JAKARTA, GRESNEWS.COM - Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) mendorong dibuatnya undang-undang khusus tentang perubahan iklim sebagai produk dari pemanasan global. Dalam undang-undang tersebut diharapkan terdapat detail yang mengakomodir penanggulangan bencana akibat perubahan iklim.

Menurut Manajer Kampanye Nasional WALHI, Edo Rakhman fakta perubahan iklim tidak cukup hanya dipandang sebagai fenomena lazim atau proses alamiah semata, tetapi juga dampak dari aktivitas dan campur tangan manusia, seperti kegiatan industri, energy, teknologi, pertanian, pengelolaan sumber daya alam dan lain-lain. Indonesia termasuk salah satu dari 5 negara penghasil emisi terbesar di muka bumi yang berasal dari hasil deforestasi dan degradasi hutan. Meski pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 26% hingga 2020, namun faktanya belum mampu dilakukan.

Sampai detik ini, kebakaran hutan dan lahan gambut masih terus terjadi dan semakin memberikan dampak buruk terhadap masyarakat bahkan ke negara-negara tetangga. Moratorium hutan hampir tak berpengaruh, karena tidak dianggap oleh pemerintah daerah dan korporasi-korporasi yang bergerak di bidang HTI dan perkebunan sawit. Ini dikarenakan para kepala daerah lebih mengacu pada aturan-aturan tata ruang yang telah mereka buat dan berlindung pada kekuatan otonomi daerah sehingga izin-izin perkebunan bisa dikeluarkan sesuai dengan kewenangan dan keinginan kepala daerah.

“Jika dikaitkan dengan emisi dan perubahan iklim, pembakaran hutan mengambil porsi besar dalam prosesnya. Namun pemerintah terkesan pilih-pilih target untuk menindak,” ujar Edo kepada Gresnews.com, Senin, (22/9).

Dalam UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, kalimat perubahan iklim disebutkan sembilan kali. Meski begitu implementasi pada lahan gambut serta aktivitas-aktivitas lainnya yang menghasilkan emisi belum sejalan dengan undang-undang tersebut.
Indonesia masih memproduksi emisi dan kebijakan di sektor energi belum mampu menghapus produksi emisi. “Kita masih bergantung kepada batu bara sebagai sumber energi listrik Indonesia. Hampir setengah produksi listrik PLN bersumber dari batu bara. Padahal batu bara merupakan sumber energi terkotor saat ini,” ujarnya.

Menurut WALHI, UU Perubahan Iklim harus segera di buat untuk menanggulangi dampak yang akan lebih sulit dan parah di masa mendatang. Adaptasi dan pengurangan emisi dapat dilakukan mulai sekarang dengan didukung peraturan yang sedikitnya memaksa dan serius mengatur, menetapkan kondisi, serta dampak perubahan iklim itu sendiri. “Negara pun harus turut diatur tanggung jawabnya kepada rakyat karena berdampak pada kehidupan sosial ekonomi,” lanjutnya.

Namun, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menilai bahwa peraturan perundang-undangan nomor 32 tahun 2009 sudah cukup mengatur pencegahan dan dampak-dampak perubahan iklim. Sehingga  tidak diperlukan adanya undang-undang khusus perubahan iklim. “Semuanya sudah lengkap diatur, tinggal ditambah dengan pedoman-pedoman turunannya,” ujar Sri Tantri Arundati, Asdep Mitigasi Perubahan Iklim kepada Gresnews.com, Senin, (22/9).

Menurutnya masalah perubahan iklim merupakan hasil dari masalah pengendalian kerusakan dan pencemaran yang sudah teruraikan pada undang-undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tersebut.

BACA JUGA: