JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) selalu memicu kontroversi, di mana pun itu. Tak terkecuali di Indonesia. Selalu ada pro dan kontra. Pihak pendukung nuklir antara lain mengatakan, pembangunan PLTN tak terelakkan karena ada kebutuhan listrik skala besar. Kebutuhan itu hanya realistis dipenuhi jika ada PLTN. Di sisi lain, tak sedikit pula kelompok yang antipati dengan nuklir. Mereka tidak ingin bencana yang diakibatkan oleh kebocoran dan ledakan reaktor nuklir akan terjadi di negara mereka juga. Seperti yang terjadi di reaktor nuklir Chernobyl di Ukraina dan reaktor Fukushima di Jepang.

Di Indonesia, penolakan kelompok antinuklir itu antara lain juga tertuju pada rencana pembangunan Reaktor Daya Eksperimental (RDE), yang saat ini tengah dirancang oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN). Reaktor ini rencananya dibangun di Kawasan Puspitek Serpong, Tangerang Selatan. RDE didesain untuk menghasilkan listrik dan untuk melakukan uji coba penelitian.

Saat ini, pihak Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga telah rampung menyusun buku putih PLTN. Di buku ini, antara lain dijelaskan tentang proyeksi untuk mengoperasikan PLTN berkapasitas 5.000 Megawatt (MW) pada 2024. Buku ini juga merupakan peta jalan bagi pembangunan PLTN di Indonesia. Buku ini sudah ditandatangani oleh Menteri ESDM Sudirman Said, tinggal menunggu persetujuan Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara. Buku putih ini akan dirilis dalam waktu dekat.

Di Indonesia, derasnya penolakan terhadap PLTN belakangan ini malah memunculkan ide baru. Baru-baru ini ada beberapa kalangan di Indonesia yang mengusulkan untuk mengganti PLTN dengan Pembangkit Listrik Tenaga Thorium (PLTT).

Untuk memperjelas mengenai hal-hal di atas, reporter Agus Hariyanto ditemani fotografer gresnews.com Edy Susanto mewawancarai Kepala BATAN Prof. Dr. Djarot Sulistio Wisnubroto. Alumnus Universitas Tokyo Jepang yang menduduki pucuk pimpinan BATAN sejak 4 September 2012. Wawancara dilaksanakan pada Kamis (27/8) di kantor BATAN di Jalan Kuningan Barat, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan.

Berikut petikan wawancaranya:

Terkait dengan rencana BATAN membangun Reaktor Daya Eksperimental (RDE) di Serpong, bagaimana ini ceritanya?

RDE ini sebenarnya konsep kita untuk mengenalkan reaktor nuklir yang menghasilkan listrik kepada masyarakat. Kita kenalkan RDE sebagai introduksi ke arah PLTN yang besar. Dan itu bukan ide BATAN semata, bahkan itu permintaan dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Pada 2013, kita pernah undang Bappenas ke sini. Wakil ketua Bappenas-nya, Pak Lukita (Lukita Dinarsyah Tuwo) yang datang saat itu. Beliau mengatakan kenapa kita tidak mulai bangun PLTN yang kecil saja, 3-5 Megawatt (MW) saja, harganya tidak terlalu mahal. Saat itu kita mengenalkan RDE ini, reaktor nuklir yang menghasilkan listrik.

Kita saat ini sudah punya 3 reaktor nuklir, namun hanya untuk riset dan tidak menghasilkan listrik. Yaitu di Bandung yang berdiri tahun 1965, di Yogyakarta 1976, dan di Serpong tahun 1987. Ketiganya tidak bisa menghasilkan listrik karena struktur reaktornya berbentuk kolam terbuka, tidak tertutup. Tidak menimbulkan tekanan dan suhu tinggi. Ketiganya hanya menghasilkan radioisotop untuk kesehatan dan penelitian, serta untuk melatih sumber daya manusia (SDM) kita kelak kalau kita punya PLTN. Karena itu keselamatannya juga tinggi. Dan syukur alhamdulillah kita belum pernah mengalami masalah terkait reaktor, seperti yang terjadi di beberapa negara. Selama ini aman.

Nyatanya tidak pernah ada masalah kan selama ini. Ada gempa, terakhir yang paling besar tahun 2006, juga aman-mana saja. Ketika kita dulu membangun reaktor Babarsari di Yogya itu tadi, itu di sana, di Jalan Babarsari masih sepi. Sekarang, di sekelilingnya ramai. Ada universitas, ada UPN Veteran, ada Universitas Atmajaya, ada Hotel Sahid. Bahkan Hotel Sahid bangun tinggi. Nggak ada yang komplain ada reaktor di situ. Mereka sudah tahu ada reaktor di situ.

Di road map pembangunannya, RDE disebutkan akan memasuki tahap komisioning dan beroperasi pada tahun 2019 ya?

Nah, ini menjadi dilema tersendiri. Salah satu dasar hukum kenapa harus dibangun RDE adalah karena ada Undang-Undang (UU) Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025, yang menyatakan PLTN harus dibangun pada tahun 2015 sampai 2019. Ketika kita berdiskusi dengan Bappenas, kita bilang ya sudahlah, toh banyak juga undang-undang yang tidak ditaati. Tapi Bappenas bilang, jangan. Itu harus ditaati. Bangun saja yang kecil-kecilan supaya undang-undang itu tidak dilanggar. Kalau sesuai undang-undang, di tahun 2019 mestinya RDE ini sudah komisioning. Meskipun itu perlu kerja keras. Apalagi, kita juga berpikir, prediksi saya kalau RDE ini disetujui oleh pemerintah sekarang, dia kan juga ingin pengguntingan pita di masa pemerintahnya. Nah 2019 menjadi titik krusial. Pak Menristek Dikti (Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Red.) ketika beliau baru dilantik bertemu, dan pada saat ulang tahun BATAN beliau mengatakan kalau bisa tahun 2017 atau 2018. Membangun reaktor nuklir, itu tidak bisa cepat. Kalau sekadar bangun sih cepat, tetapi itu kan butuh evaluasi keselamatan. Mulai dari pemilihan tapak, membangun, mengoperasikan dan lain sebagainya.

Untuk RDE ini kalau tidak salah kemarin pemerintah sudah memberikan anggaran Rp50 miliar ya?

Ya. RDE itu sudah masuk ke dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, Red.) 2015-2019. Untuk tahap pertama diberikan anggaran Rp50 miliar untuk tahap pra-project. Tahapan ini dilakukan untuk mengetahui konsep dan desain, lokasi yang ditentukan cocok atau tidak, serta perkiraan biayanya jika proyek dilaksanakan. Pelaksananya adalah pemenang lelang, yaitu konsorsium Indonesia-Jerman. Dari Indonesia ada PT Rekayasa Engineering dan PT Kogas Driyap Konsultan. Dari Jerman ada Nukem Technologies yang kebetulan 100 persen sahamnya dimiliki perusahaan Rusia, Rosatom. Di dalam kontrak kita tidak pernah mengenal Rusia, tapi Jerman. Sejarah antara Nukem dan Indonesia juga panjang. Nukem adalah perusahaan yang membangun pabrik bahan bakar nuklir di Serpong. Bahan bakar untuk reaktor serbaguna Serpong.

Uang Rp50 miliar itu untuk hanya untuk pra-project, sedangkan untuk membangun RDE perlu sekitar Rp1,7 triliun. Itu tahun 2014, saat US$1 dolar sama dengan Rp10 ribu. Sekarang dolar sudah Rp14 ribu. Hal ini mungkin yang harus kita bicarakan dengan pemerintah. Yang Rp50 miliar sudah dikasih, tapi kita masih perlu bekerja keras untuk meyakinkan untuk mendapatkan yang 1,7 triliun itu.

Rp50 miliar itu untuk anggaran tahun 2015?

Iya, untuk 2015 saja. Yang 2016 belum ada kabar. Saya mendengar, 2016 itu seluruh anggaran kementerian dan lembaga dipotong karena kondisi ekonomi belum membaik. Makanya, kalau memang anggaran tahun 2016 belum memungkinkan, kita akan fokuskan untuk menyusun dokumen perizinan. Supaya nanti kalau anggaran sudah ada, kita langsung menyerahkan ke Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten), dan itu memperlancar program pembangunan.

Apakah benar RDE ini akan memakai teknologi nuklir generasi ke-4?

Iya. Saat kita mencari kira-kira reaktor apa yang harus kita bangun, ada yang bilang kita bangun reaktor generasi 3+ saja. Yaitu jenis reaktor komersial yang saat ini digunakan di banyak negara. Kelak kan kita juga akan membangun PLTN yang besar, generasi 3+. Jadi sekarang buat yang kecil saja, generasi 3+. Tapi bagi BATAN itu tidak ada nilai tambahnya. BATAN kan lembaga litbang. Kalau generasi 3+ maka tidak ada hal yang harus diteliti lagi, karena sudah establish, tinggal copy paste saja. Maka kita pilih generasi ke-4. Tapi, ada yang tanya lagi, generasi ke-4 itu kan belum proven (terbukti). Akhirnya kita cari jalan keluar, cari generasi ke-4 yang pernah dioperasikan di negara lain, yaitu di Jerman.

Itulah kenapa kita pilih generasi ke-4, namanya High Temperature Gas-Cooled Reactor (HTGR), teknologi dari Jerman. Kelebihan HTGR, selain bisa menghasilkan listrik, juga bisa menghasilkan panas tinggi. Panas ini bisa dimanfaatkan. Misalnya untuk mencairkan batubara, desalinasi air laut menjadi air tawar, untuk penelitian dan lainnya. BATAN tertarik dengan generasi ke-4 ini. Ada hal yang masih bisa kita teliti. Selain itu, hal lain yang sangat penting adalah jenis reaktor ini bisa diuji coba untuk menggunakan bahan bakar dari thorium. Kan sekarang ini thorium lagi jadi tren. Banyak orang menanyakan Pembangkit Listrik Tenaga Thorium (PLTT). Sebenarnya RDE ini bisa jadi calon PLTT di masa depan.

Reaktor nuklir generasi ke-4 ini katanya lebih aman karena bahan bakarnya menggunakan berbentuk pebble yang berisi partikel TRISO?

Iya. Bahan bakarnya seperti bola-bola, pebble-TRISO. Ini sama dengan yang sudah dioperasikan di Tiongkok, di Tsing Hua University. Salah satu dari 2 universitas yang paling hebat di Tiongkok. Dia punya reaktor yang saya kira sama persis dengan RDE ini, bedanya dia tidak untuk menghasilkan listrik, hanya untuk uji coba. Kalau kita untuk listrik dan untuk uji coba. Cita-cita kita mirip seperti di Tsing Hua University ini. Dan rencananya mereka akan mengembangkan reaktor generasi ke-4 ini dalam skala lebih besar lagi. Kalau yang mereka operasikan saat ini hanya 3 Megawatt thermal (MWt), maka nanti dikembangkan 2 x 250 MWt di Provinsi San Dong. Saat ini yang paling maju untuk generasi ke-4 adalah Tiongkok.

TRISO partikel memang lebih aman. Dia punya yang namanya keselamatan pasif. Jadi tidak ada semacam pelelehan seperti yang terjadi di reaktor generasi ke-3. Di generasi ke-4 ini tidak terjadi pelelehan karena bola-bola pebble diciptakan sedemikian rupa, sehingga kalau terjadi sesuatu, dengan sendirinya dia akan berhenti. Tidak ada apa pun. Ini kelebihan TRISO. Namun, teknologi TRISO ini juga punya konsekuensi lain. Karena saking solidnya, TRISO ini lebih sulit untuk didaur ulang. Karena partikel TRISO kan ada di dalam bola-bola karbon. Beda dengan reaktor generasi ke-3 seperti yang ada di Inggris, Amerika Serikat, India, Pakistan dan lainnya. Limbah bahan bakarnya, uranium dan plutonium, bisa didaur ulang untuk untuk senjata dan bisa dimasukkan lagi sebagai bahan bakar ke PLTN. Kalau TRISO ini susah, karena benar-benar solid, tapi lebih aman. Nah, sekarang pilihannya apakah mau mendaur ulang bahan bakar atau lebih aman. Kita pilih yang lebih aman lah.

Kalau RDE ini nanti ukurannya berapa?

Yang kita usulkan RDE ini ukurannya 10 Megawatt thermal (MWt) atau setara 3 Megawatt (MW) energi listrik. Meskipun ada juga yang mendesak agar ukurannya diperbesar, supaya bisa memenuhi kebutuhan seluruh laboratorium yang ada di Kawasan Puspitek (Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Red.) Serpong. Kan di sana antara lain ada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), BATAN, Puspitek, Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan (Sarpedal). Total kebutuhan listriknya 47 MW kalau semua berfungsi bersamaan. 47 MW itu setara 50 MWt. Itu terlalu besar.

Kenapa kita usulkan 10 MWt, itu juga ada pertimbangan dari sisi non teknisnya. Karena saya yakin masyarakat sekitar juga ada kekhawatiran. Saat ini reaktor riset serbaguna yang beroperasi di Serpong kapasitasnya 30 MWt. Kalau 30 MWt tidak ada masalah, berarti sepertiganya juga nggak masalah. Kalau saya didesak terus untuk menambah kapasitasnya, oleh kementerian misalnya, paling besar ya sama dengan reaktor yang ada, 30 MWt. Hal ini karena di sisi sosialisasinya lebih mudah. Selain karena semakin besar ukurannya maka semakin mahal juga.

Soalnya masyarakat yang antipati dengan nuklir masih banyak ya?

Iya. Apalagi dulu, saat mulai membangun reaktor serbaguna di tahun 1987 Serpong itu kan penduduknya masih sepi. Kalau sekarang, Serpong itu daerah yang sudah padat dan berkembang. Tentu situasinya berbeda. Dan salah satu persyaratan kita diizinkan (untuk membangun) adalah mendapatkan persetujuan dari penduduk sekitar.

Saat ini izin dari masyarakat sudah didapat?

Ya, artinya berproses kan. RDE ini kan baru diputuskan setahun lalu. Kan kita sosialisasi terus menerus ke sekitar. Termasuk mendatangi Tangerang, Tangerang Selatan dan beberapa daerah perbatasan di situ, Bogor. Dan utamanya, tentu saja adalah penduduk yang tinggal di dekat Puspitek Serpong.

Ada yang mengatakan, RDE yang merupakan reaktor skala kecil ini cocok untuk negara kita yang bentuknya kepulauan. Terutama untuk kawasan Indonesia Timur?

Iya, kita membuat peta jalan seperti ini. Indonesia itu ada yang daerah industrialisasi yang perkembangan industrinya sangat kuat, Jawa dan Sumatera. Daerah lain mungkin mengalami industrialisasi tapi kebutuhannya tidak sebanyak Jawa dan Sumatera. Untuk Jawa dan Sumatera kita fokuskan untuk yang reaktor besar, yang generasi 3+. Sedangkan yang Kalimantan dan sebagainya itu menggunakan fotokopi dari RDE ini, tapi diperbesar, di-scale up. Tetapi itu tidak menutup adanya skenario lain. Tergantung kebutuhan juga.

Katanya, juga cocok untuk mendukung pengawasan dan pengamanan laut kita yang sangat luas?

Itu ceritanya begini. Kita memang sering diajak komunikasi dengan TNI Angkatan Laut (TNI AL). TNI AL itu mengalami kendala karena mereka memiliki kapal selam yang hybrid. Separuh pakai tenaga baterai, separuh pakai solar. Baterainya cepat habis. Karena itu mereka usul untuk banyak dibangun pembangkit listrik, agar mereka bisa charge baterai. Ini masih didiskusikan, apakah dianggap melanggar Traktat Non-Proliferasi Nuklir atau tidak. Ini kan hanya baterai saja. Kalau yang lebih drastis lagi yaitu kapal selam tenaga nuklir. Itu mau berbulan-bulan di bawah permukaan laut juga tidak masalah. Tapi kan kita sudah menandatangani Traktat Non-Proliferasi Nuklir. Kalau untuk saat ini, bayangan saya, memang itu tidak bisa. Karena itu kan seolah-olah mau jadi senjata beneran kan. Tapi idenya TNI AL lebih moderat. Hanya sekadar ada listrik untuk sumber nge-charge saja. Jadi kalau kapal selam mau ke mana, ke Sulawesi ada tempat untuk nge-charge itu berasal dari PLTN.

Kalau hanya untuk menggerakkan kapal saja, nuklirnya bukan dibuat senjata?

Nah, ini menjadi suatu yang abu-abu juga. Karena kapal selamnya juga senjata. Tapi digerakkan dengan nuklir misalkan. Itu yang masih kita pelajari. Apakah itu dianggap melanggar atau tidak.

Ada yang mengatakan, kalau RDE ini berhasil kita kembangkan, ke depan kita punya prospek juga untuk memproduksi bahkan mengekspornya. Karena, selama ini belum ada yang produksi reaktor nuklir skala kecil itu. Bagaimana kira-kira prospek ke depannya?

Saya mau cerita dulu. Tahu Bill Gates kan? Dia cita-citakan ada PLTN portable. Bisa hidup dalam jangka waktu puluhan tahun, 30 tahun, ditaruh di satu lokasi, itu bisa menerangi satu area yang cukup luas, rumah tangga. Kalau sudah selesai itu bisa di-recharge lagi di tempat lain. Jadi kemudian kita berpikir begini, di tahap awal RDE ini memang kita kerja sama dengan luar negeri, tapi kelak local content-nya akan kita perbesar. Kita bisa mendesain sendiri, terus bisa kita nyatakan ini made in Indonesia atau made by BATAN. Itu juga dilakukan oleh Tiongkok, yang mengimpor teknologi dari Amerika Serikat dan sekarang sudah bisa bikin dan desain sendiri. Itu sesuatu yang sangat mungkin bagi kita, ciptakan PLTN kecil yang bisa kita ekspor. Karena jenis PLTN generasi ke-4 ini sudah kita kaji sejak tahun 1993-1994. Dan selain reaktor, semua bisa made in Indonesia. Industri kita sudah bisa membuat turbin. Di Cilegon, turbin buatan Siemens Indonesia sudah dieskpor ke Finlandia untuk pembuatan PLTN di sana.

RDE yang akan dibangun di Serpong ini ukurannya sebesar apa?

RDE untuk skala 10 MWt atau setara 3 MW listrik ini mungkin butuhkan area sekitar 3-4 hektare. Kan nanti ada turbin juga. Reaktornya sendiri besarnya mungkin separuh lapangan badminton. Nanti, di sebelahnya ada turbin dan macam-macam untuk pengelolaan limbah radioaktif, untuk bahan bakar dan sebagainya. Itu yang membuat dia jadi luas. 3 MW itu untuk ukuran Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) itu besar. Kan itu berarti 3.000 kilowatt kan. Besar itu. Dan sebenarnya PLTN itu masuk di dalam PLTU juga. PLTN dan PLTU itu sebenarnya sama. Bedanya, yang satu dipanasi pakai uranium yang ditembak, yang satu dipanasi pakai batubara yang dibakar. Keduanya menghasilkan panas yang menyebabkan air mendidih. Uap air yang panas lalu dilewatkan ke turbin. Turbin berputar dan menggerakkan generator.

Banyak masyarakat takut karena sebelumnya ada bencana yang diakibatkan oleh ledakan atau kebocoran PLTN. Apakah saat ini PLTN sudah aman? Apa yang ingin Bapak sampaikan ke masyarakat?

Kami sadar bahwa kata nuklir itu kata yang menakutkan. Karenanya, ada teman-teman yang ingin menggantinya dengan thorium, kalau tenaga thorium itu bukan nuklir, itu Pembangkit Listrik Tenaga Thorium (PLTT). Padahal sama juga. Teknologi nuklir sebenarnya tidak hanya dimanfaatkan untuk listrik, tapi juga untuk pertanian dan kesehatan. Dan itu sudah diaplikasikan di berbagai tempat di Indonesia. Saya yakin banyak petani yang sudah merasakan manfaatnya. Bibit-bibit unggul itu salah satunya. Nuklir banyak manfaatnya. Bahkan matahari itu adalah pembangkit tenaga nuklir lho. Matahari itu adalah hasil dari reaksi fusi antara hidrogen-hidrogen, jadi satu, tabrakan dan menghasilkan tenaga luar biasa yang sekarang ini kita nikmati. Jadi surya itu renewable energy yang berasal dari nuclear energy. Surya sudah kita nikmati dan kita tidak merasa berbahaya kan.

Yang perlu saya jelaskan juga adalah kondisi Jepang. Negara ini mengalami keterpurukan berkali-kali akibat nuklir. Pertama dibom atom pada tahun 1945. Kedua oleh (kebocoran dan ledakan PLTN) Fukushima pada 11 Maret 2011. Jepang ternyata mulai mengoperasikan PLTN-nya kembali tanggal 11 Agustus (2015) lalu. Itu menunjukkan bahwa mereka tetap percaya PLTN, meskipun penentangan masih ada, besar juga. Tapi bagi pemerintah Jepang, tanpa nuklir mereka tidak bisa hidup lebih baik.

Yang juga perlu dipahami masyarakat, kita memang punya minyak, gas dan batubara, tapi jumlahnya terbatas. Sementara jumlah penduduk kita akan berkembang terus, akan sampai luar biasa besar. Pertumbuhan itu butuh energi. Dari mana energinya? Kita tidak bisa tergantung pada energi fosil saja. Opsi energi baru terbarukan (EBT) maupun nuklir menjadi hal yang tidak terelakkan.

Termasuk ada pernyataan dari seorang tokoh, yang katakan suka nuklir tapi kan budaya orang Indonesia itu teledor, contohnya Lapindo. Kalau filosofi itu yang dipegang kita tidak akan pernah maju, justru makin tenggelam. Karena kita tidak percaya kemampuan kita sendiri. Yang bisa saya katakan, cobalah datang saja ke reaktor Serpong, Bandung atau Yogya. Itu bukti orang Indonesia juga bisa mengelola reaktor nuklir dan selama ini aman-aman saja.

Soal potensi Thorium sendiri bagaimana? Kan tadi disebutkan ada yang usul PLTT sebagai ganti PLTN karena banyak yang antipati.

Thorium itu di Indonesia jumlahnya 3- 4 kali lipat dari jumlah Uranium. Jika, potensi Uranium kita 70 ribu ton, maka Thorium itu 3-4 kali lipatnya. Tapi pertanyaannya, kenapa di seluruh dunia tidak ada yang pakai Thorium? Thorium memang pernah diuji coba di Jerman dan Amerika Serikat. Thorium punya kelebihan. Pertama, lebih banyak. Kedua, kemungkinan untuk menjadi senjata nuklir itu kecil sekali, karena dia tidak menghasilkan plutonium. Karena itu Thorium dipromosikan ke mana-mana sebagai energi masa depan.

Tapi Thorium ada kelemahannya juga. Pertama, Dia ini bukan bahan bakar yang langsung bisa dibakar atau direaksikan. Supaya bisa dibakar, Thorium harus ditembak dulu pakai neutron, lalu Thorium akan berubah menjadi Uranium. Setelah itu, dia baru bisa melakukan reaksi. Agar Thorium bisa ditembak oleh banyak partikel Neutron, maka dibutuhkan Uranium. Jadi untuk menginisiasi Thorium agar bisa bereaksi itu butuh Uranium. Itu kelemahannya. Jadi meskipun namanya Pembangkit Listrik Tenaga Thorium (PLTT), tetap saja butuh uranium. Kedua, karena belum ada PLTT yang komersial di seluruh dunia. Kebanyakan masih uji coba. Sehingga belum ada industri besar yang mau memakainya. Industri-industri besar seperti Westinghouse di Amerika Serikat atau Mitsubishi, Hitachi, Toshiba di Jepang masih berbasis pada Uranium.

Kita selalu bilang ke teman-teman penyuka PLTT, kita harus realistis, itu masih butuh waktu. Saya suka PLTT juga, tapi kalau butuh energi listrik untuk 10-15 tahun yang akan datang, maka PLTN yang masih realistis. Saya sempat komunikasi dengan teman-teman dari India, yang merupakan negara paling maju penelitiannya di bidang Thorium. Mereka tidak punya Uranium tapi punya Thorium. Saya tanya, masih berapa tahun lagi pilot plan-nya mulai dioperasikan? Butuh 20 tahun lagi katanya. 20 tahun lagi baru bisa dijalankan pilot plan-nya, berarti setelah itu masih butuh waktu lagi untuk bisa menjadi komersial. Kalau saya ditanya (mana yang realistis dibangun) kalau kebutuhan listrik mendesak, ya pertama PLTN dulu saja. Setelah itu kita bicara PLTT. Makanya, batu loncatan menuju PLTT adalah RDE ini.

Mengenai PLTN generasi 3+ yang saat ini banyak digunakan di berbagai negara, apakah reaktor ini sudah cukup aman?

Saya kira kejadian (ledakan reaktor PLTN) yang terjadi di Fukushima itu adalah reaktor generasi ke-2. Generasi ke-3 dan seterusnya sudah ada perbaikan dari sisi: pertama, Uranium yang terbakar makin banyak sehingga limbahnya makin sedikit. Sehingga efisien. Di generasi sebelumnya, banyak yang terbuang uraniumnya. Kedua, sistem keselamatannya diperbaiki. Ada satu sistem di mana kalau terjadi kerusakan akibat gempa atau tsunami misalnya, dia akan langsung mati secara otomatis. Tanpa perlu penanganan dari manusia. Itu beberapa perbaikan dari generasi ke-2 ke generasi ke-3, dan makin diperbaiki di generasi 3+. Generasi 3+ inilah yang sekarang populer digunakan di seluruh dunia sebagai PLTN dengan tenaga besar.

Dan saat ini Indonesia dikatakan sedang butuh listrik dalam skala besar, kalau nggak pakai nuklir katanya nggak bisa terpenuhi?

Iya. Kalau kita diskusi dengan teman-teman dari Ditjen EBTKE, sebenarnya BATAN itu kan nggak boleh ngomong kita butuh PLTN, lembaga litbang itu (tugasnya) butuhnya Kementerian ESDM apa kita tangani. Tapi karena kadang-kadang ditanya, saya juga akan jawab. Jadi kita punya Kebijakan Energi Nasional (KEN) melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014. Di situ dinyatakan, meskipun tidak eksplisit, tapi hitungan mereka adalah 23 persen dari total kebutuhan energi di tahun 2025 itu berasal dari Energi Baru Terbarukan (EBT). Sementara sekarang posisi EBT masih 5 persen. 5 ke 23 persen itu butuh berapa? Dan 5 persen ini tidak pernah berubah selama 10 tahun. Kita juga realistis, makanya teman-teman di Kementerian ESDM juga sadar, mereka lalu terbitkan Buku Putih (Nuklir). Mereka mengatakan tidak mungkin EBT akan bisa tercapai 23 persen tanpa nuklir.

Makanya di buku putih itu, PLTN diharapkan dapat terbangun pada tahun 2024?

Pada tahun 2024. Dan itu yang berbicara bukan saya. Yang bicara Dirjen Kelistrikan Kementerian ESDM Pak Jarman waktu itu.

Kalau rencana di buku putih nuklir itu benar dilaksanakan, yaitu terpasangnya PLTN di tahun 2024, artinya setelah menanti puluhan tahun akan ada juga PLTN di Indonesia ya?

Moga-moga. Itu kan masih menunggu juga kan. Tapi ini tahapan bagus. Kementerian ESDM sudah secara serius mengatakan bahwa tidak ada opsi lain selain nuklir untuk mencapai target itu (kebutuhan listrik). Sebelumnya kan nggak pernah mau bercerita tentang PLTN, seolah-oleh itu kerjaan BATAN. Sekarang saya termasuk lega, kontroversi PLTN dibagi dua juga, Kementerian ESDM dan BATAN. Jadi nanti yang menghadapi LSM tidak harus BATAN, tapi Kementerian ESDM juga.

Bapak pernah mengatakan bahwa pembangunan PLTN di Indonesia tergantung kepada keputusan yang dibuat kepala negara. Mengapa?

PLTN berbeda dengan pembangkit listrik lain, yaitu terkait pemanfaatan nuklir. Penyebabnya, nuklir itu bermata dua: bisa dijadikan senjata maupun keperluan damai. Karenanya nuklir menjadi isu sensitif dan strategis. Itu alasan pertama mengapa kepala negara perlu menjelaskan atau mengumumkan ketika kita mau bangun PLTN atau tidak. Itu kalau kita bicara PLTN untuk tujuan komersial. Kedua, pembangunan PLTN butuh waktu lama. Bisa 7 sampai 10 tahun, yang berarti lintas rezim pemerintahan. Investor yang mau membangun PLTN perlu diyakinkan, bahwa ini program negara yang bisa terus jalan dalam jangka panjang. Jangan sampai pembangunan terhenti di tengah jalan karena situasi yang tidak stabil.

Mereka kan investasinya sekian triliun rupiah. Itu juga yang menjadi alasan utama dalam konvensi internasional, bahwa keputusan bangun PLTN atau tidak itu diumumkan oleh kepala negara. Di aturan kita tidak ada. Sehingga, ketika saya ditanya, tunggu apa lagi? Jawabannya ya nunggu keputusan presiden. Menteri pun tidak cukup kuat untuk mengatakan kita go nuclear. Saya pernah juga diundang oleh Wakil Menteri ESDM, Pak Susilo Siswoutomo pada 19 Agustus 2014. Waktu itu beliau katakan, ini go nuclear saja. Saya sebagai wakil menteri menyatakan go nuclear. Tapi gaungnya kan tidak sesignifikan kalau presiden yang menyatakan.

Jika targetnya tahun 2024 ada PLTN terpasang, baiknya kapan pembangunannya dimulai? Tadi kan Bapak menyebut bangun PLTN perlu waktu 7-10 tahun.

Ya, berarti kalau nggak 2015 ini ya 2016, paling lambat, 2017. Saya bukan politisi, tapi dalam kalkulasi saya, kalau Pak Jokowi ketika masih baru dilantik kan masih punya waktu lama, belum berpikir untuk periode berikutnya. Tapi kalau lebih dari separuhnya, misalkan tahun 2017 Juni ke sana, mikirnya juga untuk kampanye di tahun 2019. Saya khawatirnya kalau makin ke sana, kemungkinan untuk go nuclear makin susah.

Kalau dimulai tahun 2019, kemungkinan nanti PLTN baru bisa dioperasikan setelah tahun 2024. Nah, masa jabatan presiden kan maksimal 2 periode, jadi kemungkinan yang menikmati presiden berikutnya ya?

Nah itu. Saya nggak tahu kalau itu. Itu menjadi catatan tersendiri juga. Makanya saya duga, saya bukan politisi, banyak presiden itu berpikir begini: kalau saya yang menyatakan go nuclear nanti yang meresmikan orang lain. Itu positifnya. Kalau negatifnya, kalau saya yang nyatakan go nuclear dan ternyata gagal, nanti yang disalahkan saya juga. Itu kan dilematis. Meskipun Pak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di tahun 2013 kalau tidak salah, saya punya notulen rapatnya, beliau juga mengatakan jangan men-delete opsi nuklir.

Jadi Pak SBY juga ingin program nuklir di Indonesia terus jalan?

Iya. Cuma beliau kan orang politik juga kan. Tidak ingin menjadi kontroversi. Beliau orang pandai juga. Jadi ketika sebagian anggota Dewan Energi Nasional (DEN) semangat untuk menghapus opsi nuklir, Pak SBY justru sebaliknya. Beliau katakan jangan delete opsi nuklir.

Itu dalam rapat DEN?

Iya. Meskipun beliau juga mengatakan, ini (nuklir) masih opsi terakhir juga.

Apakah benar isu yang menyatakan, sebelum Iran ribut soal nuklir dengan negara-negara adidaya saat ini, jauh sebelumnya Bung Karno sudah pernah ribut dengan mereka karena Indonesia ingin bangun PLTN?

Sebenarnya nggak. Bung Karno justru itu orang yang pandai. Bung Karno itu mendekati dua belah pihak. Untuk membangun reaktor riset di Bandung, Bung Karno minta bantuan Amerika. Tapi saat akan bangun reaktor Serpong beliau minta bantuan Uni Soviet. Dari pijakan dua, beliau itu ingin bangun PLTN. Itu mimpi beliau. Saat peletakan batu pertama pembangunan reaktor di Bandung, cita-cita beliau ingin membangun energi atom atau energi nuklir, dan antariksa. Dua ini obsesi beliau. Sekarang tidak terwujud. Saya tidak tahu apakah kita semua anak ideologis Bung Karno atau tidak saya tidak tahu. Sekarang pemerintahannya anak ideologis Bung Karno itu ya. Kita tunggu saja.

Ada yang mengatakan, tenaga ahli nuklir kita melimpah dan selama ini belum tersalurkan. Apakah itu benar?

Kalau melimpah tidak, yang masih muda-muda itu sudah langka. Kita saat ini punya 2.837 karyawan. Tahun lalu usia rata-rata 51 tahun. Kemudian ada CPNS masuk, lalu sekarang usia rata-rata lebih muda, 47 tahun. Komposisinya sebagain besar sudah tua. Usia di bawah 35 tahun itu hanya 15 persen. Dulu, yang disekolahkan di dalam atau luar negeri, S2 atau S3 itu sebagian sudah pensiun. Jadi kalau dikatakan melimpah juga tidak. Yang saya khawatirkan justru yang tua pensiun dan tidak ada generasi mudanya.

Kita sempat mengalami gap di mana jumlah yang muda dan tua jauh jaraknya. Ini yang kita khawatirkan. Mungkin yang dimaksud adalah memang ada beberapa teman yang frustasi, karena PLTN tidak terbangun-bangun, akhirnya mereka pada ke luar. Ya mungkin pergi ke luar negeri, ke Wina, Austria dan Jepang dan lainnya. Ada yang kerja di bidang nuklir, ada yang jadi peneliti.

Ahli nuklir kita yang ada di luar negeri saya bagi begini. Pertama, mereka yang lulus SMA dan disekolahkan oleh Pak Habibie. Jumlah keseluruhan yang disekolahkan dan tidak balik, ratusan itu jumlahnya, kalaupun balik ke Indonesia kerja di swasta itu. Di antara mereka, yang di BATAN ada puluhan orang. Mereka masih ada yang di luar negeri, ada yang sudah balik. Kedua, yang seangkatan saya, S1 di Indonesia, S2 dan S3nya di luar negeri. Itu mereka memang akhirnya tidak banyak yang ke luar negeri, tapi ada juga.

Ada belasan mungkin jumlahnya. Ada yang ke Austalia, Jepang, dan negara lain. Itu yang saya sayangkan juga. Saat ditanya, kenapa mereka kok nggak balik? Karena nggak ada kejelasan pekerjaan, PLTN juga nggak ada, sesuai dengan cita-cita mereka saat sekolah dulu. Bahkan ada yang akhirnya jadi anti nuklir. Bahkan saya khawatir teman-teman itu terombang-ambingkan dengan kontroversi permasalahan PLTN misalnya, itu mendemotivasi. Itu terjadi.

Kalau kita misalnya bangun PLTN dan beroperasi optimis tahun 2024 itu mungkin tenaga ahli kita ya tinggal yang muda-muda sekarang ini. Itu kalau tanpa rekrutmen baru lagi. Tiap tahun kita ada yang pensiun sekitar 150 orang. Misalnya 150 x 10 tahun, itu 1.500 orang. 2.837 dikurangi 1.500 orang tinggal 1.300-an. Kita tahun ini terima 82, tahun lalu cuma 40an. Sedikit. Kalah dengan yang pensiun.

Bagaimana dengan rencana moratorium penerimaan PNS yang akan diberlakukan?

Kita memang minta pengecualian. Saya kira tidak hanya BATAN, setiap lembaga litbang mengatakan, kalau moratorium itu dilakukan maka tentu kita dalam kondisi bahaya. Kami memahami kenapa pemerintah memutuskan moratorium, karena di daerah kan banyak orang merekrut PNS sembarangan, keluarganya direkrut, pokoknya bisa masuk. Kalau kita kan nggak seperti itu. Masalahnya, kebijakan moratorium itu disamaratakan.

Profil:

Nama: Djarot Sulistio Wisnubroto

Tempat tanggal lahir: Yogyakarta, 1 Januari 1963

Hobi: Baca buku, minum kopi, fotografi, jalan kaki

Pendidikan: S1 Teknik Nuklir Universitas Gadjah Mada, masuk tahun 1981

S2 Universitas Tokyo, Jepang, masuk tahun 1987

S3 Universitas Tokyo, Jepang, masuk tahun 1990

BACA JUGA: