JAKARTA, GRESNEWS.COM - Perubahan iklim bumi yang kian tak menentu dalam sekian waktu ini ternyata berpengaruh pada berkurangnya keanekaragaman hayati Indonesia, termasuk gambut. Aksi pembakaran ditambah musim kemarau berkepanjangan membuat lahan gambut berkurang sekitar 100 ribu hektare setiap tahun. Dorongan membuat undang-undang atau peraturan pemerintah yang khusus menangani perubahan iklim pun mencuat.

Pada tahun 2010 diperkirakan hanya sekitar 10 juta hektare lahan gambut yang tersisa di Indonesia. Lahan gambut baik masih tersisa hanya di Papua, sayangnya pulau ini pun terancam pembukaan perkebunan sawit. Pembukaan perkebunan yang dilakukan dengan cara membakar ditunjang dengan musim kemarau berkepanjangan semakin mengurangi luas lahan gambut.

Padahal rawa gambut Indonesia berevolusi selama ribuan tahun untuk menciptakan sistem penyimpanan sempurna untuk mengunci karbon dioksida berkontribusi pada perubahan iklim. "Dampak perubahan iklim, menyasar soal gejala perubahan alam dari kondisi normal, misal suhu bumi meningkat," kata Pengkampanye Nasional Walhi Edo Rahman kepada Gresnews.com, Sabtu (14/2).

Tak hanya itu, bicara perubahan iklim juga tentunya bicara soal permukaan air laut yang naik, perubahan cuaca yang mulai sulit di prediksi, dan tentu juga soal perubahan aktivitas serta pertumbuhan makhluk hidup. Jika dikaitkan gejala perubahan iklim tersebut dengan ekosistem dan habitat sebagai ruang.

Dimana proses kehidupan keanekaragaman hayati berlangsung, maka tentu ada proses adaptasi yang harus dilakukan. "Keanekaragaman hayati yang mampu bertahan hidup, tentu akan berevolusi dan yang tidak mampu tentu perlahan akan hilang," katanya.

Ketika rawa gambut dikeringkan, dikonversi, dibakar, dan didukung kemarau panjang, sejumlah besar karbon tersimpan dilepaskan ke atmosfer. Bila keadaan ini terus berlangsung, maka jutaan ton karbon dioksida akan dilepaskan ke atmosfer.

Di sisi lain, dampak perubahan iklim juga berpengaruh pada rantai makanan atau sumber energi hayati. Misal, karena suhu bumi naik, tanaman tertentu tak dapat tumbuh dengan baik dan semakin berkurang sebarannya. "Ini berakibat konsumen tanaman tersebut makin kesulitan memperoleh makanan," katanya.

Atau kemungkinan kedua, konsumen itu akan memaksakan mengganti makanannya dengan memangsa tumbuhan atau hewan lain untuk bertahan hidup. Hingga terjadi penurunan populasi bahkan bisa terjadi kepunahan. Akibat perubahan iklim, kawasan yang di dominasi hutan tropis pun menjadi meningkat suhunya dan mengakibatkan kebakaran. "Semua dampak tersebut dapat berakibat pada hilangnya suatu populasi atau hayati tertentu, kebakaran gambut contohnya," ujarnya.

Untuk menanggulangi berbagai dampak perubahan iklim tersebut, Mumu Muhajir Manager Hukum dan Keadilan Sosial Epistema Institute menilai perlunya dibuat payung hukum khusus atas isu perubahan iklim. Namun sayangnya untuk mengangkat isu tersebut guna dibuatkan payung hukum diperlulan usaha yang amat keras.

Pasalnya beberapa pihak terkait seperti DPR kurang begitu menganggap isu ini penting. "Jika ada undang-undang perubahan iklim tentu bisa memberikan perlindungan lebih kuat," katanya kepada Gresnews.com, Sabtu, (14/2).

Jika ingin memasukkan perubahan iklim menjadi undang-undang diperlukan isu atau kebijakan perubahan iklim di setiap lini dan sektor. Termasuk dalam kegiatan ekonomi, sebab sektor inilah sebenarnya yang paling terpengaruh konsep perubahan iklim.

Misalnya saja komoditas perdagangan tertentu bisa hilang, punah akibat perubahan iklim. "Selama ini isu perubahan iklim hanya dilihat dari sisi lingkungan hidup saja, sehingga isu ini selalu kecil," katanya.

Jika membuat undang-undang dianggap susah, ia melihat sasaran optional dengan menjalankaan UU Lingkungan Hidup dengan baik. Sebab di dalam UU tersebut telah diamanatkan pencegahan tentang perubahan iklim. Atau membuat peraturan pemerintah (PP) yang fokus di perubahan iklim.

"Jika pemerintah concern, maka akan lebih mudah membuat PP, tinggal buat sendiri, dibandingkan UU yang harus melalui DPR," katanya.

BACA JUGA: