JAKARTA, GRESNEWS.COM - Aksi serikat buruh menolak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan kembali berlanjut. Gerakan Buruh Indonesia yang tergabung dalam Koalisi Buruh Anti Upah Murah mengancam akan melakukan aksi mogok nasional di seluruh Indonesia pada tanggal 24 hingga 27 November 2015.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, aksi mogok nasional yang direncakan oleh gerakan buruh ini adalah gerakan lanjutan dari aksi penolakan PP 78 Tahun 2015 yang dilakukan pada 30 Oktober lalu. Ia mengatakan, aksi mogok nasional dilakukan lantaran Pemerintahan Jokowi-JK bersikeras dengan memberlakukan peraturan pemerintah tentang pengupahan yang dinilai menguntungkan pengusaha atau pemodal.

"PP 78 tahun 2015 tentang Pengupahan adalah peraturan yang tidak berpihak bagi buruh. Oleh karena itu kami serukan kepada seluruh elemen buruh untuk melakukan mogok nasional di daerah atau di pabrik-pabrik masing-masing," kata Said Iqbal di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, Jumat (20/11).

Ia menjelaskan, aksi mogok nasional yang akan dilakukan adalah aksi yang legal serta dijamin oleh konstitusi. Menurutnya, istilah mogok nasional adalah bagian dari ekspresi menyampaikan pendapat di muka umum yang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang menyampaikan pendapat di muka umum. Dengan demikian ia mengimbau seluruh elemen buruh agar tidak khawatir dengan represivitas aparat kepolisian di daerah masing-masing.

"Mogok nasional ini adalah istilah. Ini adalah legal secara konstitusi, UU Nomor 9 Tahun 1998 . Seluruh pimpinan nasional elemen buruh sudah menandatangani aksi mogok nasional dan sudah memberitahukan ke Mabes Polri. Artinya seluruh pimpinan organisasi buruh akan bertanggungjawab dengan aksi mogok ini," papar Said.

Iqbal mengklaim aksi mogok nasional akan dilakukan sekitar 5 juta buruh yang tersebar di 22 Provinsi, diantaranya Bandung, Bekasi, Tangerang, Cikarang, Banten, Yogjakarta, Surabaya, Lampung, Serikat Pekerja Newmont, NTT, Serikat Pekerja PT Freeport, Papua, dan daerah lainnya. Selain mengancam akan melakukan mogok nasional, serikat buruh itu juga menggalang 1 juta petisi penolakan PP 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang akan diserahkan kepada Presiden Joko Widodo pada tanggal 24 November 2015 mendatang.

"Saat ini teman-teman sudah mengumpulkan sekitar 600 ribu tandatangan petisi. Target kita sebelum mogok sudah terkumpul semua dan akan kita serahkan kepada Presiden Jokowi sebagai penolakan PP 78 tahun 2015," ucapnya sambil menunjukan sejumlah kartu petisi yang sudah terkumpul.

Perlu diketahui, aksi deklarasi mogok nasional tanggal 24 hingga 27 November 2015 yang diikuti sekitar 1.000 masa buruh yang datang dari Bandung, Lampung, dan Jabodetabek itu tiba di Tugu Proklamasi sekira pukul 15.30 WIB. Mereka adalah serikat buruh dari berbagai elemen diantaranya Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Serikat Pekerja Nasional (SPN), Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI 1992), FPBI, FSP LEM-SPSI, KP-KPBI, FSPMI, KSPSI, KASBI.

PERATURAN MEMIHAK PEMODAL - pada kesempatan yang sama, Ketua Umum KASBI Nining Elitos mengatakan, PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan adalah peraturan pemerintah yang berdampak pada pemiskinan bagi para pekerja atau buruh. Menurutnya, peraturan pemerintah itu ditetapkan tanpa melibatkan serikat buruh.

Ketentuan pemerintah yang membatasi kenaikan Upah Minimum Pekerja (UMP) maksimal 10 persen tidak akan meningkatkan kesejahteraan kaum buruh. Ia pun menuding peraturan yang belum lama ini ditandatangani oleh Presiden Jokowi itu dinilai berpihak kepada pada pemodal.

"Dampak PP 78 Tahun 2015 bagi buruh upah semakin murah, daya beli buruh akan semakin rendah. Kalau daya beli rendah, maka krisis ekonomi yang akan terjadi. Kalau krisis ekonomi terjadi maka yang dirugikan adalah rakyat Indonesia. PP itu mendukung kaum kapitalis yang menghisap keringat buruh," kata Nining di depan sekitar 1000 buruh yang memenuhi Tugu Proklamasi.

Hal yang sama juga disampaikan oleh Presiden KSPSI Andi Ghani. Menurut Andi, kebijakan Presiden Jokowi yang telah menandatangani PP 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan adalah kebijakan yang tidak sejalan dengan janji Nawacita Jokowi. Pria yang mengaku sempat mendukung Jokowi-JK pada Pilpres 2014 lalu menilai kebijakan tersebut adalah kebijakan yang salah arah.

Pasalnya, PP 78 Tahun 2015 diyakini akan memangkas keterlibatan perwakilan buruh dalam menentukan upah minimum kerja. "Dalam PP 78 tahun 2015 itu peran Dewan Pengupahan sudah tidak dilibatkan lagi," ujarnya.

Ia pun menyayangkan langkah pemerintah Jokowi-JK yang menetapkan Peraturan Pemerintah tersebut. Padahal, kaum buruh juga memiliki kontribusi dalam mengantarkan Jokowi-JK ke Istana pada Pilpres lalu. "Kami dulu mendukung Jokowi pada Pilpres, ketika Peraturan Pemerintah Jokowi tidak berpihak kepada buruh kita konsisten akan menolak peraturan presiden itu," katanya menegaskan.

PENGGEMBOSAN GERAKAN BURUH - Dibalik semangat buruh menggalang kekuatan masif menentang PP Pengupahan ini, para buruh sebenarnya khawatir juga ada upaya dari pemerintah untuk menggembosi gerakan buruh. Upaya penggembosan dan intimidasi gerakan buruh menjelang aksi mogok nasional 24 hingga 27 November 2015 sudah terjadi.

Hal itu disampaikan salah satu perwakilan buruh KSPI Bandung, Heri Setiawan. Ia mengatakan penggembosan gerakan mogok nasional dilakukan penyidik Kepolisian Metro Jaya (Polda Metro Jaya) dengan menetapkan tersangka kepada Sekjen KSPI yang bernama Rusdi.

Rusdi ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Krimiminal Umum Polda Metro Jaya karena dianggap sebagai salah satu penanggungjawab dalam aksi buruh yang menolak PP 78 Tahun 2015 di depan Istana Negara pada 30 Oktober 2015 lalu yang berakhir ricuh. Menurut Heri, penetapan status tersangka terhadap salah satu rekannya itu menambah rekam jejak aparat kepolisian yang menyikapi aksi buruh dengan gaya represif.

"Penetapan tersangka kawan Rusdi menambah jumlah tersangka yang ditetapkan oleh kepolisian ketika aksi di depan istana 30 Oktober lalu," kata Heri dalam orasinya.

Meski jumlah tersangka dari aliansi buruh itu bertambah satu orang, ia menegaskan bahwa pihaknya tidak akan pernah berhenti menuntut agar Pemerintah Jokowi-JK mencabut PP 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

Ketua KSPI Said Iqbal pun membenarkan perihal adanya tersangka baru yang dikenakan oleh salah satu anggotanya karena aksi 30 Oktober lalu. Iqbal mengatakan, Rusdi dipanggil oleh penyidik Polda Metro Jaya pada hari Senin (23/11).

Menurutnya, upaya pemanggilan yang awalnya saksi kemudian berubah menjadi tersangka terhadap salah satu aktivis KSPI itu adalah upaya untuk menggembosi gerakan aksi mogok nasional yang akan dimulai pada selasa (24/11).

"Saya curiga penetapan tersangka terhadap Rusdi memiliki nuansa politis. Karena pemanggilan dilakukan satu hari sebelum aksi mogok dilakukan,"tegasnya.

Kendati demikian, lanjut Iqbal, pihaknya akan meminta kepada penyidik Polda Metro Jaya untuk menunda proses pemeriksaan terhadap Rusdi hingga aksi mogok nasional dilakukan. "Kami menghormati prosedur hukum yang berlaku. Tapi senin kuasa hukum kita akan datang ke Polda dan meminta agar pemanggilan kawan Rusdi ditunda sampai setelah aksi mogok nasional dilakukan," ujarnya.

Diketahui sebelumnya, aksi buruh pada tanggal 30 Oktober di depan Istana Negara lalu, Polda Metro Jaya telah menetapkan tersangka terhadap 23 aktivis buruh dan 2 orang pendamping buruh dari LBH Jakarta. Dengan ditetapkannya Sekjen KSPI, Rusdi sebagai tersangka beberapa hari lalu, artinya penyidik Polda Metro Jaya telah menetapkan 24 aktivis buruh sebagai tersangka.

SALING DIUNTUNGKAN - Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Hanif Dakhiri sebelumnya mengklaim bahwa PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan adalah peraturan yang memiliki prinsip saling menguntungkan kedua belah pihak, baik bagi kaum buruh maupun kalangan pengusaha. Menurutnya, PP Pengupahan ini telah memastikan kepentingan dunia usaha dan buruh saling terpenuhi.

Dengan sistem upah yang baru akan memudahkan pengusaha atau kalangan industri untuk berhitung soal rencana bisnis mereka. Sedangkan bagi buruh dengan formulasi pengupahan yang telah ditetapkan oleh pemerintah itu telah memberikan kepastian kenaikan gaji setiap tahun.

Dengan berlakunya PP Pengupahan ini, upah minimum akan dikembalikan fungsinya sebagai jaring pengaman atau safety net untuk pekerja lajang dibawah masa kerja 1 tahun. PP itu mengatur formula perhitungan upah minimum, periodeisasi peninjauan komponen dan jenis keburutuhan hidup layak (KHL), wajib struktur dan skala upah, pengenaan denda, dan pemotongan upah.

Ia pun menjelaskan, setiap perusahaan harus punya struktur dan skala upah sehingga tak hanya tergantung dengan UMP. Struktur upah mempertimbangkan jabatan, masa kerja, pendidikan dan kompetensi, sehingga tidak dipukul rata bagi yang berpengalaman dengan pekerja yang masih baru.

"Upah minimum sekali lagi bukan batas maksimum. Itu hanya sebagai jaring pengaman agar buruh tidak sampai menerima upah dibawah itu. Upah juga seringkali menjadi jualan calon kepala daerah," kata Hanief beberapa waktu lalu di Kemenaker RI.

Adapun komponen pemerintah dalam mengukur KHL buruh pun hingga saat ini masih menuai pro-kontra. Kaum buruh meminta pemerintah merevisi 60 komponen KHL menjadi 84 butir komponen, namun hingga saat ini komponen tersebut masih belum direalisasikan.

Ia pun menegaskan, PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang sudah ditandatangani Presiden Joko Widodo pada Jumat (23/10) lalu akan berlaku pada tahun 2016. PP tersebut mengatur penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2016 yang akan dilakukan oleh gubernur dengan mengacu pada skema PP 78 th 2015.

Sementara, para buruh menilai PP 78 Tahun 2015 adalah peraturan yang berpihak pada pengusaha, bukan untuk kalangan pekerja atau buruh. Dalam PP tersebut kenaikan upah dibatasi maksimal 10 persen. Mereka juga beranggapan PP itu telah memangkas peran Dewan Pengupahan yang selama ini berperan untuk menghitung kelayakan upah untuk buruh. (Rifki Arsilan/Gresnews.com)

BACA JUGA: