JAKARTA, GRESNEWS.COM - Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek menyampaikan rasa duka cita yang mendalam atas tragedi meninggalnya 32 anak di Kabupaten Nduga, Papua. Kabupaten Ndunga yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya, berada di hamparan Lembah Baliem yang memiliki ketinggian antara 1.500-2.000 meter di atas permukaan laut.

Sejauh ini, penyebab kematian anak-anak yang berusia di bawah 2 tahun itu masih misterius. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Papua, kasus kematian misterius di Nduga ini sudah terjadi sejak bulan Oktober 2015 hingga saat ini.

"Saya sudah menugaskan Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) untuk mengirim tim investigasi ke lokasi, melakukan penyelidikan epidemiologi (verifikasi dan investigasi)," kata Menkes Nila Moeloek dalam siaran persnya, Jumat (27/11).

Tim Respon Cepat dari Kementerian Kesehatan yaitu tim surveilans dan Litbang sudah menuju lokasi, yaitu desa Mbua di Kabupaten Nduga, Provinsi Papua, sejak Jumat (27/11). Sayangnya, hingga Sabtu (28/11), tim ini belum berhasil menembus ke ke wilayah dimana peristiwa tragis itu terjadi.

Nila mengatakan, medan perjalanan ke lokasi cukup jauh dan berat. Dia menegaskan, segera setelah tim mencapai lokasi akan melaporkan hasil investigasi epidemiologi lebih jauh. "Diharapkan saat itu situasi sudah lebih jelas sehingga kami dapat menentukan langkah selanjutnya," terang Menkes.

Medan yang harus ditempuh tim investigasi Kemenkes ini memang sangat berat. Tim itu menempuh jalur Wamena, Kabupaten Jayawijaya dan jalan darat ke Kabupaten Nduga.

Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) dr HM Subuh, MPH menjelaskan, akses transportasi dan telekomunikasi ke wilayah itu memang buruk. Distrik yang berada di Lembah Baliem ini hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki karena harus melewati rawa-rawa.

"Dari Wamena 4-5 jam lewat darat, sampai Danau Habema. Ini titik terakhir ada komunikasi. Dari sini masih harus jalan kaki 6 jam. Itu untuk ukuran orang Papua, kalau tim kami mungkin butuh 8 jam," kata Subuh.

Kondisi geografis yang ekstrem seperti ini membuat program flying doctor atau dokter terbang yang digagas Kementerian Kesehatan sulit menjangkaunya. "Semoga dalam dua hari ke depan akan segera didapatkan tindak lanjut kerja yang akan dilakukan Dinas Kesehatan dan lembaga terkait penyelesaian masalah di Distrik Mbua ini," katanya.

Kepala Dinas Kesehatan Papua, dr Aloysius Giyai, MKes saat ditemui beberapa waktu lalu di Biak Numfor, Papua, mengaku punya pendekatan lain untuk daerah pegunungan. "Untuk wilayah pegunungan, kami punya sistem pelayanan kaki telanjang. Tim yang terdiri dari dokter dan tenaga kesehatan lain berjalan kaki ke lokasi yang tidak bisa dijangkau dengan pesawat maupun perahu," kata dr Aloysius.

Selain mengirimkan tim investigasi, Menkes juga sudah menugaskan Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan untuk mengadakan rapat koordinasi lintas kementerian/lembaga terkait. Pihak yang dilibatkan antara lain Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kementerian Pertanian dan TNI.

DUGAAN INFEKSI PARASIT - Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua Aloysius Giyai menyebut, sebelum meninggal, anak-anak tersebut mengalami demam dan kejang-kejang. Anak-anak yang meninggal itu rata-rata berumur di bawah dua tahun.

Namun, Dinas Kesehatan sampai saat ini belum mengetahui penyebab meninggalnya puluhan anak secara misterius itu. "Gejala anak-anak sebelum meninggal adalah demam, menggigil dan kejang-kejang. Lokasi kejadian di Distrik Mbua, tepatnya di Kampung Doigimo, Opmo, Barapngin, dan Labirik," kata Aloysius Giyai, Sabtu (28/11).

Kepala Distrik Mbuwa Erias Gwijangge mengatakan kematian balita ini terjadi setelah kemarau berkepanjangan dan hujan baru turun di daerah itu. "Waktu beberapa kali turun hujan, hewan ternak di kampung-kampung mendadak mati. Babi dan ayam mendadak mati tanpa diketahui penyebabnya," katanya.

Kepala Dinas Kesehatan kabupaten Nduga Mesak Kogoya mengatakan, para balita ini meninggal misterius sepanjang November 2015 ini. Kasus ini terjadi di dua distrik, yaitu Distrik Mbuwa dan Distrik Bumulyama. Di Mbuwa ada Puskesmas dan dokter, sementara di Bumulyama hanya ada puskesmas pembantu.

"Kami terpaksa tak bisa keliling ke kampung-kampung, tempat lokasi anak-anak meninggal ini, sebab kami kekurangan tenaga medis. Sehingga kami terpaksa hanya menunggu pasien di distrik. Karena saat petugas berada di kampung yang satu, di kampung lainnya terjadi kematian," ucapnya.

Sempat muncul dugaan, penyebab kematian misterius bocah-bocah di Nduga tersebut adalah malaria. Namun tes menunjukkan hasil negatif, lalu berkembang pula dugaan pneumonia (radang paru-paru) dan ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut). Namun dugaan tersebut kemudian juga diketahui negatif.

Meski belum diketahui penyebab pastinya, namun Kementerian Kesehatan menyebut ada kemungkinan infeksi parasit. "Kalau dilihat dari gejala yang dilaporkan (yakni) demam, tinggi, kejang dan ada diare bisa saja oleh virus dan bakteri atau parasit," kata Dirjen P2PL Kemenkes Dr HM Subuh, MPH.

Hanya saja menurut Subuh, hasil pemeriksaan laboratorium hingga kini belum diketahui. Subuh menerangkan, sanitasi di wilayah itu memang buruk dan minim layanan kesehatan. "Bawahnya kandang babi, atasnya manusia," katanya.

Selain soal sanitasi, keterbatasan sarana kesehatan juga menjadi masalah di tempat ini. Puskesmas memang tersedia, namun diakui oleh Subuh memang kurang memadahi. "Nakes (tenaga kesehatan) hanya perawat, tidak ada bidan," kata Subuh.

Sementara itu, soal dugaan penyebab kematian, dr Aloysius tidak mau berspekulasi. Menurutnya, saat ini ia telah mengirim tim ahli yang akan melakukan pengambilan sampel di lapangan. Sampel tersebut akan diperiksa di laboratorium untuk memastikan penyakitnya.

MIRIP TRAGEDI YAHUKIMO - Kasus kematian massa secara misterius di Kabupaten Nduga ini, memang bukan kasus yang pertama kali terjadi di bumi Cenderawasih, Papua. Subuh mengatakan, kasus kematian puluhan orang juga pernah terjadi di Kabupaten Yahukimo pada 2013.

Akumulasi kasus kematian yang terjadi dalam beberapa bulan tersebut semula dikaitkan dengan pencemaran air. "Setelah dicek, berbagai macam penyebabnya. Paling banyak karena malaria dan pneumonia," kata Subuh.

Soal kemungkinan penyebab kematian 32 anak di Kabupaten Nduga kali ini, Subuh enggan berspekulasi. Ia mengakui ada banyak kemungkinan penyebab, dan saat ini tim surveilance dari Kementerian Kesehatan sedang berada di lokasi untuk melakukan investigasi.

Dugaan malaria sebagai penyebab terbantahkan oleh hasil tes yang ternyata negatif. Demikian juga jika dikaitkan dengan gejalanya berupa demam, kejang dan diare, menurut Subuh gejala-gejala tersebut tidak lazim ditemukan pada kasus malaria anak.

Terkait dengan buruknya sanitasi, beberapa wilayah di Papua memang termasuk daerah endemis cacingan. Baru-baru ini, di Kabupaten Mimika ditemukan infeksi cacing pita yang menyerang otak hingga menyebabkan epilepsi.

Meski begitu, secara umum Dinas Kesehatan Papua menyebut infeksi cacing pita di Provinsi Papua dalam 5 tahun terakhir mengalami penurunan. Namun dalam satu kasus, ditemukan infeksi cacing pita yang menyerang otak dan menyebabkan epilepsi.

Temuan tersebut diungkap oleh Kepala Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan Dinkes Papua dr Beeri Wopari. "Satu kasus ditemukan di daerah tambang, di Tembagapura. Infeksi cacing pita masuk ke peredaran darah, sampai otak lalu menyebabkan epilepsi," kata dr Beeri.

Di masa lalu, infeksi cacing pita banyak dikaitkan dengan tradisi memasak daging dengan teknik bakar batu. Panas yang dihasilkan dengan cara tersebut cukup tinggi untuk mematangkan daging, tetapi tidak selalu bisa membunuh kista cacing pita. "Dagingnya sih matang, tapi kadang-kadang kistanya cukup kuat," kata dr Beeri.

Menurut dr Beeri, kasus infeksi cacing pita yang menyebabkan pasien mengalami epilepsi masih dalam proses investigasi. Karena ditemukan di daerah tambang, tidak menutup kemungkinan bahwa kasus tersebut berasal dari luar daerah dan dibawa masuk oleh pendatang. "Dari Kementerian Kesehatan akan datang dalam minggu ini untuk investigasi," tutup dr Beeri. (dtc)

BACA JUGA: