JAKARTA, GRESNEWS.COM - Bencana berupa cuaca ekstrem yang melanda kawasan Asia Tenggara dalam satu dekade belakangan ini telah menelan korban sebanyak sepuluhan ribu jiwa dan kerugian material sebesar US$4 miliar setiap tahunnya. Berdasarkan data dari the coalition ASEAN For a Fair, Ambitious and Binding Global Climate Deal (A-FAB), keadaan ini akan semakin memburuk ke depan akibat terjadinya perubahan iklim.
 
Lembaga yang terdiri dari koalisi LSM seperti Oxfam, EROPA dan Greenpeace itu mendesak agar ASEAN menanggapi lebih serius masalah ini dibandingkan yang selama ini telah dilakukan. Desakan itu diwujudkan lewat peluncuran sebuah ikhtisar kebijakan bertajuk: "Weathering Extremes: The need for a stronger ASEAN response."
 
Ikhtisar itu menjabarkan dampak dari bencana terkait cuaca dan tindakan apa yang harus dilakukan ASEAN untuk meminimalisir dampaknya. Peluncuran itu dilakukan sehari sebelum pertemuan Iklim PBB di New York dimana lebih dari 120 kepala negara akan memberikan komitmennya untuk merespon perubahan iklim. A-FAB menginginkan para pemimpin ASEAN berbicara sebagai satu kesatuan suara untu kawasan tersebut untuk menuntut kesepakatan iklim yang adil ambisius dan mengikat dan pendanaan untuk adaptasi serta kehilangan dan kerusakan.

Dr. Tun Lwin, CEO of Myanmar Climate Change Watch dan kolumnis surat kabar mengatakan perubahan iklim tidak lagi merupakan isu individual masing-masing negara, tetapi merupakan isu negara se-kawasan. "Kejadian cuaca ekstrem semakin meningkat di kawasan dan kita semua menderita akibat dampak yang ditimbulkan. Saya pikir hal ini harus menjadi pengingat bagi kita untuk bekerja sama khususnya dalam kerangka adaptasi dan mitigasi," katanya dalam siaran pers yang diterima Gresnews.com, Rabu (24/9).

Kertas kerja tersebut lebih jauh juga menggambarkan dampak dari cuaca ekstrem terhadap pertanian, yang merupakan sumber penghidupan utama di kawasan Asia Tenggara. "Di Myanmar contohnya, pola musim penghujan yang kacau berdampak pada produksi pertanian. Musim penghujan menjadi lebih pendek dan telah mengurangi hasil panen," kata Dr. Tun menambahkan.

Senada dengan Tun, Riza Barnabe, Koordinator Riset dan Kebijakan Oxfam Asia Timur menggaraisbawahi pentingnya ASEAN bertindak mengatasi perubahan iklim. "Dengan terancamnya pertanian oleh perubahan iklim, penghidupan dari jutaan keluarga miskin sangat terancam. Hal ini akan sangat berdampak signifikan pada ketahanan pangan. Kita tidak perlu menunggu sampai segalanya sesuatunya sudah terlambat untuk bertindak," ujarnya.

Sementara itu, Penasehat Politik Asia Greenpeace Asia Tenggara Zelda Soriano mengatakan, ASEAN harus mempertimbangkan mendukung kebijakan energi terbarukan untuk memitigasi kontribusi kawasan tersebut terhadap pemanasan global.
 
"Pemerintah harus memotong anggaran subsidi bahan bakar fosil dan sebaliknya bekerja menuju transisi ke arah energi terbarukan rendah karbon. Kita tidak bisa terus berjalan dengan skenarion business-as-usual jika kita ingin meyakinkan keamanan generasi penerus," ujarnya.

BACA JUGA: