Setiap keluarga harus mendorong terwujudnya budaya bersih, antikorupsi. Karena budaya bangsa bermula dari rumah.

Bagaimana soal tren global pencucian uang dan regulasinya?
Tindakan pencegahan dan pemberantasan kejahatan pencucian uang juga harus melibatkan koordinasi dengan otoritas negara-negara yang biasanya dijadikan tempat untuk mencuci uang. Untuk keperluan ini PPATK sudah mempunyai MOU dengan lembaga semacam PPATK di 44 negara.

Dengan negara-negara tetangga terdekat kita juga perlu tercipta pemahaman yang sama tentang risiko kejahatan pencucian uang lintas batas. Sebagaimana kita tahu, beberapa tersangka koruptor mencoba melarikan dan menyembunyikan asetnya di negara-negara tetangga kita, seperti Singapura, Malaysia, Australia dan Papua Nugini.

Dalam beberapa kesempatan di forum internasional saya meminta otoritas setempat untuk waspada, antara lain, untuk melakukan KYC (Know Your Customer) yang lebih detail terhadap WNI yang diketahui sebagai pejabat/anggota parlemen atau orang-orang yang sedang diributkan di media massa.

Saya berpendapat Kementerian Luar Negeri perlu secara lebih serius menggarap isu ini. Karena dengan jasa transfer, mudah sekali melarikan uang hasil kejahatan korupsi, hanya butuh beberapa detik saja. Tetapi upaya untuk menariknya kembali ke Indonesia membutuhkan proses hukum yang lama dan panjang.

Penegakan hukumnya?
Kita tahu bahwa UU Korupsi berbeda dari UU Pencucian Uang. Jika penegak hukum hanya menggunakan UU Korupsi maka yang terjerat hukum hanyalah si koruptornya, yang melakukan korupsi, menerima/memberi suap. Tetapi dengan UU Pencucian Uang maka setiap orang yang menikmati aliran uang hasil kejahatan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Oleh karena itu, dalam proses penuntutan, harus digabungkan/kumulatif kejahatan korupsi dengan pencucian uang, agar semua yang terlibat dapat diseret.

Last but not least adalah upaya penegakan hukum yang harus ekstrakeras. Semua unsur penegakan hukum harus mempunyai visi yang sama, yang satu, mulai dari pemeriksa internal (aparat Irjen), pemeriksa eksternal BPKP dan BPK, PPATK sebagai unit intelijen keuangan, Polri, jaksa, penyidik PNS dan KPK yang memiliki kewenangan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, serta peradilan, sampai ke lembaga pemasyarakatan, harus berani mengusut tuntas, menindak, menghukum berat, memiskinkan para koruptor, dan memenjarakan supaya ada efek jera dan detterent effect.

Selain itu, dengan menggunakan UU TPPU, hakim bisa menerapkan proses pembuktian terbalik di persidangan dengan meminta terdakwa untuk membuktikan bahwa hartanya bukan berasal dari tindak kejahatan korupsi dan apabila yang bersangkutan tidak bisa membuktikan maka harta itu dirampas untuk negara. Dengan demikian, selain yang bersangkutan dihukum berat, keluarga yang menikmati juga dihukum berat, hartanya juga dirampas.

BACA JUGA: