JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah Indonesia mulai menerapkan kebijakan melarang ekspor mineral mentah (ore) plus pengenaan bea keluar (BK) bagi ekspor beberapa bahan mineral mentah tanpa pemurnian (konsentrat) sejak 12 Januari 2014. Kebijakan larangan ekspor barang tambang ini berpotensi mengikis devisa negara antara US$ 5 miliar hingga US$ 6,5 miliar tahun ini. Tentu hasil dari kebijakan ini tidak instan. Dengan mengolah bahan tambang mentah, hasil yang kelak didapat pemerintah akan berlipat.

Suara pro dan kontra atas kebijakan ini saling bersahutan. Para pengusaha tambang tentu kontra dengan kebijakan yang memiliki tujuan meningkatkan nilai tambah ini. Mereka bahkan mengancam pemerintah bakal ada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bila aturan itu tidak direvisi.

Dua perusahaan tambang besar di Indonesia yakni PT Newmont Nusa Tenggara dan PT Freeport Indonesia juga berteriak kencang. Mereka tak terima bila laba besar yang selama ini dinikmati diambil oleh pemerintah.

Freepot pun melancarkan lobi-lobinya, mungkin juga perusahaan tambang yang lainnya. Yang tampak di permukaan akhir Januari lalu, petinggi Freeport mendatangi Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Freeport meminta ada keringan bea keluar bagi mereka.  

Untuk mendalami dasar dari kebijakan pemerintah menerapkan aturan ini, Reporter Gresnews.com Heronimus Ronito dan Pewarta Foto Edy Susanto mewawancarai Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM R Sukhyar di ruang kerjanya, Jakarta, Senin (10/2).

Berikut petikannya:

Apa yang membuat pemerintah menerapkan kebijakan larangan ekspor bahan mentah?
Pertama kita mulai dari rencana rancangan undang-undang itu sendiri. Rancangan undang-undang itu sangat tegas sekali kita buat tidak ada ekspor barang mentah untuk 2014. Saya pribadi sudah melakukan sosialisasi ke Jepang, supaya Jepang juga aware someday kita tidak ekspor bahan mentah lagi ke luar negeri. Ya, Jepang karena banyak barang kita yang diekspor ke sana untuk industri mereka. Kemudian 2005, undang-undang ini rancangannya masuk ke DPR, kemudian 2006 awal dibahas hingga 2009. Artinya, hampir 3 tahun lebih UU ini dibahas. Tahun 2005 diserahkan ke DPR, 2009 Januari UU ini disahkan, artinya 3 tahun lebih UU ini begitu lama pembahasannya dengan semangat menghidupkan industri dalam negeri berbasis sumber daya mineral kita, nilai tambah menjadi penting.

Kronologinya ini kan kita sudah mengekspor bahan mentah sejak zaman Belanda. Contohnya bauksit 1938 sampai sekarang sudah tipis dan hampir habis. Kita tidak pernah pintar bagaimana mengelola bauksit. Sangat memalukan. Oleh sebab itu sudah waktunya mampu mengolah bauksit kita, baru 2013 kemarin diresmikan satu smelter untuk bauksit dan mudah-mudahan di tahun ini selesai dimulai ekspor perdana bauksit Tayan, Kalimantan Barat. Milik PT Antam.

Lima tahun terakhir ini mengerikan sekali ekspor bahan mentah kita ke luar negeri sampai bauksit hampir 60 juta ton, nikel juga 60 juta ton. Jadi bijih nikel, bijih bauksit besar sekali, sangat meroket sekali naiknya. Ini kan sangat berbahaya, kita pengekspor terbesar bijih nikel di dunia. Sementara kita ini kan harus menikmati nilai tambah dari mineral kita dan ini sangat mengkhawatirkan jika kita membiarkan keadaan ini terjadi. Oleh sebab itu UU itu sangat tegas pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) wajib melaksanakan pengolahan dan pemurnian.

Sejak tanggal itu kalau ada IUP baru wajib bukan hanya baru bahkan semuanya menyesuaikan ketentuan UU termasuk wajib pemegang kontrak karya karena ada dua izin kontrak karya dan IUP. Hal lain bahwa penduduk kita banyak 240 juta sudah harus kita meningkatkan nilai tambah mineral kita. Artinya dengan cara itu meningkatkan nilai ekonomi, meningkatkan penyerapan tenaga kerja, semakin banyak orang yang mendapatkan manfaat tapi kalau ore saja apa yang mau kita pintar, tidak dapat apa-apa kemudian dimana kemandirian teknologi kita, mengolah ini kan. Kita menyia-nyiakan pemberian yang Maha Kuasa, tidak melakukan apa-apa, ini yang harus kita lakukan dengan hilirisasi maka dampak ekonomi, sosial ini akan lebih besar sehingga banyak masyarakat Indonesia lebih mendapatkan manfaat dari kehadiran mineral kita.

Tapi kenapa pada perkembangannya muncul penilaian pemerintah melunak dengan tidak menerapkan kebijakan ini pada 12 Januari. Ekspor bahan mentah toh saat ini masih berjalan?
Oh tidak, jadi begini UU itu memang kemudian dijabarkan dalam peraturan pemerintah (PP) yang pernah dikeluarkan pada 2010, satu tahun setelah UU itu terbit. Itu dikatakan bahwa pemegang IUP diberikan waktu 5 tahun, jadi pemegang yang sudah ada sebelum UU itu terbit dikasih waktu 5 tahun untuk menyesuaikan. Artinya diberikan waktu untuk melakukan pengolahan dan pemurnian. Jatuhnya pada tanggal 12 Januari 2014, yang baru lalu.

Bagaimana dengan pemegang kontrak karya? Pemegang kontrak karya itu diatur dalam UU bukan PP lagi, wajib memurnikan. Jatuhnya juga sama 12 Januari, yang satu diatur oleh UU lebih kuat, yang satu lagi diatur PP. Tapi PP itu yang untuk IUP itu kan mengatur jangan sampai mereka bingung bagaimana ini apakah kita langsung melakukan instan? Kan tidak mungkin, perlu dikasih waktu jatuhnya sama. Pada jatuh waktu yang sama (12 Januari) kan belum ada satupun (pembangunan pengolahan tambang mentah atau smelter) yang selesai lalu pemerintah mengambil sikap. Oke, kita perbaharui PP tadi direvisi, PP diperbaharui maka boleh dikasih kesempatan mengirim bahan olahan. Tapi butir pertama esensi dari PP Nomor 1 Tahun 2014 adalah tetap dilarang mengeskpor bahan mentah, itu nomor satu. Nomor dua, pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan kontrak karya yang sudah memurnikan walaupun sebagian bisa dikasih kesempatan menjual konsentratnya, demikian juga konsentrat hasil olahan. Bukan bahan mentah ya, ingat ya bukan bahan mentah. Bagi pemegang IUP karena belum selesai, oke kita kasih kesempatan juga menjual hasil olahan konsentratnya bukan ore dan itu kemudian dijabarkan dalam Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2014.

Permen ESDM No 1 Tahun 2014, apa sih yang disebut dengan olahan, pemurnian mana sih batas bawahnya, itu ditetapkan oleh Permen ESDM No 1 Tahun 2014. Itu sekaligus juga disamping batas bawah tadi juga apa itu pengolahan dan pemurnian, juga dikasih batas waktu 3 tahun sampai 2017 boleh mengekspor hasil olahan kalau yang sudah melakukan pemurnian ya tidak ada masalah. Ini kita bicara olahan, seperti konsentrat tembaga, konsentrat pasir besi sampai 2017. Artinya, 2017 keatas tidak boleh hasil olahan semuanya harus murni. Misalnya, bijih besi ya jadinya besi, konsentrat tembaga ya jadi tembaga, konsentrat pasir besi jadi besi, konsentrat bijih mangan ya jadi mangan. Nah itu semua diatur dalam Permen, produk pemurnian. Jadi setelah 2017 sudah tidak ada lagi produk pengolahan, yang ada pemurnian. Kalau ada pemurnian itu ya logamnya.

Berarti menjadi barang jadi ya Pak?
Ya logamnya. Kalau olahan itu konsentrat, masih intermediate. Yang jelas semuanya sudah tidak ada ore yang dijual ke luar negeri. Ore boleh diproduksi, tidak ada masalah tapi untuk konsumsi dalam negeri. Misalkan ada seseorang menambang ya ga ekspor ke luar negeri tetapi memasok pemurnian ya tidak ada masalah.

Artinya terjadi pergeseran seharusnya di dalam UU Minerba Tahun 2009 itu kan sudah diatur pada saat penerapan di tahun 2014, sudah tidak ada ekspor baik konsentrat tetapi langsung barang jadi. Nah ini kan sudah terjadi pergeseran. Apa sih yang menjadi pertimbangan pemerintah bisa berubah begitu?
Lho faktanya belum jadi mau diapain gitu, itu yang pertama. Kedua, kalau kita menerapkan ya terjadi Penghentian Hubungan kerja (PHK) besar-besaran dan itu dampak sosialnya luar biasa, ya itu yang menjadi pertimbangan juga. Dalam keadaan itu negara boleh melakukan pengambil keputusan kebijakan yang mementingkan kepentingan negara, kan puluhan ribu tenaga kerja yang akan terkena PHK kalau itu dilarang. Jadi ada masalah hukum, kita patuh itu sudah tetap, tetapi kita kompromikan karena ada dampak sosial yang besar karena kita mendapat surat dari Gubernur Papua, Gubernur NTB kemudian Bupati. Pada intinya mereka kepala daerah setuju hilirisasi pemurnian tetapi kasih batas waktu lagi untuk penyesuaiannya tidak pada tanggal 12, jika dilakukan maka berhenti semua kegiatan pemegang kontrak, berhenti tidak ada kegiatan. Nah ini yang dikhawatirkan. Sekarang semuanya berbondong-bondong ini untuk menyelesaikan tugasnya untuk melakukan pemurnian dengan membangun smelter baik dilakukan sendiri atau kerjasama dengan pihak lain.

UU Minerba itu disahkan sejak 2009 sehingga ada waktu lima tahun yang seharusnya dapat dipakai pengusaha untuk membangun smelter, apa pemerintah tidak mengontrol?
Memang itu dilakukan, tetapi itu dilakukan belum melihat kesungguhan mereka pelaku usaha. Tentukan evaluasi yang dilakukan pemerintah berdasarkan misalkan studi FS (Feasibility Study) membangun smelter itu juga baru ditekankan dua tahun terakhir jadi sudah ya telat lah. Tapi poinnya begini, saya sebagai birokrat toh ini sudah terjadi, sudah tidak bisa apa-apa. Saya tidak bagian dari itu, tapi kita tidak menyalahkan. Faktanya tanggal 12, progress-nya sedikit sekali, sehingga kita mengambil sikap. Sekarang kita melakukan pengetatan. Kita melihat apa sih keseriusan mereka? Apakah mereka benar-benar serius atau tidak membangun smelter baik sendiri atau kerjasama? Ini kan yang kita kejar-kejar semua. Maka sekarang kita melakukan sangat serius, pertama adalah kita tidak akan membiarkan mereka ekspor konsentrat kalau memang dia tidak ada komitmen membangun smelter, konsep ini terhalangi untuk ekspornya. Apa buktinya mereka membangun smelter? Kalau tidak ada buktinya, kita tidak lepas dia ekspor konsentrat.

Kalau 2017 para perusahaan tambang juga tidak membangun smelter, apa yang dilakukan pemerintah?
Cabut saja izinnya kalau mereka bandel kan. Kan kita punya diskresi kan, kenakan saja kan.

Pemerintah tidak pandang bulu dengan perusahaan tambang apa saja?
Ya, ya. Yang jelas pada tahun 2017, saya tidak mau berandai-andai. Kalau dia tidak bangun smelter ya tidak boleh ekspor sampai selesai smelternya, ya kan. Resikonya itu, tidak boleh ekspor konsentrat sampai selesai. Kalau sekarang kan diberi waktu sampai 2017 boleh ekspor konsentrat. Kalau belum selesai, ya sudah jangan ekspor konsentratlah, ya kan.

Kalau larangan ekspor konsentrat diterapkan saat ini apa dampak bagi Indonesia?
Ya, penerimaan negara menjadi tidak maksimal.

Soal penerapan Bea Keluar, banyak pengusaha tambang komplain apalagi berdampak kepada perusahaan tambang kecil, bagaimana mengatasi itu?
Sebenarnya bea keluar itu merupakan satu kesatuan kebijakan dengan PP No 1 Tahun 2014 dengan Permen 1 Tahun 2014, juga Permendag mengenai ekspor terdaftar dan harga patokan barang ekspor, itu satu kesatuan bea keluar. Bea keluar itu dimaksudkan agar mereka serius membangun smelter. Artinya daripada terkena bea keluar, ya bangun smelter gitu lho. Kalau dia bangun cepat smelter kan tidak kena bea keluar. Jadi sebenarnya adalah suatu tekanan kepada mereka agar melakukan keseriusan dan juga kemudian diwujudkan dalam pembangunan smelternya.

Nah ide bea keluar itu bukan mencari duit tetapi untuk menekan mereka ya kan supaya mereka serius, itu satu. Tentu kalaupun ada komentar bukan kepada bea keluarnya. Bea keluarnya sah-sah saja tapi biasanya jumlah besaran. Jumlah besaran kan juga masih bisa disampaikan keberatannya, tapi bea keluar itu perlu untuk menjamin keseriusan mereka. Pada prinsipnya setuju, cuma mohon keringanan.

Pengusaha menuding pemerintah karena tidak menyediakan dana pembangunan smelter. Apakah pembangunan smelter itu memang didanai pengusaha sendiri atau dukungan pemerintah?
Yang diminta pelaku usaha itu misalnya intensif fiskal, infrastruktur misalnya energi ya itu memang PR-nya pemerintah, kemudian perizinan lokasi, itu yang mereka minta. Kalau soal bangun smelter di UU itu dikatakan mereka wajib ya wajib, pengusahanya yang wajib membangun smelter tidak perlu ada bantuan pemerintah, mereka wajib membangun. Membangun itu bisa sendiri, kalau tidak bisa bangun ya dia bisa kerjasama dengan orang lain. Bisa menitipkan, misalnya seperti Freepor dengan smelter Gresik. Freeport kan tidak punya smelter, konsentratnya dia jual ke smelter Gresik, demikian juga kedepannya juga begitu kan gak harus bangun sendiri, bisa dengan orang lain.

Pemerintah juga dituding tidak mengundang investor sebagai pendukung pembangunan smelter?
Saya tidak tahu persis apa yang terjadi, saya dulu di badan geologi jadi tidak tahu persis apa yang dilakukan pada saat itu. Sekali lagi saya tidak ingin melihat kebelakang tapi lihat kedepan. Tidak ada gunanya. Yang penting kita serius mengawal, membantu pelaku usaha karena pembinaan merupakan kewajiban pemerintah kepada pelaku usaha. Apa kesusahan mereka, kita dengarkan. Jadi saya sekarang ingin mengawal ketat. Jadi memang saya tidak tahu sama sekali, Saya kan baru satu bulan.

Ada perusahaan tambang yang sudah tutup akibat pemberlakuan undang-undang ini?
Ya tutup, kita mendapatkan laporan dari berbagai gubernur, Sulawesi Tenggara, mereka meninggalkan wilayahnya begitu saja tanpa reklamasi dan sebagainya. Harusnya mereka kewajiban memelihara lingkungannya kan. Waktu itu dibenarkan ekspor go material dia menggebu-gebu begitu dilarang dia tinggalkan begitu saja. Siapa yang bertanggung jawab sekarang soal lingkungan ? Pelaku usaha kan, dia tidak perlu meninggalkan kan. Dia mesti cari partner kan kemana dan berapa smelter yang ada, ya pasok lalu kerjasama saja.

Saya bertemu dengan Gubernur Sulawesi Tenggara karena 5 provinsi penghasil nikel mendukung larangan ekspor. Jadi sudah antisipasi bahkan mereka mengawalnya seperti Gubernur Sulawesi Tenggara melakukan pembentukan tim penertiban pertambangan itu dilakukan sebelum 12 Januari ya karena sudah berketetapan mendukung pelarangan ekspor maka ia membentuk tim turun ke lapangan melihat apa yang terjadi.

Pada waktu yang sama sudah banyak perusahaan-perusahaan meninggalkan tempat itu. Kemudian saya juga tanya Gubernur Kalimantan Barat dimana bauksit itu banyak ya semuanya pasti meninggalkan IUP-nya kan, karena mereka. Jadi yang penting kita mendukung ini supaya mereka bekerja kembali. Ini kan pasti ada penyesuaian, masa transisi dimana mungkin devisa kita akan turun. Tapi kan, itu di-cover dua tahun dari sekarang sudah sehat kembali.

Terkait Freeport. Freeport kan meminta keringanan kepada Pemerintah terkait bea keluar, bagaimana?
Sekali lagi saya katakan bahwa pemerintah tidak akan tinggal diam. Kalau memang senyata-nyatanya menyulitkan operasi tentu pemerintah tidak tinggal diam. Mungkin akan duduk bersama kembali melihat berapa yang tepat, yang jelas bea keluar itu tidak bisa dihapuskan. Mungkin keringanan dan sebagainya. Tapi Freeport juga tidak tinggal diam, dia harus serius juga membangun smelter karena waktu kan 2017. Kita minta Freeport jangan juga selalu menjadikan karyawan itu sebagai collateral atau sebagai tameng, itu tidak bagus. Dia juga harus usaha, kalau dia begitu pemerintah juga pasti marah. Nah ini kan negara, masak negara tidak berkedaulatan, tidak bisa juga. Bisa saja kita tidak memperpanjang Freeport.

Kalau tidak diperpanjang?
Ya sudah berhenti saja 2021.

Apakah Indonesia rugi, karena Freeport merupakan industri besar?
Ya kan diambil alih saja. Ngapain kita susah-susah kan. Misalkan tidak serius banget ya sudah. Tapi saya melihat ada iktikad baik, sudah ada perubahan. Tinggal kita kawal saja. Toh kalau ada bangun smelter akan menguntungkan kita dari sisi efek ganda dalam negeri, kan ada efek ganda ekonomi. Kalau ada bangun industri raksasa pasti ada triger kegiatan ekonomi lainnya. Sekarang terus berjalan dan terus membaik. Tugas kita sama melihat ini dan mengawal ini, mempertemukan Freeport dengan investor lain. Sudah ada MoU Freeport dengan dua bahkan tiga perusahaan swasta nasional, PT Nusantara, PT Indosmelt, PT Indofasi yang siap menampung konsentrat mereka. Demikian juga sudah masuk PT Antam yang juga sudah deal dengan Freeport dan Newmont. Jadi perkembangan ini positif sekali. Saya mohon positif ini kita kawal sehingga membuahkan juga.

Harusnya permasalahan Freeport terkait bea keluar, ini bisa diredam bila pemerintah serius menjalankan Kepres terkait divestasi saham?
Ya sekarang kan kita juga sedang membahas juga jadi isu-isu negosiasi disamping negosiasi. Itu juga menjadi point penting, yang menjadi perhatian kita untuk menekan mereka. Kemudian luas wilayah dia, ya kalau tidak dipakai ya dikembalikan. Penerimaan negara berupa royalti kan kita juga minta dari sana, yang kita rasakan perlu ditingkatkan disana untuk mendapatkan penerimaan negara yang cukup besar.

Berapa royalti yang diberikan Freeport kepada negara?
Menurut PP kan 3,75 persen untuk emas, tembaga itu 5 persen, perak 3,75 persen.

Ada rencana peningkatan?
Ya sekarang kita mencoba melakukan peningkatan. Harganya belum bisa kita pastikan, kita harus melihat dokumen-dokumen Freeport dan sejarah keuangan Freeport.

Masih soal Freeport, Wamen ESDM sempat mengeluarkan statement mempersilakan Freeport untuk keluar jika tidak tertib dan tidak mengikuti peraturan pemerintah. Kalau Freeport ini keluar, apakah pemerintah siap karena ini melanggar kontrak karya? Bagaimana pemerintah menyikapi persoalan itu?
Dalam keadaan emergency tentunya force majeur. Ya pertama adalah kedaulatan terhadap resources itu sangat penting. Negara itu kan berdaulat termasuk sumber daya beserta isinya, ya kan. Kalau pemegang kontrak karya melanggar hukum, maka dia juga harus kena punish. Kalau tidak memperbaiki, kita kan punya kebijakan ya harus dihentikan kontraknya. Gitu aja kan. Pertanyaannya bisa tidak? Ya harus bisa, dalam keadaan bagaimana pun juga harus bisa kan banyak perusahaan-perusahaan tambang Indonesia, BUMN saja sudah ada tiga yang besar-besar. Bahkan harus berani mengambil posisi dong, ya kan.

Tidak takut perang? Hahaha..Nanti kayak Amerika dengan Irak karena minyak malah Amerika invasi?
Hahahaha..ya tidak. Itu kan terlalu jauh. Kan tinggal dikasih saja, kan menuju ke sana kan panjang ada arbitrase itu diselesaikan di peradilan internasional pasti dia bawa kesana, ya kita ladeni saja. Tapi perusahaan pada posisi tidak akan membawa arbitrase. Jangan lupa lho Papua itu kan daerahnya Freeport, daerah bonansa, daerah kaya copper (tembaga) kan. Dia juga berminat terus kan untuk berada di Indonesia. Itu kan yang dinyatakan oleh Arkinson "We love Indonesia, we want to stay here" itu kan bahasanya. Ya kan kita lihat saja. Yang penting kita tetap kepada posisi mencari solusi untuk tidak memperbesar gap dan yang paling penting adalah manfaat penerimaan negara harus lebih besar dari waktu ke waktu, itu yang lebih penting. Jangan pula Freeport sudah diberikan misalkan kenyamanan ya dia juga harus patuh dengan UU.

BACA JUGA: