KASUS penolakan seorang ibu miskin oleh delapan rumah sakit (RS) di Jakarta sehingga menyebabkan sang bayi meninggal bukanlah kejadian yang baru melainkan merupakan kejadian yang terus berulang tanpa adanya solusi riil dan implementatif dari pemerintah.

Wakil Menteri Kesehatan hanya bisa bicara kalau RS tidak boleh menolak pasien karena alasan ketiadaan uang jaminan, tanpa pernah bisa dan mau memberikan sanksi tegas kepada rumah sakit.

Sebenarnya kehadiran UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) (UU 40/2004) dan UU Badan Penyelenggara Jaminan Nasional (BPJS) (UU 24/2011) lebih bisa memastikan bahwa seluruh rakyat berhak atas jaminan kesehatan tanpa adanya penolakan rumah sakit apalagi harus adanya syarat uang jaminan.

Namun keterlambatan pemerintah SBY mengimplementasikan UU SJSN (seharusnya 2009 sudah harus berjalan) membuat rakyat (terutama kaum miskin) terus mengalami masalah serius mengakses pelayanan kesehatan hingga saat ini. Keterlambatan ini tidak juga membuat SBY sadar akan hak konstitusi rakyat atas jaminan kesehatan. Masalah ini akan terus berlangsung di negara ini.

Lahirnya PP Nomor 101/2012 tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan Perpres Nomor 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan merupakan skenario lanjutan Pemerintahan SBY untuk tetap tidak melayani kesehatan rakyat secara paripurna. Keberadaan dua aturan tersebut melegitimasi pentahapan peserta penerima bantuan iuran sampai tahun 2019.

Masalah anggaran terus menjadi alasan utama pemerintah SBY untuk menghindari perintah konstitusi. PP dan Perpres itu memberi kekuasaan penuh Kementerian Keuangan untuk menentukan jumlah peserta jaminan kesehatan bagi rakyat miskin (peserta PBI). Untuk 1 Januari 2014, DJSN dan Kemenkes sudah mengusulkan peserta sebanyak 96,7 juta rakyat sebagai peserta PBI dgn iuran Rp22.200/orang/bulan, namun melalui surat Kemenkeu nomor S-85/MK.02/2013 tgl 5 Februari 2013 Menkeu secara sepihak menetapkan jumlah peserta 86,4 juta rakyat dengan iuran Rp15.000/bulan/orang.

Anggaran pemerintah ada tapi SBY tidak mau rakyat miskin sehat. Quo vadis SBY?

Timboel Siregar
Koordinator Advokasi BPJS Watch

BACA JUGA: