JAKARTA, GRESNEWS.COM - Yusril Ihza Mahendra menggebrak panggung hukum dan politik Indonesia pada saat menjelang pemilu seperti sekarang ini. Permohonan uji materiil terhadap UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) yang diajukan oleh lelaki kelahiran Kepulauan Bangka Belitung, 5 Februari 1956, itu ke hadapan Mahkamah Konstitusi (MK), bisa jadi mengubah sejarah hukum dan politik bangsa ini.

Ya, selain diguncang skandal korupsi yang melibatkan mantan ketuanya, Akil Mochtar, MK baru-baru ini juga disorot karena skandal kejanggalan pembacaan putusan pengujian UU Pilpres yang diajukan oleh Effendi Gazali. Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) MK telah memutus perkara itu sejak 26 Maret 2013 namun pembacaan putusan mengabulkan sebagian permohonan itu baru dilakukan pada 23 Januari 2014 atau kira-kira tiga hari setelah permohonan uji materiil yang diajukan oleh Yusril disidangkan di MK. "Saya curiga putusan permohonan Pak Effendi itu dibacakan setelah tiga hari permohonan saya disidangkan, tujuannya untuk memojokkan saya, seolah-olah uji materiil saya sudah tidak relevan lagi," kata Yusril.

Celakanya, putusan MK atas permohonan Effendi Gazali itu juga malah membuat runyam suasana. MK memutuskan pelaksanaan pemilu serentak baru bisa dilaksanakan pada 2019. Yusril, advokat pendiri Ihza & Ihza Law Firm, itu pun secara jeli melihat persoalan konstitusional yang bakal dihadapi dalam suksesi politik tahun ini pascaputusan MK tersebut. Dia pun mengajukan permohonan uji materiil UU Pilpres dengan batu uji dan argumentasi hukum yang berbeda dengan Effendi Gazali.

Dalam salah satu petitumnya, calon presiden yang diusung Partai Bulan Bintang (PBB) itu meminta MK menafsirkan, setiap partai politik yang telah dinyatakan sebagai peserta pemilihan umum adalah berhak untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden sebelum pelaksanaan pemilihan umum yang diikuti oleh partai politik. Ilustrasinya jika ada 12 parpol peserta pemilu maka ke-12 parpol itu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Untuk mendalami argumentasi hukum lelaki yang pernah menjabat menteri pada tiga kabinet berbeda (Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri sebagai Menteri Kehakiman dan HAM, serta di Kabinet Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Menteri Sekretaris Negara) itu, Reporter Gresnews.com Karim Siregar dan Pewarta Foto Edy Susanto mewawancarainya secara khusus di kediamannya di kawasan Kuningan, Jakarta, Sabtu (1/2).

Berikut petikannya:

Gugatan Effendi Gazali terhadap UU Pilpres sudah dibacakan dan hasilnya Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian. Sebenarnya, apa perbedaan antara gugatan Anda dan gugatan Effendi Gazali?
Saya sudah menelaah putusan gugatan Pak Effendi itu berulang-ulang sampai 13 kali. Kesimpulan saya, saya akan melanjutkan permohonan saya karena memang ada hal-hal yang belum tegas dalam permohonan Pak Effendi. Dalam permohonan Pak Effendi, penyatuan empat jenis pemilihan umum (DPR, DPD, DPRD, serta presiden dan wakil presiden) itu tidak dinyatakan secara tegas, begitu juga dalam putusan Mahkamah Konstitusi. Yang ada hanya di dalam pertimbangan hukum dan pendapat Mahkamah yang mengatakan pemilihan yang benar dan konstitusional itu adalah menyatukan empat jenis pemilihan. Tapi putusannya (diktum) mengatakan pasal-pasal yang dimohonkan oleh Pak Effendi Gazali dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, namun diberlakukan pada Pemilu 2019 dan seterusnya. Pasal 9 yang mengatakan, "Pasangan Calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden" tidak dikabulkan MK, tapi diserahkan kepada DPR dan Presiden sebagai pembentuk undang-undang. Saya melihat tidak dikabulkannya permohonan atas Pasal 9 itu kontradiktif dengan pertimbangan hukum maupun pendapat Mahkamah Konstitusi. Akibat itu maka MK menyatakan penyatuan empat pemilu baru bisa dilaksanakan pada Pemilu 2019. Putusan MK yang berhenti mengatakan pasal-pasal dari undang undang bertentangan dengan UUD 1945 dan menyatakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat berakibat terjadinya kevakuman hukum. Sebab setelah pasal-pasal itu dibatalkan kan tidak ada pengaturan.

Bukankah disebutkan oleh MK bahwa pasal itu masih berlaku untuk Pemilu 2014?
Ok, MK mengatakan masih bisa dipakai sampai 2014. Menurut saya, hal-hal yang kontradiksi seperti ini harus dihilangkan. Pasal 9 tidak dikabulkan tapi MK berpendapat pemilu harus disatukan sejak 2019 dan seterusnya. Ini kan kontradiksi. Bagaimana partai politik atau gabungan partai politik tahu mereka dapat 20 persen kursi di DPR sementara pemilu dilaksanakan bersamaan? Akibat kevakuman hukum itu saya mengajukan petitum dan argumentasi yang berbeda dari yang diajukan Pak Effendi Gazali. Persamaanya, saya dan Pak Effendi Gazali meminta kepada hakim MK supaya semua pasal yang diuji materiil itu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam permohonan saya, saya meminta hakim MK menafsirkan langsung Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, "Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum" dan Pasal 22E yang berbunyi, "Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali." Seperti apa tafsirannya, saya rumuskan dalam petitum permohonan saya. (Ringkasan Permohonan Uji Materiil yang diajukan oleh Yusril bisa dibaca di tautan berikut ini).

Seperti apa tafsir di petitum yang Anda mohonkan itu?
Untuk Pasal 6A Ayat (2) ada dua frasa yang membutuhkan penafsiran: "peserta pemilihan umum" dan "sebelum pemilihan umum dilaksanakan". Di petitum saya, (peserta pemilihan umum) yang berhak mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah partai politik maupun gabungan partai politik untuk pemilihan tertentu, kalau sekarang ini adalah Pemilu 2014. Jadi yang berhak mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden itu adalah 12 partai yang sudah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai peserta Pemilu 2014. Sebab di negara kita ada 50 lebih partai politik yang terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM, tapi kan tidak semua partai ini berhak mengikuti Pemilu 2014. Untuk menjadi peserta pemilu dia kan harus daftar dulu, diverifikasi administrasi dan faktual, lalu diputuskan sebagai peserta pemilu. Frasa berikutnya adalah "sebelum pemilihan umum dilaksanakan". Pemilihan yang mana? Pasal 22E itu menyebutkan pemilu ada empat jenis, yakni Pemilu DPR, DPD, DPRD, serta presiden dan wakil presiden. Di petitum yang saya mohonkan, saya sebutkan pemilihan umum DPR dan DPRD yang pesertanya adalah partai politik pemilu DPR dan DPRD. Sekarang kita hubungkan Pasal 6A ayat (2) dengan Pasal 22E, artinya partai politik atau gabungan partai politik sudah harus menyampaikan calonnya sebelum Pemilu DPR dan DPRD. Ini tidak ada dalam permohonan Pak Effendi Gazali. Saya ingin menunjukkan permohonan saya beda, ada rasionalitas dan argumentasi hukum. Kalau argumentasi saya ini bisa diterima MK maka pemilu serentak bisa diterapkan pad 2014. Begitu juga saya minta MK menafsirkan Pasal 22E Ayat (1), (2), dan (3), bahwa pemilu itu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia dan sekali dalam lima tahun.

Anda mengatakan meminta MK menafsirkan sendiri Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E UUD 1945 ayat (1), (2), dan (3), konsekuensinya?
Kewenangan MK itu kan menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Kalau norma undang-undang itu bertentangan dengan UUD 1945, MK kemudian menyatakan ini batal. Lalu dalam praktiknya berkembang, MK tidak hanya membatalkan, tapi menafsirkan. Misalnya terhadap undang-undang yang multitafsir. Baru-baru ini (Kamis, 30 Januari 2014) MK mengabulkan permohonan Hendry Batoarung Ma’dika atas uji materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). MK menilai frasa "segera" dalam Pasal 18 Ayat (3) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai "segera dan tidak lebih dari tujuh hari". Pertimbangan Mahkamah, isu konstitusionalitas dalam permohonan frasa "segera" dalam Pasal 18 Ayat (3) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 karena telah menimbulkan ketidakpastian hukum, perlakuan diskriminasi dan bertentangan dengan asas persamaan kedudukan di hadapan hukum. Menurut Mahkamah, walaupun seorang warga negara telah ditetapkan sebagai tersangka atau telah ditangkap karena suatu perbuatan tindak pidana, warga negara tersebut tetap memiliki hak konstitusional yang dijamin oleh UUD 1945. Seorang warga negara yang ditangkap dan kemudian ditahan oleh penyidik yang berwenang memiliki kepentingan untuk menyiapkan segala jenis pembelaan dan perlindungan hukum. Penafsiran seperti itu memang benar, jika seseorang itu ditahan, maka yang menahan, baik Kepolisian, Kejaksaan, KPK maupun BNN wajib sesegera mungkin memberitahu keluarganya. Dalam hal ini, MK menafsirkan undang-undang, yakni KUHAP-nya yang mengatakan sesegera mungkin. Sekarang saya pun minta hal yang sama, walaupun bagi saya sebenarnya rumusan di dalam UU Pilpres nyata-nyata bertentangan dengan semangat 1945 (Pemilu presiden dan wakil presiden dilaksanakan 3 bulan setelah pemilu DPR. Kemudian peserta pemilu mencalonkan pasangan presiden seminggu setelah hasil pemilu DPR diumumkan, lalu parpol itu harus mendapatkan 20 persen kursi DPR). Semua ini bertentangan dengan UUD 1945, saya minta ini dibatalkan. Bedanya dengan uji materiil KUHAP tadi, dalam permohonan saya, bukan UU yang saya minta ditafsirkan tapi saya meminta MK menafsirkan UUD 1945 karena selama ini MK mengatakan mereka adalah penafsir UU. Kalau MK menafsirkan seperti yang saya katakan tadi tidak perlu menunggu 2019 untuk melaksanakan pemilu serentak.

Ketika tafsir MK sama dengan tafsir di petitum Anda, apa dampaknya?
Pemilihan yang empat jenis tadi jelas harus dilaksanakan secara serentak. Kalau tafsiran MK seperti di petitum saya, maka tidak perlu lagi pengaturan lebih lanjut dalam undang-undang. Sekarang itu, MK memutus sesuatu di luar konstitusi. Ia menggunakan pertimbangan-pertimbangan ketidaksiapan Komisi Pemilihan Umum (KPU), menyatakan akan mengganggu tahapan pemilu yang sudah berjalan. Seolah-olah MK menyatakan KPU tidak siap, sementara dalam permohonan saya itu saya lampirkan bukti-bukti pernyataan kesiapan KPU. KPU menyatakan siap melaksanakan pemilu serentak pada 2014, persoalannya KPU tidak pernah diundang MK sebelum gugatan itu diputuskan. Gimana ini MK? MK kan bukan KPU. Kalau mereka mau jujur sebagai hakim, mereka harusnya memutus sesuai hukum dan putusannya diserahkan kepada pelaksana pemilu. Karena itu, cukup alasan bagi saya untuk meneruskan gugatan saya. MK bilang kalau pemilu dilaksanakan pada Pemilu 2014 maka akan timbul kekacauan, pendapat saya malah sebaliknya. Pertama masalah daftar pemilih tetap (DPT) masih kisruh, KPU baru saja menyelesaikan tender pengadaan surat suara, surat suara ini mencapai 180 juta dan didistribusikan ke daerah. Pengalaman pada 2004, keterlambatan mencetak surat suara juga berdampak pada keterlambatan distribusi surat suara. Pada 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri dua kali menerbitkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) karena KPU terlambat mendistribusikan surat suara. Seandainya pemilu legislatif yang dijadwalkan Maret diundur ke Juli, KPU akan lebih siap, lebih baik, simpel, biaya dihemat 50 persen, dan partisipasi politik rakyat akan lebih tingggi. Keyakinan saya, dilaksanakannya pemilu serentak akan meningkatkan partisipasi pemilih memberikan suaranya. Tinggal nambah satu kotak saja.

Anda tampaknya sangat yakin permohonan Anda dikabulkan. Jika permohonan Anda dikabulkan seluruhnya, apakah itu berarti "mengebiri" putusan MK yang sebelumnya dalam permohonan Effendi Gazali?
MK bisa menolak satu permohonan dari uji materiil, tapi orang bisa mengujikan kembali dengan batu ujian pasal-pasal UUD 1945 yang berbeda dan argumentasi konstitusional yang berbeda. MK bisa mengubah putusannya kalau ada permohonan baru, argumentasinya berbeda, dan pasal-pasal yang berbeda. Saya sudah tunjukkan perbedaan permohonan saya, misalnya, Pak Effendi Gazali tidak menguji dengan Pasal 4 Ayat (1) dan Pasal 7C UUD 1945, di samping perbedaan argumentasi yang disampaikan. Pak Effendi Gazali banyak memberikan argumentasi politik dan sosiologis. Saya tidak ada, argumentasi semuanya murni yuridis. Karena kita di pengadilan maka saya mengesampingkan argumentasi politis dan sosiologis. Ini alasan bagi MK untuk meneruskan menguji permohonan saya ini. Bisa saja, satu pasal yang sebelumnya ditolak, sekarang diterima karena ada argumentasi baru.

Sebaliknya, jika permohonan Anda ditolak?
Apa boleh buat, putusan pengadilan itu kalau saya mengutip pernyataan Pak Mahfud MD, "Biar pun salah, ngawur, biar pun putusan hakim yang memutus perkara itu bodoh, putusan pengadilan itu mengikat bagi siapa pun." Itulah dilemanya undang-undang. Tapi orang seperti saya tetap akan mengkritik putusan itu salah meski tidak akan mengubah hasil putusan itu. Contohnya dalam kasus Asian Agri. Yang diadili Suwir laut, tapi MA (Mahkamah Agung) menjatuhkan hukum denda pajak Rp 2,5 triliun kepada Asian Agri. Menurut saya putusan itu salah, sebab dalam prinsip hukum tidak ada seseorang bisa dihukum tanpa diadili. Bagi saya, putusan yang salah tetap harus dianggap problem secara akademik meskipun putusan itu harus dipatuhi. Akhirnya kita seperti Socrates. Socrates minum racun walaupun putusan hakim yang mengadili diketahuinya salah, tapi dia patuh pada hukum. Bedanya, kasus uji materiil yang saya mohonkan menyangkut kehidupan suatu bangsa, bukan seperti Socrates yang hanya menyangkut dirinya sendiri. Kalaupun harus ditolak MK, putusan ini harus dianggap benar. Mungkin saja saya tidak mau tunduk dengan putusan itu, pemilu legislatif tidak begitu masalah buat saya, yang jadi masalah adalah pemilu presiden. Sekiranya permohonan saya ditolak, PBB (Partai Bulan Bintang) silakan mau ikut pemilu legislatif atau tidak. Sekali lagi, kalau MK menolak permohonan saya, saya tetap berkeyakinan putusan MK itu bertentangan dengan konstitusi. Bisa saja saya memutuskan tidak mau ikut dalam pencapresan, itu urusan saya pribadi, orang maju presiden bisa menang bisa kalah. Kalau saya kalah ya wajar, Ibu Mega (Megawati Soekarnoputri) saja kalah sampai dua kali, Pak Wiranto juga kalah sekali sebagai presiden dan kalah satu kali sebagai calon wakil presiden masih mau mencalonkan kok. Pak JK (Jusuf Kalla) juga pernah kalah tapi masih tetap maju, apalagi saya yang belum pernah maju dalam pemilihan langsung. Yang saya khawatirkan bukan saya kalah tapi kalau saya menang. Begitu saya menang, orang akan mempertanyakan presiden ini konstitusional atau tidak. Bagi saya itu sangat berat tapi kita lihat perkembangannya seperti apa. Lagi-lagi, kalau MK menolak permohonan saya, dan ketika ada presiden terpilih yang mengalami krisis konstitusi, saya sebagai orang hukum tata negara, mudah-mudahan di dunia dan akhirat saya tidak dipersalahkan lagi. Saya bicara seperti ini degan segala risiko. Sama halnya saat menghadapi krisis 1998, semua orang mengatakan bahwa cara Pak Harto berhenti tidak sah dan Habibie tidak sah sebagai presiden, tapi saya katakan ini sah. Waktu itu saya sadar, bisa-bisa saya dibunuh orang. Tapi jauh belakangan hari, seperti almarhum Ali Sadikin dan almarhum Matori Abdul Jalil mengatakan, "Sampeyan benar." Kadang-kadang orang menyadari kebenaran itu ketika waktu sudah berlalu.

Permohonan Effendi Gazali diputus Maret 2013 dan dibacakan Januari 2014, lazim tidak seperti itu?
Batas waktu antara diputuskan dan pembacaan itu memang tidak ada. Khusus untuk kasus ini, saya melihatnya bukan lagi murni persoalan hukum tapi sudah masuk campur tangan politik. Permohonan ini memang sudah diputuskan semasa Pak Mahfud MD dan dikabulkan, tapi bisa jadi beliau merasa tidak enak untuk membacakannya karena sudah tersiar kabar akan mencalonkan presiden, nanti dianggap ada hubungannya. Masa Pak Akil (mantan Ketua MK Akil Moctar), saya tidak tahu apa yang terjadi dan baru masa Pak Hamdan Zoelva dibacakan pada Januari 2014. Namun yang menjadi pertanyaan saya adalah ketika saya mengajukan permohonan uji materiil Undang-Undang Pilpres dan menjalani sidang perdana di MK, ketika 10 bulan tidak ada kabar berita permohonan Pak Effendi Gazali, tiga hari kemudian permohonan Pak Effendi dibacakan. Lazimnya, kalau ada perkara yang mau diputus dan ada perkara yang sama masuk, maka MK akan menyatukan sidangnya. Dua perkara itu diputus pada saat yang bersamaan. Apa yang terjadi? Saya curiga putusan permohonan Pak Effendi itu dibacakan setelah tiga hari permohonan saya disidangkan tujuannya untuk memojokkan saya, seolah-olah uji materiil saya sudah tidak relevan lagi. Suudzon saya, nampaknya ini disengaja sampai permohonan saya ini banyak membuat orang panik dan menghebohkan dimana-mana. Beberapa kedutaan asing menghubungi saya, termasuk wartawan media asing, dari Jepang, Inggris hingga Amerika Serikat mempertanyakan masalah ini kepada saya.

Ketika misalnya MK mengabulkan permohonan Anda tapi dibacakan setelah pelaksanaan pemilu selesai atau rentang waktu yang lama seperti yang diberlakukan kepada Pak Effendi, apa dampak konstitusionalnya?
Hahaha, kalau seperti itu keadaannya, itu membuktikan tudingan saya tadi benar bahwa politik bermain. Saya dan MK bisa membuat sidang ini sangat singkat. Kalau perlu saya tidak perlu menghadirkan saksi, saya terangkan argumen dan berikan bukti-bukti. Kemarin saya sampaikan tidak perlu menghadirkan ahli hukum tapi akan saya hadirkan ahli bahasa untuk menerangkan arti bunyi dari pasal-pasal yang saya mohonkan. Kalau mau cepat lagi, saya terangkan sendiri, dengar keterangan pemerintah, dengar keterangan DPR, kalau perlu saya bantah saya akan bantah, Sidang bisa jadi hanya berlangsung sekali sidang. Seminggu kemudian MK bisa mengambil keputusan. Hehehe.. apabila pembacaan putusan seperti yang Anda katakan tadi maka bisa mengakibatkan presiden terpilih 2014 akan mengalami krisis legitimasi, orang akan mempertanyakan presiden ini sah atau tidak, menimbulkan problem konstitusionalitas. Saya tidak mengatakan mutlak bahwa pemilu itu inkonstitusional, tapi potensi inkonstitusional. Lalu orang-orang marah-marah kepada saya. Bahkan kantor PBB mau diserbu, memaksa PBB supaya tidak ikut pemilu, karena saya pernah mengatakan inkonstitusional.

Keliatannya serius sekali maju sebagai capres. Anda memanfaatkan posisi Pak Hamdan sebagai ketua MK yang notabene pernah menjadi kader Anda?
Sejak permohonan ini saya ajukan ke MK, sampai hari ini saya tidak pernah bertemu dengan Hamdan Zoelva. Bicara pun tidak. Dengan Pak Pak Mahfud pun dulu begitu, dalam berbagai kesempatan kami memang pernah berbincang tapi bukan membicarakan perkara yang berlangsung. Kemudian, putusan MK kemarin tidak ada manfaatnya sama sekali bagi saya. Ada lagi yang mengatakan saya disuruh SBY mengusulkan uji materiil ini agar pemilu kacau dan masa jabatan beliau diperpanjang. Itu semua omong kosong, tidak ada urusannya dengan semua itu. Bagi saya siapa pun ketua dan hakim konstitusinya tidak ada untungnya. Pada zaman Pak Mahfud saya lebih banyak menang dibandingkan dengan zaman Pak Jimly (Asshidiqie), padahal Jimly teman saya sekelas. Sementara pada masa Pak Hamdan 50-50, kadang-kadang menang, kadang-kadang kalah. Supaya yakin saya tidak diuntungkan, ganti saja Pak Hamdan. Surya Paloh sekalipun ketua MK-nya, saya tidak ada pengaruhnya. Pengalaman pahit pernah saya alami karena teman yang saya harapkan mau menolong saya, malah menjatuhkan saya. Kejadian itu berawal saat saya menjalani ujian disertasi gelar master (S-3) spesialisasi Perbandingan Politik Masyarakat-Masyarakat Muslim di University Sains Malaysia. Oleh lima penguji, saya diminta memilih satu diantara mereka untuk memilih siapa, yang apabila putusan penguji draw, penguji yang saya pilih itu bisa menolong saya sehingga hasilnya 3-2. Lalu saya pilih Kamal Hasan, alasannya waktu dia mengambil doktor, saya bantu dia. Kenyataannya empat penguji menerima disertasi saya dan mengatakan lulus cum laude, malah Kamal Hasan yang menolak disertasi saya. Sejak saat itu saya tidak mau berteman dengan dia. Ini tragis dan sejak saat itu saya tidak pernah berpikir lagi untuk mengatakan teman yang kita anggap dekat akan menolong kita. Begitu juga saat saya akan meraih gelar profesor. Saat itu Prof Ismail Sunni (Guru Besar Universitas Indonesia) mendorong saya untuk maju jadi profesor, tapi saya bilang di Senat ini yang Islam dan yang Kristen sekian, bisa-bisa saya tidak diterima. Setelah sekian lama, saya jalan bareng dengan Prof Charles Himawan (Guru Besar Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia). Charles berkata, "Harusnya Pak Yusril kan sudah jadi guru besar." Saya jawab siapa yang mengajukan? Dia bilang, "Saya yang mengajukan." Ternyata dialah yang mengajukan saya jadi guru besar, baru diteken profesor yang lain. Padahal, Prof Charles Himawan itu Kristen dan Cina. Artinya, hidup ini sering tidak terduga. Orang lain mengatakan Hamdan akan bela saya, jangan-jangan delapan hakim lain setuju, malah Hamdan yang tidak setuju.

BACA JUGA: