JAKARTA, GRESNEWS.COM - Produk udang asal Thailand dilarang memasuki pasar internasional, khususnya Amerika Serikat, Inggris dan negara-negara Eropa lainnya. Hal ini terjadi seiring ditemukannya fakta bahwa Charoen Phokpand Foods menggunakan pakan hasil perbudakan dalam sistem produksinya. Sedikitnya 20 pekerja di kapal perikanan Thailand meninggal dunia akibat praktek perbudakan ini.

Harian Inggris The Guardian, dalam beritanya tanggal 10 Juni kemarin mencatat, sedikitnya 15 buruh migran asal Myanmar dan Kamboja diperdagangkan dengan harga sebesar Rp4 juta. Praktek perbudakan yang dijalankan di Thailand berlangsung dalam rupa: (1) bekerja selama 20 jam; (2) pemukulan; (3) penyiksaan; dan (4) pembunuhan.

Senada dengan fakta tersebut di atas, Globefish dalam laporan resminya di bulan Juni 2014 menyebutkan bahwa 3 perusahaan udang terbesar di Thailand menghentikan industri pengolahannya dikarenakan kekurangan bahan baku. Ketiga perusahaan tersebut adalah The PTN Group, Narong Seafoods dan Charoen Pokphand (CP) Foods. Laporan tersebut juga menyatakan bahwa Charoen Phokpand Foods telah memberhentikan 1.200 tenaga kerjanya selama kuartal pertama 2014 dan memindahkan usahanya ke Vietnam sejak Februari 2014.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Abdul Halim mengatakan, kasus Thailand harus menjadi perhatian pemerintah Indonesia. Apalagi pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN sudah semakin dekat. "Hal terpenting lainnya adalah pemerintah harus mengambil pelajaran dari kasus 2004, di mana produk udang Indonesia diembargo oleh pasar Amerika Serikat dikarenakan aktivitas reekspor dari China," kata Halim dalam siaran persnya yang diterima redaksi Gresnews.com, Selasa (1/7).

Selain Indonesia, Thailand, Ekuador, India, Vietnam dan Brasil juga mengalami hal yang sama. Saat itu, China memanfaatkan pasar Indonesia sebagai jembatan untuk mengekspor produk udangnya ke Amerika Serikat. Akibatnya, pada pertengahan Januari 2004, beberapa peti kemas udang dari Indonesia ditolak di Amerika Serikat dikarenakan bukan produksi Indonesia. "Komoditas itu sebelumnya diimpor dari China, lalu direekspor ke AS," kata Halim menambahkan.

Atas dasar itulah, KIARA dan Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim (PK2PM) mendesak pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Perdagangan untuk proaktif mengantisipasi ancaman embargo tersebut, dengan melakukan berbagai langkah antisipatif.

Diantaranya adalah memastikan bahwa PT Central Proteinaprima yang beroperasi di Indonesia tidak mempekerjakan budak di tambak-tambak milik perusahaannya dan segera mengembalikan hak-hak petambak Bumi Dipasena, Lampung. "Hal ini perlu ditegaskan karena PT Central Proteinaprima Indonesia dengan Charoen Phokpand Foods, Thailand, memiliki kaitan perusahaan yang sama," kata Kepala Peneliti PK2PM Suhana.

Langkah berikutnya, pemerintah RI harus mendesak Bea Cukai untuk memantau udang-udang impor yang masuk ke Indonesia dan memastikan bahwa produk udang impor tersebut bukan berasal dari Thailand. Catatan Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa dalam periode Januari-Maret 2014 Indonesia masih melakukan impor udang jenis frozen, meski jumlahnya belum terlalu besar. Laporan BPS juga menyebut total impor udang frozen Indonesia dalam periode Januari-Maret 2014 tercatat sebesar 367,374 kwintal dengan nilai sebesar US$2,58 Juta.

Kemudian, pemerintah dan para petambak udang nasional juga diimbau untuk memanfaatkan kasus udang Thailand ini untuk meningkatkan daya saing. "Terlebih harga udang Internasional saat ini dalam kondisi baik," ujar Suhana.

Data Bank Dunia menyebutkan bahwa harga udang internasional per April 2014 tercatat sebesar US$17,09/kilogram. Harga tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga tahun 2011, 2012 dan 2013, yang rata-rata sebesar US$11,93/kilogram, US$10,06/kilogram, dan US$13/kilogram.

KIARA dan PK2PM juga mendesak ASEAN melakukan investigasi dan mendesak pemerintah Thailand untuk menghentikan, menindak-tegas pelaku, dan merumuskan aturan menanggulangi praktek perbudakan di sektor perikanan. Apalagi The Guardian juga mencatat bahwa Thailand tidak memiliki aturan terkait pemberantasan praktek perbudakan, meski secara resmi mereka menyebutnya sebagai prioritas nasional.

Selain itu, mendesak PBB/FAO mengharuskan anggotanya untuk meratifikasi Konvensi ILO Nomor 188 Tahun 2007 mengenai Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan dan Rekomendasi ILO Nomor 199 Tahun 2007 mengenai Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan dan merumuskan kebijakan nasional berkenaan dengan pemberantasan praktek perbudakan di sektor perikanan.

BACA JUGA: