JAKARTA, GRESNEWS.COM - Oxfam mendesak seluruh negara untuk memanfaatkan ajang pertemuan para pihak perubahan iklim (COP) ke-20 di Lima, Peru untuk menyelesaikan kebuntuan masalah "pendanaan iklim" dan mewujudkannya dalam pembicaraan putaran Paris di bulan Desember 2015. Dalam laporan terbaru bertajuk "Breaking the Standoff" alias memecah kebuntuan, Oxfam memaparkan mengenai bagaimana janji-janji saat ini melenceng dari kebutuhan negara-negara berkembang.

Oxfam meminta para pemimpin dunia menggarisbawahi strategi yang lebih kuat untuk mendorong pendaan iklim. Negara maju menjanjikan untuk memobilisasi dana sebesar US$100 miliar per tahun untuk pendanaan iklim pada tahun 2010, tetapi langkah untuk memobilisasi langkah itu sangat lamban. Seandainya ada perkembangan yang dibuat terkait pendanaan iklim, pembangunan bersih yang dapat dicapai negara miskin tentu akan sangat spektakuler.

Ethiopia misalnya, dapat mengentaskan jutaan rakyatnya dari kemidkinan sekaligus menghindari emisi karbon tahunan setara emisi 65 pembangkit listrik tenaga batubara. Peru dapat meningkatkan Pendapatan Domestik Brutonya nyaris 1 persen dari yang seharusnya sekaligus mengurangi separuh emisinya pada saat bersamaan. Indonesia dapat memenuhi rencananya untuk memangkas emisinya sebesar 41% dalam 15 tahun.

Bagaimanapun, janji pendanaan iklim sebesar US$100 miliar hanyalah sebuah awalan. Negara-negara sub-Sahara Afrika saja, sebagai contoh, saat ini membutuhkan US$62 miliar per tahun untuk berinvestasi pada adaptasi iklim. Kebijakan iklim dari pemerintah setempat yang efektif juga dapat membuka pendanaan sebesar ratusan miliar (dolar AS) untuk investasi swasta dan menggerakkan dunia ke jalur rendah karbon yang menjaga pemanasan global di bawah 2°C.

Alasan mendasar adanya kesenjangan antara investasi iklim saat ini dan kebutuhan sesungguhnya adalah karena negara donor menghindari akuntabilitas untuk pendanaan yang adil. Terlalu sedikit detail yang disetujui oleh para negosiator tentang bagaimana aliran dana akan dimobilisasi, negara man yang akan memobilisasinya dan negara mana saja yang akan menerimanya.
       
Hal ini telah merusak kemampuan negara berkembang untuk menyusun rencana efektif untuk pendanaan adaptasi dan mitigasi. "Janji US$100 miliar titik referensi ikonik dalam negosiasi iklim global. Negara-negara melakukan tawar menawar selama bertahun-tahun untuk itu. Tetapi bagi masyarakat di garis depan krisis iklim, angka-angka abstrak ini nyaris tak membuat perbedaan apa-apa bagi hidup mereka," kata Executive Director Oxfam Winnie Byanyima dalam siaran pers yang diterima Gresnews.com, Selasa (2/12).

Pertemuan COP 20 di Lima akan menegaskan langkah untuk melakukan negosiasi di Paris. "Kita membutuhkan komitmen yang jelas untuk pendanaan iklim, fokus pada apa yang benar-benar dibutuhkan negara-negara berkembang. Janji yang samar-samar tidak akan menolong masyarakat untuk beradaptasi terhadap efek yang merusak dari perubahan iklim atau menolong negara-negara untuk mengejar jalur yang lebih jelas untuk bertumbuh dan membangun," kata Byanyima.

Laporan Oxfam menawarkan cetak biru untuk kemajuan pendanaan iklim di Lima, menunjukkan bahwa sangat mungkin untuk melindungi orang-orang termiskin di dunia dari dampak terburuk perubahan iklim, membuka kunci pertumbuhan eknomi yang signifikan dan memangkas emisi. Cetak biru itu menunjukkan bagaimana kesepakatan Paris harus:
       
1. Menyiapkan secara tegas bagaimana pendanaan iklim bisa diakses dan digunakan.
2. Mengidentifikasi sumber-sumber baru pendanaan publik dan swasta.
3. Menegaakkan sebuah kerangka kerja "pembagian yang adil" untuk memobilisasi aliran dana yang penting dan langsung menuju ke tempat yang tepat.

Perhitungan adil yang dilakukan Oxfam memperkirakan bahwa Amerika Serikat bertanggung jawab untuk memobilisasi 55% aliran pendanaan untuk mengalihkan dunia ke jalur rendah karbon sepanjang komitmen periode pertama kesepakatan baru, disusul Uni Eropa sebesar 21%, dan Jepang 10%. Sementara untuk adaptasi, Oxfam mengidentifikasi, negara-negara baru yang harus menjadi kontributor pendanaan iklim yaitu Rusia, Brasil, Korea Selatan dan Meksiko.

Cetak biru Oxfam menunjukkan bahwa level kekhususan yang perlu diperhatikan para negosiator di LIma dan Paris untuk menyegel kesepakatan. Tahun berikut ini dari pertemuan tingkat tinggi iklim dan konferensi penjaminan pendanaan iklim Ban Ki Moon, COP 20 adalah negosiasi yang paling signifikan sebelum pembiacaraan Paris. Pengumuman politik baru-baru ini, termasuk kesepakatan antara China dan Amerika Serikat menyangkut pemangkasan emisi, telah menawarkan momentum politik baru terhadap jalannya negosiasi.

Porsi besar pendanaan iklim diharapkan dapat dialirkan melalui Pendanaan Iklim Hijau (Green Climate Fund). Mandat yang diberikannya adlaah untuk membantu negara berkembang memangkas emisi gas rumah kaca, menyiapkan dampak perubahan iklim yang tidak bisa dihindari dan berkembang secara berkelanjutan.

Dua pekan sebelum COP 20 pendanaan mencapai taraf minimum dari besaran pendanaan yang sebenarnya dibutuhkan yaitu hanya mencapai sebesar US$10 miliar sejauh ini. Beberapa negara baru akan berkomitmen termasuk Australia dan Austria, Irlandia dan Belgia.

"Jutaan orang datang bersama-sama di New York dan kota-kota lainnya di dubia pada September untuk menuntut aksi terhadap perubahan iklim. Mereka paham bahwa aksi atas iklim berarti pekerjaan hijau baru, keamanan suplai makanan, dan masa depan untuk semua. Sekarang saatnya bagi pemimpin kita untuk melangkah dan memimpin," kata Byanyima.

Pembiacaraan ini, kata dia bukanlah poin akhir. "Mereka adalah batu loncatan untuk sebuah perjalanan yang akan berlangsung selama beberapa dekade. tetapi pembicaraan di Lima dapat dan harus menyediakan jalur yang tepat untuk Paris dan selanjutnya," kata Byanyima.

BACA JUGA: