JAKARTA, GRESNEWS.COM - Perayaan hari buruh alias May Day yang jatuh pada 1 Mei 2016 berlangsung meriah dan aman. Para buruh memperjuangkan sistem pengupahan yang lebih adil dan menolak formula pengupahan yang diterapkan pemerintah dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015. Mereka beranggapan PP tersebut menyimpang dari semangat UUD 1945 serta tidak sesuai dengan Pasal 4 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

PP tersebut mengatur kenaikan upah secara tetap setiap lima tahun dengan menghilangkan unsur produktivitas dan pertumbuhan ekonomi masing-masing wilayah. Pemerintah menggantinya dengan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi secara nasional dengan asumsi pertumbuhan ekonomi serta inflasi pada waktu tertentu. PP itu diketahui diterbitkan pemerintah mengacu kepada paket kebijakan ekonomi jilid IV, yang menitikberatkan pada persoalan ketenagakerjaan, yaitu mendorong pengupahan yang adil, sederhana dan terproyeksi.

"Kisruh formula pengupahan sebenarnya tidak perlu terjadi jika saja pemerintah mengikutsertakan perwakilan pekerja yang benar-benar menjadi representasi pekerja kebanyakan," ujar anggota Komisi IX DPR Irma Chaniago dalam pesan yang didapat gresnews.com, Jumat (29/4).

Dalam turunannya guna mengawal PP tersebut, pemerintah melalui Menteri Tenaga Kerja (Menaker) menerbitkan tujuh Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) tentang formula upah minimum, penetapan UMP/UMK, penetapan UMS, struktur skala upah, THR, uang servis, serta kebutuhan hidup layak (KHL). Komisi IX DPR pun pernah memanggil Menaker dan beberapa konfederasi pekerja yang menolak pemberlakuan PP tersebut untuk rapat dengar pendapat. Tujuannya guna mencari tahu alasan penolakan PP tersebut.

Berdasar pada keterangan kalangan buruh, ia menyayangkan minimnya keterlibatan buruh dalam perumusan PP pengupahan. "Menurut Federasi Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FKSPSI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), pemerintah hanya mengundang serikat-serikat buruh kecil yang anggotanya tidak mencerminkan keterwakilan buruh Indonesia," kata Irma.

Titik perbedaan dalam rumusan pengupahan dalam PP 78 antara buruh dan pemerintah adalah penggunaan variabel dalam formula pengupahan. Pemerintah menggunakan tingkat inflasi nasional sebagai salah satu varibel dalam formula pengupahan. Sementara buruh menginginkan pertumbuhan ekonomi di tiap wilayah yang berbeda, masuk sebagai variabel.

Para buruh menganggap perbedaan formula tersebut membuat selisih kurang lebih Rp280.000 terhadap upah mereka. Sementara
 menurut pihak Kemenaker, PP 78 diterbitkan untuk menjaga stabilitas iklim usaha dan keamanan pengupahan pekerja. Namun faktanya, setelah PP ini diberlakukan, masih banyak perusahaan yang tutup dan banyak perusahaan yang memberikan gaji di bawah UMR. "Jika demikian faktanya, lalu pertanyaannya untuk siapa PP 78 ini diterbitkan?" tanya Irma.

LAYAK UPAH JURNALIS - Bukan hanya para buruh yang terus memperjuangkan kelayakan upah mereka. Para jurnalis yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta juga mengeluarkan besaran upah layak jurnalis pada tahun 2016 sebesar Rp7.540.000. AJI Jakarta menilai upah layak tersebut akan meningkatkan mutu jurnalisme dan memberikan informasi yang lebih bermutu pada masyarakat.

Angka tersebut muncul setelah AJI Jakarta melakukan survei terhadap harga kebutuhan-kebutuhan jurnalis di Jakarta. Ini ditambah dengan kebutuhan-kebutuhan yang harus dimiliki jurnalis agar mampu bekerja dengan profesional. "Ada kebutuhan khas di jurnalis seperti langganan koran, modem, dan menyicil komputer yang membuat upah layak jauh di atas UMP," kata Ketua AJI Jakarta Ahmad Nurhasim dalam keterangan tertulis kepada gresnews.com, Sabtu (30/4) malam.

AJI berharap besaran gaji itu berlaku bagi reporter karyawan tetap tahun pertama. AJI Jakarta menekankan pentingnya kesejahteraan jurnalis. Ketika kehidupan jurnalis sejahtera, maka akan tercipta produk jurnalistik bermutu yang mendidik dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

"Upah layak dan kesejahteraan juga dapat membentengi jurnalis dari godaan suap sehingga independensi produk jurnalistik yang dihasilkan tetap terjaga dan bermanfaat bagi publik," katanya.

Di luar upah layak itu, perusahaan media juga wajib memberikan jaminan keselamatan kerja, jaminan kesehatan dan jaminan sosial kepada setiap jurnalis dan keluarganya. Ini termasuk hak-hak jurnalis perempuan seperti ruang laktasi, cuti haid, dan cuti melahirkan. "AJI Jakarta masih menemukan pemecatan atau penghentian kontrak pada jurnalis karena hamil," terangnya.

Saat ini, dia menyebutkan, upah yang jurnalis terima umumnya berkisar Rp3-4 juta per bulan. Angka ini tak berubah sejak beberapa tahun belakangan. Upah ini juga hanya sedikit di atas UMP Jakarta sebesar Rp3,1 juta.

"Padahal, jurnalis sering harus bekerja lebih dari delapan jam tanpa mendapat upah lembur. AJI Jakarta bahkan menemukan ada media yang masih memberi upah jurnalis di bawah UMP," ucapnya.

Selain itu, AJI Jakarta juga menekankan pentingnya berserikat untuk memperjuangkan upah layak tersebut. Berserikat adalah hak asasi manusia dan dilindungi oleh Undang-Undang Dasar dan diatur dalam UU Serikat Pekerja Nomor 21 Tahun 2000.

Koordinator Divisi Serikat Pekerja Guruh Dwi Riyanto mengatakan jurnalis adalah pekerjaan yang memiliki risiko tinggi dan rentan terkena tindakan kriminal. Dengan berserikat dan berorganisasi, jurnalis memiliki benteng yang melindungi, memperkuat daya tawar, sekaligus dapat memperjuangkan kepentingannya. "Upah layak bisa diperjuangkan salah satunya dengan berserikat," katanya.

Jumlah pekerja yang berserikat hingga kini masih sangat minim. Data Dewan Pers 2014 menunjukan terdapat 2.338 perusahaan media. Dari jumlah itu, hanya 24 media yang memiliki serikat pekerja aktif. "Jumlah ini hanya 1 persen dari total perusahaan media yang ada. Tentu jauh dari ideal," imbuh Nurhasim.

Ke depan, AJI Jakarta akan terus melakukan pelatihan pembentukan serikat dan kunjungan ke sejumlah media untuk mengkampanyekan upah layak dan pentingnya berserikat.

AJI Jakarta juga akan meminta Dewan Pers mengubah Standar Perusahaan Pers agar mendekati upah minimum. Kami akan minta Dewan Pers mengubah besaran upah menjadi setidaknya 2 kali upah minimum," katanya. Saat ini, Pasal 8 Peraturan Dewan Pers tentang Standar Perusahaan Pers hanya mewajibkan perusahaan pers membayar upah sebesar UMP sebanyak 13 kali dalam setahun. (Agus Irawan)

BACA JUGA: