JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus kurang sedap yang dialami federasi sepakbola dunia, Federation Internationale de Football Association (FIFA) seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi pembenahan sepakbola Indonesia. Dalam kasus itu, sejumlah petinggi FIFA ditangkap polisi Swiss bekerja sama dengan FBI.

Sebanyak 7 orang petinggi FIFA diduga terlibat kasus korupsi dan suap sejak 1990 hingga sekarang. Mereka diciduk dari kamar hotel masing-masing saat mengikuti Kongres Luas Biasa FIFA di Swiss.

Menurut Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai, penangkapan terhadap sejumlah pejabatnya, membuktikan FIFA tidak kebal hukum. Kasus penangkapan pejabat FIFA ini hendaknya dapat dijadikan pelajaran bagi perkembangan dunia sepak bola di tanah air, khususnya dalam mewujudkan perbaikan tata kelola menuju peningkatan prestasi sepakbola nasional.

"Pengungkapan kasus korupsi dan suap di FIFA, tidak lepas dari peran whistle blower atau pelaku yang mau bekerja sama dengan penegak hukum, dalam hal ini FBI," kata Semendawai dalam siaran pers yang diterima Gresnews.com, Jumat (29/5).

Nah, di Indonesia, kata Semendawai, sejak awal LPSK juga sudah menyatakan siap melindungi mereka yang mau mengungkap praktik kecurangan dalam dunia sepakbola nasional, mulai mafia pengaturan skor dan bentuk kecurangan lainnya.

"Pelapor dan whistle blower jangan takut mengungkap apa yang diketahui, karena keamanan mereka dilindungi. LPSK mendapatkan amanat dari undang-undang untuk melindungi saksi dan korban dalam peradilan pidana. Perlindungan diberikan mengacu pada sifat pentingnya keterangan, serta tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan korban," ujar Semendawai.

Semendawai juga mengatakan, jaminan keamanan bagi pelapor atau saksi pelaku yang bekerja sama (whistle blower), seperti yang ditegaskan dalam UU No 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, sangat penting guna mendorong mereka untuk memberikan kesaksian.

Dalam Pasal 10A UU No 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dikatakan, saksi pelaku dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan. Penanganan secara khusus dimaksud antara lain pemisahan tempat penahanan, pemisahan pemberkasan antara saksi pelaku dan tersangka, serta saksi pelaku dapat memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya.

Terkait hal ini sebelumnya, Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi menilai, penangkapan sejumlah pejabat FIFA sebagai cermin bahwa ada masalah juga di sana, sehingga Indonesia tidak perlu takut dengan federasi sepakbola dunia itu.

Imam menilai kasus penangkapan pejabat FIFA tersebut mengisyaratkan bahwa federasi sepakbola dunia itu juga bermasalah, sehingga tidak ada yang perlu ditakuti. "Publik dikejutkan dengan adanya penangkapan elit FIFA oleh pihak keamanan di Zurich, itu artinya ada masalah yang amat besar dan sangat serius di sana," ungkap Imam, Rabu (27/5) kemarin.

"Oleh karenanya, masyakarat Indonesia tidak boleh takut, tidak boleh gentar. Kalau selama ini kita mengagung-agungkan mereka, sesungguhnya ada masalah yang sangat besar," lanjut dia.

Imam juga menyinggung soal sanksi FIFA yang selama ini selalu ditakut-takuti oleh banyak pihak. Dia menyebut siap bertanggung jawab jika sanksi itu benar-benar dijatuhi kepada Indonesia. "Kalau ada yang menakut-nakuti sanksi FIFA, Indonesia disanksi, Imam Nahrawi bertanggung jawab apapun keputusan FIFA."

"Kita ingin sepakbola Indonesia berprestasi, membanggakan. Jangan sampai pemain dan pelatih berlatih sedemikian rupa, tapi ada kondisi dimana ada orang lain terlibat, mafia-mafia sepakbola," serunya. (dtc)

BACA JUGA: