JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sinetron berjudul "Tukang Bubur Naik Haji" yang tayang pada hari Sabtu tanggal 1 Februari lalu mengundang kehebohan di jagat politik nasional. Bukan lantaran aksi para pelakonnya yang nyerempet-nyerempet urusan politik semisal mengkritik pemerintah kelewat keras, tetapi gara-gara penampilan "dua bintang tamu" dadakan yang muncul selama beberapa menit di sinetron di stasiun televisi RCTI itu.

Dua bintang tamu dadakan itu adalah calon presiden dan wakil presiden dari Partai Hanura, Wiranto dan Hary Tanoesoedibjo. Hary alias HT sendiri memang pemilik dari stasiun televisi itu. Masalahnya, di tengah adanya larangan menggunakan frekuensi milik publik untuk menayangkan kepentingan politik tertentu apalagi stasiun televisi itu dimiliki oleh petinggi partai politik, pasangan capres-cawapres Hanura ini sendiri malah muncul memanfaatkan medium tayangan sinetron dengan durasi ekspose yang cukup lama.

Wajar saja jika kemudian penampilan Win-HT menjadi sorotan. Apalagi sebelumnya pasangan ini juga dikritik karena memproduksi kuis Win-HT yang diduga sarat muatan kampanye. Perilaku model begini, bukan cuma dilakukan pasangan Win-HT saja. Beberapa pemilik media lainnya seperti Ketua Umum Nasdem Surya Paloh dan Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie juga kerap menggunakan stasiun televisi milik mereka untuk menyiarkan tayangan berbau kampanye. Saban ada tayangan yang menampilkan partai atau profil keduanya, stasiun televisi milik masing-masing ketua parpol itu pasti memberikan durasi yang lumayan panjang dan tidak proporsional.

Itu mengapa pada tanggal 25 Januari lalu, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengesahkan aturan iklan kampanye untuk partai politik yaitu Surat Keputusan Nomor 45 Tahun 2014 tentang Petunjuk Pelaksanaan Terkait Perlindungan Kepentingan Publik, Siaran Jurnalistik, dan Pemilihan Umum. Beleid baru ini mengatur penggunaan frekuensi publik untuk siaran iklan pemilu.

Atas dasar itulah KPI telah menegur enam stasiun televisi nasional yang dinilai tidak proporsional dalam penyiaran politik. Keenam televisi tersebut adalah RCTI, MNC TV, Global TV, ANTV, TV One, dan Metro TV. Ketua KPI Judhariksawan di Kantor KPI, mengatajan, keenam stasiun televisi itu dalam siarannya dianggap tidak proporsional terkait pemberitaan partai atau tokoh politik tertentu. Jika terkait partai atau tokoh partai atau pemilik stasiun, seringkali durasi tayangan lebih panjang. Selain itu juga kontennya terkesan menguntungkan partai sang pemilik stasiun televisi.

Pemilik stasiun televisi yang juga petinggi partai juga terlihat nekat. Meski sudah ditegur, namun tayangan serupa masih kerap ditayangkan juga. Bagaimana KPI bisa menertibkan siaran-siaran seperti ini, apakah KPI punya taring yang lebih tajam agar para pemodal yang juga petinggi partai ini mau tunduk pada aturan dan tidak merugikan publik? Selasa (11/2) lalu wartawan Gresnews.com Mungky Sahid menemui Ketua KPI Judhariksawan di Gedung DPR-RI.

Bersama Judhariksawan, Gresnews.com membahas beberapa hal terkait masalah-masalah dalam penyiaran. selain iklan politik, dibahas pula masalah seputar tayangan yang dinilai sampah dan tidak mendidik. Berikut petikannya:

Kita menyaksikan begitu bebasnya pemilik media televisi menggunakan frekuensi publik untuk kepentingan politik mereka. Sebenarnya aturan penggunaan frekuensi publik seperti apa?
Kita menganut paham bahwa frekuensi itu adalah sumber daya alam milik negara. Karena dia milik negara jadi diperuntukkan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik. Sehingga spektrum frekuensi itu seringkali disebut juga dengan ranah publik. Karena menggunakan prinsip ranah publik maka penggunaannya digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat dan kepentingan publik.

Ketika frekuensi diberikan kepada pihak tertentu, apa dibenarkan untuk dipergunakan sekehendaknya sehingga bisa terjadi penyalahgunaan seperti ini?
Karena frekuensi juga bernilai ekonomi, maka frekuensi itu juga diberikan untuk orang-orang tertentu sebagai sarana ekonomi. Untuk itulah ada proses perijinan untuk mencari orang-orang yang tepat, orang-orang yang bertanggung jawab, orang-orang yang bisa melaksanakan amanah kita untuk menggunakan itu. Boleh menggunakan itu untuk kepentingan ekonomi, tetapi siarannya dan penggunaannya itu demi kepentingan orang banyak.

Itulah salah satu prinsipnya seperti itu, sehingga di dalam Undang-Undang Penyiaran, wajib dijaga kenetralitasannya dan tidak untuk golongan tertentu dalam arti bahwa siaran itu harus digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik. Tidak boleh di monopoli untuk satu golongan, satu entitas saja dan seterusnya. Itu kemudian yang kita pahami bahwa frekuensi itu harus digunakan untuk publik dan tidak boleh semata untuk kepentingan golongan apalagi semata-mata pemilik dalam arti kepentingannya. Kalau dia kepentingan ekonomi dia memang diberikan hak untuk kepentingan ekonomi.

Kemudian akibat pelanggaran itu, sudah berapa banyak stasiun televisi yang ditindak?
Yang saya ingin katakan sebelumnya bahwa KPI ini hanya memberikan sanksi administrasi. Sekadar teguran, dan kalaupun ada program yang bermasalah diberikan teguran tiga kali dan dia diberhentikan siaran sementara programnya. Bukan siarannya, kalau siarannya itu harus dengan keputusan pengadilan. Kalau pemberhentian siaran, nanti bisa terkena Undang-Undang Pers, seperti pembredelan.

Yang biasa kita hentikan itu biasanya program dalam waktu tertentu, dan terbatas. Kaitannya dengan itu kita telah memberikan teguran kepada beberapa lembaga penyiaran, karena kita melihat ada indikasi tidak proporsional dalam proses penyiaran mereka yang terkait dengan kepemilikan. Misalnya itu terafiliasi (dengan partai politik tertentu-red). Jadi lembaga penyiaran itu tidak boleh menyatakan diri berafiliasi pada partai politik tertentu, dia harus independen, dia harus netral, karena untuk kepentingan publik. Jadi yang terafiliasi itu sebetulnya hanya pemiliknya saja.

Ketika lembaga penyiaran itu hanya melayani secara proporsional seolah memperlihatkan bahwa ini kecenderungannya berorientasi kepada satu kepentingan politik tertentu yang kebetulan partai pemiliknya, kita baru bisa menyatakan dugaan ini melanggar ketentuan itu. Bentuknya seperti itu. Sebenarnya teguran pertama dan kedua itu bukan represif ya, tapi peringatan. Pembinaan, bahwa ini lihat anda telah melanggar pasal ini lho. Ditegur sekali, dan ditegur lagi, kalau tidak mau ya baru penghentian. Sejauh ini kita baru sampai teguran pertama. Ada dua program yang kita sudah memberikan teguran kedua. Kalau dua kali teguran tidak dipatuhi, baru ada pemberhentian.


Sanksi terberat apa?
Kalau di luar politik ada yang sudah penghentian program. Ada yang pengurangan durasi acara. Misalnya acaranya dia satu jam, lalu kita kasih sanksi cuma satu jam saja. Biasanya teguran penghentian sementara itu, misalnya penghentian empat kali tayang.

Media mana saja yang pernah mendapat teguran?
Hampir semua lembaga penyiaran. Pokoknya 11 stasiun televisi itu pernah kita tegur. Bahkan TVRI juga pernah kita tegur. Sejauh ini teguran kita efektif dan mereka melaksanakan dengan baik.

Banyak lembaga menuntut KPI menindak tegas terhadap penggunaan frekuensi publik itu, persoalannya ini menyangkut kekuasan. Apakah KPI sering mendapat tekanan dari mereka, atau para anggota legislatif?
Kalau dengan DPR kan kami sifatnya partner. Saya pikir teman-teman di DPR juga punya wawasan yang sangat baik. Bisa menempatkan dirinya secara profesional sebagai anggota dewan. Dan mereka kan selalu memberikan mandat kepada KPI untuk melakukan hal-hal yang sangat baik. Saya kira tidak ada persoalan akan itu. Sejauh ini diskusi-diskusi kita (dengan DPR-red) masih normatiflah, karena begini, teman-teman DPR kan tidak mungkin juga melewati batasan-batasan yang ada. Dan kalaupun kami salah pastilah itu disampaikan ada kesalahan berupa teguran.

Anda menjalin MOU dengan Bawaslu dan KPU, apa sih isi MOU itu? Apa peran KPI untuk pemilu? Apa anda membuat kriteria-kriteria tertentu menentukan sebuah siaran politik melanggar ketentuan?
Itu sifatnya gugus tugas, task force. Dalam rangka pengawasan Pemilu karena di dalam UU tentang Pemilu, KPI juga diberikan peran untuk pengawasan. Sehingga ada sinergi antara KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara Pemilu, dan KPI sebagai regulator penyiaran. Jadi ada sinergi dalam lembaga pengatur. Jadi KPI itu mengawasi. Konsepnya KPI mengawasi melihat sesuai dengan kewenangannya, KPI melihat sesuai dengan penyiarannya. Jika terjadi hal-hal yang menurut KPI itu berpotensi melanggar aturan main, nah kita melaporkan kepada gugus tugas. Gugus tugas itu kemudian mendiskusikan. Bawaslu sebagai leading sector-nya itu kemudian merekomendasikan apa yang harus dilakukan.

Apa parameternya dalam mengawasi siaran pemilu ini?
Undang-Undang Penyiaran dan Undang-Undang Pemilu. Jadi aturan di KPU-nya sendiri mengatakan bahwa nanti di jadwal kampanye yang 21 hari itu, itu kan batasannya untuk iklan TV cuma 10 spot iklan. Satu spot itu 30 detik. Jadi itu yang kita awasi. Jadi kalau lebih dari itu kita menyampaikan hasil temuan kita kepada gugus tugas.

KPI membuat pedoman penyiaran pemilu, garis besarnya seperti apa pedoman itu?
Pedoman itu awalnya kita rancang sebagai suatu peraturan tapi memang berdasarkan informasi dari KPU bahwa aturannya segala peraturan pelaksanaan pemilu itu dibuat oleh KPU. Sehingga KPI diminta untuk tidak membuat peraturan. Maka kami mengubahnya menjadi suatu surat keputusan, yang isinya sebagai petunjuk pelaksana dari peraturan KPI yang lain. Yang menjadi kewenangan KPI yaitu pedoman perilaku dan standar program siaran. Itu sudah berlaku sejak 2 minggu lalu. Surat Edaran itu sifatnya menjadi guidance KPI dalam pasal-pasal yang ada di dalam P3SPS. Jadi kalau misalnya ada pelanggaran P3SPS.

Kita ke persoalan lain, anda menilai sejumlah tayangan hiburan seperti Fesbuker bermasalah? Lantas mengapa tayangan seperti saat ini masih ada, apa benar KPI tidak bisa bertindak lebih tegas terhadap tayangan-tayangan seperti itu?
Kalau menegur sih sudah sering, memang begini, ini yang menjadi PR terbesar kami adalah soal paradigma. Paradigma pengelola lembaga penyiaran itukan industri. Terutama karena didasari adanya lembaga rating dan share yang satu-satunya itu kan. Jadi sesungguhnya ini yang menjadi PR terbesar kami di penyiaran ini. Bagaimana mengubah paradigma pengelola lembaga penyiaran, bahwa mereka itu harus menampilkan tayangan untuk kepentingan publik, karena ada tanggung jawab dia. Karena ada amanah publik ke mereka untuk mengelola frekuensi. Ini yang sejauh ini paradigmanya belum sampai kesana. Kalau sekarang paradigma industri, bagaimana sebesar-besarnya menaikkan rating siaran. Jadi kalau siarannya bagus ya sudah.


Apa ini juga yang menjadi kendala bahwa KPI hanya berwenang memberikan teguran, tidak diberikan wewenang untuk mencabut siaran?
Itu juga yang menjadi akar masalah sebenarnya. Menjadi akar penyebab. Regulasi di UU Penyiaran itu sesungguhnya membentuk KPI sebagai lembaga yang mempunyai posisi yang sangat utama. Sangat superior dalam konteks penyiaran ini. Tapi, kemudian disitu ada kepentingan-kepentingan lain. Jadi saat ada judicial review di MK peran-peran KPI semakin hilang. Ada aturan dalam UU itu, secara administratif, izin penyelenggaraan frekuensi diberikan oleh negara melalui KPI. Nah istilah negara ini yang kemudian disempitkan bahwa disini bukan KPI, tapi seolah-olah sebagai tukang posnya saja, ini yang terjadi dalam kenyataannya.

Kalau untuk sinetron, jenis sinetron apa yang ditegur oleh KPI?
Banyak yang bisa ditegur. Kalau itu tidak memberikan perlindungan kepada golongan-golongan tertentu seperti anak, remaja, atau ada pelecehan ada perilaku yang tidak sopan. Kemudian ada yang memang berpotensi menimbulkan keresahan dalam masyarakat, itu substansi dari sinetronnya. Dan KPI itu posisinya hanya menunggu setelah tayang. Kalau belum tayang itu tugas dari lembaga sensor.

Anda menyebut ada sekitar 7000 pengaduan masyarakat soal siaran dan tayangan televisi, rata-rata apa keluhan publik itu?
Tahun 2013 itu ada 21.000. Pengaduan kan boleh macam-macam. Ada sms, ada email, website, telepon. Tapi posisinya KPI itukan kewajiban KPI menindaklanjuti aduan masyarakat. Jadi kalau sifatnya aduan dan kritikan itu kami teruskan ke lembaga penyiaran. Tapi sebelum kita teruskan kita periksa dulu. Ini melanggar atau tidak? Karena ada aduan yang tidak memenuhi unsur pelanggarannya. Sehingga jumlah pengaduan dengan jumlah sanksi itu tidak sama. Dan sanksi selama tahun 2013 itu hanya ratusan.

KPI juga memiliki KPI Daerah, bagaimana hubungan dengan pusat?
KPI itu terdiri dari KPI pusat dan daerah semua provinsi sudah ada. Dan berada di ibukota provinsi. Kami hubungannya itu koordinatif, tidak struktural. Sehingga peraturan-peraturan itu kami buat dengan rapat koordinasi nasional. Kalau dia di dalam siarannya, kan di kita ada istilah sistem stasiun jaringan, ada yang stasiun lokal. Kalau itu sifatnya stasiun lokal, maka itu kewenangan KPI daerah sepenuhnya. Tapi kalau sistemnya stasiun TV jaringan, ya dia harus koordinasi, dan diawasi oleh KPI pusat.

BACA JUGA: