JAKARTA, GRESNEWS.COM – Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap empat petinggi Pengadilan Tinggi Usaha Negara (PTUN) di Medan, Sumatera Utara beberapa pekan lalu menjadi fakta bahwa mafia peradilan nyata adanya. Apalagi dalam kasus tersebut melibatkan para hakim dan pengacara terkenal OC Kaligis.

Melalui buku yang baru diterbitkan berjudul Lorong Gelap Keadilan, Komisioner Komisi Yudisial (KY) Imam Anshori Saleh mencoba untuk mengungkap nyatanya praktek mafia peradilan. Praktek tersebut dianggap bukan hanya isu tapi benar terjadi dalam peradilan di Indonesia.

Mafia-mafia peradilan tersebut ia rasakan melalui pengalamannya sendiri hingga ia menjadi komisioner KY. Gresnews.com berkesempatan menelisik lebih jauh soal praktek mafia peradilan pada Imam saat ditemui di kediamannya Jalan Kemanggisan, Slipi (4/7). Berikut petikan wawancaranya:
 
Buku tersebut berjudul Lorong Gelap Keadilan, menurut Anda apa maknanya?

Selama ini orang ingin keadilan terang benderang dan bisa diperoleh dengan mudah serta dilihat transparansi kepastian hukumnya. Tapi masyarakat masih melihatnya sebagai sesuatu yang gelap. Karena untuk mencari keadilan di Indonesia tidak mudah. Kadang tidak seperti yang ada dalam teori.

Seperti yang disampaikan orang ada mafia peradilan. Dalam teori tidak ada tapi dalam prakteknya ada. Jadi tidak bisa dilihat secara kasat mata tapi terasakan dan diakui juga oleh hakim-hakim, polisi, jaksa bahwa praktek seperti itu memang ada. Jadi itu lorong keadilan yang serba gelap.
 
Kalau berdasarkan pengalaman Anda sendiri yang pernah menjadi jurnalis, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Komisioner Komisi Yudisial, bisa diceritakan contoh nyata kisah dari Lorong Gelap Keadilan tersebut?

Sejak saya masih kecil, orang tua saya lurah. Ayah saya mengalami bagaimana memperoleh keadilan sangat sulit. Bahkan keadilan dikomersialkan. Rumah kami dekat dengan hutan. Orang suka berdagang kayu jati yang ‘gelap’. Kayu itu dibawa ke kampung dan diolah kemudian dipasarkan.  Kalau tertangkap polisi, teorinya seharusnya diadili dan diproses ke pengadilan. Tapi itu tidak. Polisinya menawarkan agar bisa dibebaskan kalau membayar sejumlah uang.

Jadi tidak diproses secara hukum. Itu yang dialami ayah saya sebagai lurah. Lurah di sana merupakan pemimpin formal dan tidak formal. Jadi selalu melakukan negosiasi dengan polisi agar warganya terbebas. Walaupun bukan tugas lurah. Tapi dalam praktek mengandalkan peranan kepala desa. Mestinya dilakukan secara prosedural. Tapi ada penawaran dan permintaan, jadi warga ingin bebas. Sementara polisi juga membutuhkan. Itu terjadi tidak hanya di kepolisian tapi di kejaksaan. Kalau lolos di kepolisian, tidak terbayar, di kejaksaan menggunakan sistem yang sama. Bahkan saya alami sendiri.
 
Saya pernah mengalami kecelakaan lalu lintas. Soal siapa yang salah itu soal lain. Tapi kemudian oleh polisi, asal saya membayar sejumlah uang, maka tidak menjadi tersangka. Kalau tidak, saya terancam sebagai tersangka. Saya waktu itu masih SMA belum mengerti dan yang mengurusi bapak saya. Jadi saya dengar semua. Harusnya tidak boleh tahu tapi saya dengar. Akhirnya karena kepolisian, kejaksaan mendengar karena itu diberitakan di Koran Surabaya. Mereka datang, oknumnya sampai kerumah. Saya di bawah umur tapi cara mereka tidak seperti teori hukum dan pakai uang juga akhirnya. Di pengadilan juga demikian.
 
Termasuk juga kalau ada pencurian yang mestinya diselesaikan secara hukum. Tapi bisa ramai-ramai dihakimi masyarakat, itu menyimpang. Tapi bapak saya sudah bertindak sebagai polisi, jaksa, hakim, karena diselesaikan disitu. Tidak benar kan, tapi itu yang terjadi. Makanya saya sebut lorong gelap keadilan karena serba gelap, tidak jelas, walau ada aturan dan normanya jelas, tapi dalam praktek seperti itu.
 
Sesuai buku, cerita tersebut menjadi alasan ayah Anda untuk melarang Anda menjadi jaksa, polisi, hakim?

Terutama bapak saya melarang jangan menjadi hakim. Saya sudah daftar dan diterima. Lalu tinggal masuk ke pendidikan dan pelatihan kehakiman. Ada juga lowongan kerjaan kepolisian. Saya daftar di kepolisian Semarang karena mereka mebutuhkan tenaga S1 di bidang pidana. Saya lolos tapi begitu saya minta izin sama Bapak tidak boleh juga. Karena ada semacam traumatik.

Itu mungkin pandangan yang salah tapi kita maklumi karena tingkat pendidikan ayah saya dan masyarakat pada umumnya masih rendah. Jadi oh petugas hukum seperti itu. Jadi tidak benar. Apalagi ayah saya walau lurah, juga sebagai kiai-kiai kecil di kampung, memahami bagaimana beratnya menjadi hakim, terutama bagaimana pertanggungjawaban pada Tuhan. Sehingga saya tidak boleh betul. Saya sejak awal meniatkan jadi penegak hukum karena saya lulus di fakultas hukum. Sehingga saya bisa pahami. Tapi tidak boleh dibiarkan begitu saja, karena prakteknya seperti itu dan pemahaman masyarakat.
 
Anda sempat menjadi jurnalis?

Jurnalis hampir sama walaupun dalam bentuk tulisan menceritakan yang benar dan salah pada masyarakat. Itu juga bagian edukasi penegakan hukum dan penegakan kehidupan ketatanegaraan. Karena saya tidak bisa kesana kemari, jadi hobi sejak sekolah tingkat SMA biasa menulis, tidak hanya di internal tapi juga di media massa umum. Karena saya terhambat menjadi polisi dan hakim, saya tidak bisa menyalurkan keinginan saya.

Jadi saya pilih profesi sebagai jurnalis. Ternyata dalam kondisi orde baru, pers masih sangat ditekan. Itu sudah menunjukkan kita harus berjuang, apalagi saya sampai pada level pimpinan, disitu saya merasakan itu bagian dari keadilan. Negara memperlakukan kita terutama pada pers untuk tidak bisa melakukan tugas jurnalistik yang benar. Itu kan ada ketidakadilan juga. Disitu kita berjuang mencari celah.

Saya contohkan ketika meliput kongres PDI. Bagaimana menyampaikan fakta. Jadi kita tidak bela sesuatu tapi apa yang terjadi seperti ini agar masyarakat bisa menilai, jadi catatan dari sejarah. Lalu meliput muktamar NU. Bagaimana Gus Dur yang memimpin NU tapi dihalangi-halangi oleh pemerintah karena perbedaan sikap. Tapi kami berusaha menampilkan apa adanya bahkan kadang berlebihan. Mestinya kita tidak boleh ikut terlibat membela kebenaran, jadi profesionalisnme bisa dilakukan dengan memperjuangkan kebenaran, walau pada akhirnya saya tidak puas.

Karena sering menulis dan dilarang. Kadang kebijakan internal kami sendiri, pemilik modal, dan darpiada kita ingin berpolitik di media massa, aturannya kan memang tidak boleh, tapi saya dipaksa berpolitik walau tidak langsung. Itu kan ada tawaran langsung dari Gus Dur agar saya ikut nyalon sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Saya katakan tidak pernah aktif di politik, tapi Gus Dur yang beri rekomendasi. Saat menjadi anggota DPR saya memilih di Komisi III yang berkaitan dengan hukum. Jadi dimanapun saya berprofesi selalu tidak lepas dari obsesi sejak kecil dan sesuai kapasitas saya punya kemampuan di bidang itu
 
Dalam buku Anda, diceritakan soal adanya suap dalam seleksi hakim agung. Dalam seleksi tersebut ternyata anggota legislatif juga ikut andil dalam menyumbang lorong gelap keadilan, bisa diceritakan lebih lanjut?

Dalam menyeleksi hakim, KY sendiri pernah ada pihak yang melakukan cara ‘suap’ dan sebagainya. Itu sudah terjadi. Akhirnya terbukti orangnya dihukum waktu itu, artinya sudah dari awal tidak bagus. Ketika kita melaksanakan undang-undang amanah yang diberikan pada KY, mestinya DPR tuh menunggu saja ketika sudah masuk tahapan seleksi di DPR. Ternyata salah seorang anggota DPR ‘jemput bola’. Kalau sifatnya positif tidak apa-apa. Misalnya memberikan informasi calon hakim ini bagus dengan data-data yang ada, tanpa ada embel-embel mau kasih uang. Jadi penegakan hukum dimulai dari banyak aspek termasuk rekrutmennya. Kemudian masing-masing institusi tidak menjalankan institusinya dengan benar, walau dilakukan oknum tapi itu terjadi. Kalau kita tidak teriak memberitahu ada ‘suap’ dalam seleksi hakim agung, orang hanya tahu seleksinya sudah beres secara prosedural.

Ternyata tidak, karena itu saya sampaikan di buku ini, walau sudah pernah dipublish, lebih detailnya saya jelaskan kenapa saya begitu (melaporkan ada yang menyuap KY). Karena saya ingin semua itu sesuai ketentuan. Pencapaian-pencapaian sebagai aparat penegak hukum. Sebagai hakim agung harus lewat seleksi yang benar tanpa ada campur tangan, intervensi apalagi diwarnai dengan ‘suap’ dan sebagainya. Paling tidak saya ingin buktikan untuk saya sendiri. Dalam agama ada prinsip jaga dirimu, keluargamu baru masyarakat.
 
Akibat ada suap dari anggota DPR, Anda sempat dipanggil Majelis Kehormatan  DPR tapi menolak untuk membuka nama penyuapnya, kenapa?

Karena saya orang hukum juga tahu. Kalau saya ungkapkan namanya tapi saya tidak punya bukti-bukti, itu kan jadi bomerang bagi saya. Walau ada yang mengatakan saya dianggap banci dan tidak berani. Ya mereka cuma ngomong tapi saya yang mengalami. Dan sebagai orang hukum harus sadar, kita tidak mau celaka karena ketidaktahuan kita. Yang penting bukan orangnya. Tapi saya sampaikan bahwa ada praktek seperti ini dan pada akhirnya sampai sekarang tidak ada lagi anggota DPR mau telepon-telepon.

Itu ada dampak positifnya, walau tidak secara langsung. Faktanya begitu, jadi setelah periode dulu kena masalah, ada tiga kali rekomendasi hakim agung lagi, aman-aman saja. Paling tidak itu yang saya rasakan. Orang kalau mencegah sesuatu boleh dengan tindakan atau ucapan, atau dengan hati kita. Tapi saya bisa ucapkan saja sudah cukup karena tidak punya kewenangan untuk menindak.
 
Tindakan Anda mengungkap adanya tawaran suap dalam seleksi calon hakim agung menjadi contoh ungkapan yang Anda sebutkan dalam buku bahwa untuk menjadi sapu harus bersih?

Iya untuk menjadi sapu harus bersih. Jangan pura-pura bersih tapi kita sendiri melakukan. Walau orang DPR memang ini antar teman, saya kan mantan anggota DPR. Tapi harus dipisahkan. Hubungan pribadi menyangkut teman oke tapi kalau sudah menjadi tugas kita harus sesuai ketentuan.
 
Bisa diceritakan kisah dari Lorong Gelap Keadilan saat Anda sebagai komisioner KY melakukan investigasi pelanggaran kode etik hakim?

Sebenarnya kita tahu banyak praktek-praktek mafia peradilan. Tapi bagi KY terbatas pada kewenangan-kewenangan tertentu. Kalau membaca putusan janggal, kita yakini ada sesuatu yang tidak beres. Ada ‘permainan’ atau kita dilapori orang yang melapor. Walau kelemahannya dia tidak punya bukti. Tapi dari jalinan cerita itu kita yakin itu benar (ada mafia peradilan), karena kita punya jaringan di polisi, jaksa, yang juga cerita, itu bukan isapan jempol. Ada teman jaksa yang mengakui. Hakim-hakim yang menjadi teman saya juga entah ketika kuliah di S1, S2, S3, cerita.

Walaupun ini bukan dalam rangka penelitian KY. Mereka katakan, ‘kalau saya tidak pernah minta, tapi kalau dikasih saya terima’. Itu artinya kan ada praktek itu. Modusnya baik yang dari pemeriksaan, ada yang ‘main’ pengacaranya. Lalu nanti jadi penghubung polisi, jaksa, hakim, polisi agar yang disangkakan pasal-pasal tidak terlalu berat. Nanti ‘dimainkan’ di kejaksaan agar tuntutannya tidak terlalu berat, hakim juga begitu. Hukumannya bebas atau ringan. Dan itu tidak hanya di pengadilan negeri, tapi sampai di pengadilan tinggi ketika banding. Itu pelakunya hakim itu sendiri sampai ke Mahkamah Agung (MA).

Saya punya teman pengusaha yang cerita. Dia katakan, ‘Saya akhirnya menang pas saya sowan ke orang MA’. Mungkin ada yang langsung ke hakim agung atau lewat administrasinya tapi sebagai perantara. Saya dapat cerita semua, menceritakan pelaku-pelaku. Saya percaya orang-orang itu. Kalau kita rangkaikan benar ada mafia peradilan. Hakim saya tanya ketika ada wawancara terbuka calon hakim agung, ‘Bagaimana (soal mafia peradilan)?’. Dia katakan,’ada teman saya walau saya tidak’. Tapi mengakui, sampai ada kaukus hakim-hakim muda sudah gregetan dengan praktek-praktek seperti itu, sekian orang hakim muda datang ke KY, mereka ingin bantu KY karena melihat sendiri seniornya atau kawannya. Jadi mafia peradilan bukan cerita fiksi tapi betul adanya.
 
Apa upaya hakim muda membantu KY memberantas mafia peradilan?

Kami merumuskan sendiri, Itu saya masukkan dalam disertasi saya sebagai bagian dari hakim mengawasi hakim. Jadi kalau mereka temukan kawan-kawannya begitu, mereka kita himbau untuk ingatkan. Kalau ingatkan tidak bisa ya laporkan ke atasan. Tapi kalau atasannya tidak pedulikan, laporkan ke KY. Karena sudah ingatkan, ketika temannya melakukan praktek tersebut dengan merekam, ada beberapa yang sudah berhasil. Dalam kasus narkoba, pengguna itu, sudah terlanjur kita beri sanksi, jadi tolong deh kalau ada temannya, dia ceritakan siapa lagi hakim yang begitu, kita harapkan bukan hanya yang sudah kena tapi yang belum kena juga ingatkanlah, itu yang ada konsep hakim awasi hakim, itu sudah jalan sekarang.
 
Apakah hakim mengawasi hakim lainnya bisa membuka tabir dari Lorong Gelap Keadilan?

Untuk jangka pendek hasilnya belum kelihatan. Tapi jangka panjang ada kesadaran dari para hakim. Mereka risih dengan lingkungannya sendiri. Kalau makin banyak hakim yang seperti itu kan makin baik. Walau yang sudah tua terlanjur menjadi habit. Tapi paling tidak ke depan sambil kita ingatkan terus, demikian juga oleh MA. Itu akan punya hasil jangka panjang.
    

BACA JUGA: