JAKARTA, GRESNEWS.COM - Idul Fitri merupakan momen hari raya yang selalu dinantikan oleh banyak orang di Indonesia, yang mayoritasnya beragama Islam. Idul Fitri selalu menyisakan banyak cerita setiap tahunnya. Ritual mudik-balik, harga-harga barang dan kebutuhan pokok yang naik, dan seterusnya. Sebenarnya apa makna terdalam semuanya itu?

Berikut ini penjelasan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Prof. Dr. KH Said Aqil Siradj, MA, kepada reporter gresnews.com Agus Hariyanto, Minggu (12/7).

Lelaki yang akrab dipanggil Kiai Said ini menjelaskan bahwa di dalam agama Islam sebenarnya hanya ada dua hari raya, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. "Selain dua hari besar itu, (hari besar Islam lainnya) merupakan gagasan manusia lah, budaya. Kalau dari Allah, hari besar yang kita rayakan cuma dua ini," ujar Kiai Said di ruangannya, lantai 3 Kantor PBNU, Jl. Kramat Raya Nomor 164, Jakarta Pusat.

Terkait dengan Idul Fitri, menurut Kiai Said, momen itu begitu dinantikan karena hari itu menjadi pertanda bahwa umat Islam telah lulus dari ujian. Yaitu ujian menahan hawa nafsu selama sebulan penuh, puasa di bulan Ramadan.

"Setelah kita, umat Islam, menjalankan ibadah puasa itu kan berarti kita sudah lulus. Lulus melewati ujian yang sangat berat, satu bulan kita puasa," ujar lelaki asal Cirebon, Jawa Barat itu.

Oleh karenanya, doa minal aidin wal faizin tak akan pernah henti diucapkan pada momen Idul Fitri. "Minal ‘aidin itu artinya, mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang kembali ke jalan yang benar. Sedangkan wal faizin itu artinya dan kita termasuk orang yang menang atau berhasil melawan hawa nafsu," kata Kiai Said.

Kiai Said melanjutkan, musuh yang paling utama dari manusia adalah hawa nafsunya. Pada bulan Ramadan, umat Islam dilatih dan diuji untuk mengalahkannya. "Musuh paling utama kita itu kan hawa nafsu kita sendiri. Yaitu ambisi yang tidak pernah selesai. Ketamakan yang tidak pernah kenyang. Itu musuh kita yang utama," katanya.

Di Indonesia, "kelulusan ujian" ini dilengkapi dengan acara silaturrahim, saling mengunjungi dan maaf-memaafkan. Baik dengan orang tua, kerabat, guru, tetangga, teman, handai taulan dan lainnya. Karenanya, ritual mudik ke kampung halaman dengan itu selalu menjadi cerita asyik dan menarik tiap tahunnya.

"Jadi sempurna banget, dengan Allah lulus, yaitu selesai dengan ibadah puasa. Dengan sesama umat manusia, dengan orang tua, dengan guru, dengan teman kita selesai. Lulus. Saling mengunjungi dan memaafkan. Menyempurnakan kelulusan dengan silaturrahim atau mudik-lah istilah saat ini," kata lelaki yang lahir pada 3 Juli 1953 itu.

Kiai Said mengajak umat Islam Indonesia, terutama yang bernanung di organisasi Nahdlatul Ulama untuk merenungi dan menghayati arti Idul Fitri. Yaitu menjadi orang yang kembali ke jalan yang benar dan menang melawan hawa nafsu. Hal itu penting agar kita menjadi manusia yang benar-benar bersih, yang suci.

"Agar kita betul-betul menjadi hamba-hamba Allah yang bersih, yang berhasil melalui ujian berat. Yaitu melalui ujian puasa sebulan. Mari kita sempurnakan dengan silaturrahim, saling memaaafkan," kata Ketua Umum PBNU Periode 2010-2015 ini.

ISLAM KHAS NUSANTARA - Bagi NU, momen Idul Fitri tahun ini juga menjadi lebih berkesan. Islam Nusantara yang identik dengan cara keberislaman NU saat ini sedang ramai dibicarakan, sedang naik daun. Yaitu Islam khas Indonesia, Islam yang damai, moderat dan ramah budaya.

Islam Nusantara ini juga akan menjadi tema besar dari kegiatan lima tahunan NU. Yaitu Muktamar NU yang ke-33 yang akan diadakan di Jombang Jawa Timur pada 1-5 Agustus 2015. Tema muktamar adalah: "Meneguhkan Islam Nusantara untuk peradaban Indonesia dan dunia".

"Iya Islam Nusantara akan diteguhkan. Ternyata tema Islam Nusantara ini menarik bagi orang luar juga, orang luar NU maupun luar negeri. Di saat-saat Islam Timur Tengah kehilangan peradaban, kehilangan budaya, kehilangan akhlak, kehilangan moral. Kita di sini masih tetap mempunyai karakter ahlus sunnah yang bermoral, berakhlak, berbudaya. Karakter khas Islam Indonesia," kata lelaki yang menamatkan program sarjana sampai doktoralnya di Arab Saudi itu.

Terkait dengan Islam Nusantara ini, Kiai Said mengatakan bahwa Islam Nusantara bukanlah mazhab atau aliran baru dalam Islam di Indonesia. "Sebenarnya apa yang kita jalankan selama ini, yaitu apa yang kita warisi dari nenek moyang, itu tipologi Islam nusantara," katanya.

Islam Nusantara, menurut Kiai Said, memang punya tipologi tersendiri, berbeda dari yang lain. Ciri atau keistimewaan Islam Nusantara adalah keharmonisannya dengan budaya Nusantara. Islam Nusantara disebarkan para anggota Wali Songo dengan cara meleburkannya dengan budaya lokal. Sehingga Islam tidak menjadi barang asing.

"Jadi bukan dengan doktrin, yang seakan-akan asing dengan budaya. Bukan merupakan doktrin dari langit, asing sekali dengan keseharian kita, itu bukan. Kalau begitu nanti akan tertolak dakwahnya," kata pria yang dikukuhkan sebagai Guru Besar bidang Ilmu Tasawuf di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya, 29 November 2014 itu.

Melalui budaya, ajaran Islam pelan-pelan diterima oleh masyarakat Nusantara. Cara ini, terbukti membuat Islam Nusantara tidak cepat luntur Islamnya. Tidak seperti penyebaran Islam yang melibatkan peperangan. "Islam Nusantara disebarkan dengan budaya, bukan doktrin. Memang itu pelan-pelan, tapi kalau sudah masuk tidak akan bisa luntur. Beda dengan peperangan, cepat Islamnya tapi mudah juga hilangnya, seperti di Andalusia atau Spanyol,  itu kan hilang. Kalau dengan budaya sampai mati pun orang tidak akan hilang," kata Kiai Said

Oleh karena itu, ajaran Islam yang damai, toleran, moderat dan berbudaya ini kemudian tidak terasa menjadi laku keseharian masyarakat Nusantara, sampai saat ini. "Tidak terasa bahwa keseharian masyarakat, apa yang dilakukan, itu Islami sekali. Baik di rumah, di jalan dan seterusnya. Kalau ketemu saling sapa, saling beri salam, menawarkan untuk mampir, saling minta maaf dan memaafkan. Itu kan Islami banget," ujar Kiai Said.

ISLAM ITU DAMAI - Sebaliknya, Kiai Said mengecam orang atau kelompok yang mengaku Islam tapi tindakannya tidak Islami. Tidak mencerminkan Islam. Misalnya dengan menyebarkan kebencian, kemarahan, dan fitnah kepada kelompok lain. Apalagi menampilkan wajah mengerikan seperti yang saat ini terjadi pada Islam di Timur Tengah.

"Itu bertentangan dengan agama Islam, kalau menyebarkan permusuhan dan fitnah. Ngakunya Islam tapi perilakunya bertentangan dengan Islam," tegasnya.

Islam, menurut Kiai Said, mengajarkan akhlak yang mulia, akhlakul karimah. Islam mengajarkan untuk saling memaafkan, bukan saling menyebarkan kemarahan dan kebencian kepada kelompok lain. "Apalagi membunuh, itu tidak boleh," tambahnya.

Menurut Kiai Said, NU akan terus menjunjung tinggi apa yang telah dirintis oleh Wali Songo. Yaitu dengan terus mengembangkan nilai-nilai Islam Nusantara yang damai, moderat dan toleran. "Akan selalu menjunjung prinsip-prinsip Nahdlatul Ulama yaitu tawassuth, tawazun dan tasamuh. Tawassuth dalam syariah, tawassuth dalam akidah, tawassuth dalam akhlak," katanya.

Tawassuth artinya sikap tengah-tengah, tidak ekstrem. Tawazun artinya seimbang dalam segala hal. Termasuk seimbang dalam mempergunakan dalil sebagai dasar hukum. Yaitu dari dalil aqli (dari akal pikiran) dan dalil naqli (dari Alquran dan Hadits). Sedangkan tasamuh berarti toleran.

Tak salah kiranya, jika saat ini Islam damai, moderat dan toleran khas Indonesia banyak dilirik oleh muslim dari negara-negara lain. "Di saat-saat umat Islam di Timur Tengah seperti itu, mengerikan dan memalukan, Islam di Indonesia, terutama Islam NU pada khususnya, jadi menarik. Kok ada mayoritas umat Islam tidak menjadi sombong dan tidak arogan. Bahkan sebaliknya, mayoritas NU melindungi yang minoritas. Kalau di luar negeri nggak ada kayak gini, mayoritas ya menggencet minoritas. Nah, di sini nggak, di sini mayoritas melindungi minoritas," ujarnya.

NU, seperti ditulis dalam website resminya, adalah organisasi keagamaan Islam yang menganut paham Ahlussunah Wal Jam´ah. Sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli (skripturalis). Karenanya, sumber pemikiran NU tidak terbatas dari Alquran dan Hadits nabi. NU juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empiris. NU terus mengembangkan gerakan pribumisasi Islam, meneruskan apa yang telah dimulai oleh para Wali Songo, dan pendahulunya. 

BACA JUGA: