JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemberian gelar pahlawan kepada tokoh tertentu kerap memunculkan pro dan kontra. Salah satu sejarawan dari Universitas Indonesia Bonnie Triyana mengusulkan ritual pemberian gelar pahlawan itu ditiadakan saja.

Bonnie menyarankan sebagai gantinya dengan mendorong penulisan sejarah yang berimbang. Semua tindakan dan perilakunya para tokoh itu didokumentasikan dalam sebuah catatan, baik dalam bentuk tulisan atau dokumen-dokumen lain. Sehingga dengan penulisan sejarah yang berimbang tersebut, masyarakat yang akan menilai sendiri.

Bonnie memberi contoh salah satu pahlawan yang kemudian tidak pernah ada dalam sejarah adalah Tan Malaka. Pada tahun 1963/1964 pemerintah Orde Lama saat itu memberi gelar Tan Malaka pahlawan. Namun begitu masuk Orde Baru maka nama Tan Malaka dihapus sebagai pahlawan lantaran dianggap sebagai tokoh golongan kiri alias komunis.

Selain itu dalam pemberian gelar pahlawan juga rumit. Pemberian gelar tersebut harus sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 33 tahun 1964 tentang Pemberian Gelar Pahlawan. Dalam Perpres tersebut disebutkan bahwa seorang tidak dapat gelar pahlawan jika merusak nilai-nilai perjuangan. Jika seseorang yang diajukan tidak memenuhi maka ia tak layak diberi gelar pahlawan.

"Sebaiknya diganti dengan mendorong penulisan sejarah berimbang," kata Bonnie di Kantor Indonesia Corruption Wacth (ICW), Kamis (3/7).

Karenanya aturan soal pemberian gelar pahlawan harus dihapuskan. Sebab jika masih ada, pemberian gelar hanya sekedar formalitas belaka. Bahkan dalam proses pemberian gelar pahlawan tersebut menutup kemungkinan untuk dilakukan kritik.

"Bangsa ini sangat suka dengan simbol-simbol, gelar pahlawan itu hanya simbol," jelas Bonnie.

Pernyataan Bonnie tersebut disampaikan sebagai kritik atas rencana pemberian gelar pahlawan kepada mantan Presiden Soeharto yang dijanjikan calon presiden (capres) Prabowo Subianto. Pemberian gelar ini ditolak oleh Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Lupa.

Koalisi LSM yang terdiri KontraS, YLBHI, Imparsial, ICW dan ILR menentang janji politik yang disampaikan Capres Prabowo Subianto yang akan memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto.

Bagi mereka pemberian gelar tersebut bentuk pelecehan dan pelanggaran nyata terhadap UUU 1945. Selain itu tidak sesuai dengan ketetapan MPR RI No XI tahun 1998 tentang pemberantasan KKN.

Koordinator KontraS Haris Azhar menilai jika ide tersebut menunjukkan masa lalu tidak ada yang salah selama pemerintahan Orde Baru. Padahal saat itu terjadi banyak pelanggaran HAM dan korupsi besar-besaran. "Kami mencatat, selama 32 tahun memerintah, Soeharto bertanggung jawab atas beragam pelanggaran HAM dan pelanggaran HAM berat," jelas Haris.

Karenanya Hariz bersama Koalisi LSM menolak capres yang mendukung pemberian gelar pahlawab kepada Soeharto. Selain Hariz hadir juga Erwin Natosmal Oemar dari ILR, Jermi Lambong dari YLBHI, Suwandaru dari Imparsial, serta Agus Sunaryanto dari ICW.

Sejumlah kasus pelanggaran hak sipil dan politik yang melibatkan Soeharto di antaranya pembunuhan massal sekitar 3 juta orang pada tahun 1965, pembredelan media cetak, Daerah Operasi Militer Aceh. Kemudian pelanggaran hak ekonomi, sosial dan budaya diantaranya perampasan tanah rakyat Kedung Ombo, perampasan dan penggusuran rumah warga Bulukumba oleh PT Lonsum.

Lain lagi kasus korupsi. Hasil temuan Transparansi International tahun 2004 menempatkan Soeharto sebagai presiden paling korup di dunia dengan total perkiraan korupsi sebesar US$ 15-25 miliar.

BACA JUGA: