JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kedaulatan Indonesia di bidang energi dan pangan dinilai sulit terealisasi. Pasalnya hingga saat ini, pemerintah masih berfokus pada pengembangan sumber energi yang membutuhkan kemampuan teknologi tinggi seperti nuklir. Di bidang pangan, pemerintah terlalu mengandalkan penyediaan pangan lewat mekanisme impor. Indonesia dinilai lalai untuk menguatkan kebanggaan pangan dan energi asli Indonesia.

Pengamat ekonomi-politik Ichsanuddin Noorsy menyatakan, fokus utama pemerintah saat ini untuk mengembangkan energi nuklir merupakan kesalahan besar. Sebab, sumber daya manusia Indonesia belum siap menangani sumber energi tersebut. Terlebih, nuklir memerlukan dana yang tidak sedikit dan riskan.

"Bangsa ini terlalu kaya sumber daya alamnya, tapi terlalu miskin harga dirinya," katanya dalam seminar Kebijakan Sektor Maritim, Energi, dan Ketenagakerjaan di Gedung Pansus C, DPR RI, Senayan, Senin (13/4).

Konversi energi memang harus terus dilakukan, namun tidak dengan sumber-sumber energi tidak terbaharukan seperti nuklir. Sebab, Indonesia masih mempunyai sumber energi primer yang luar biasa di alamnya.

Ichsanuddin mengusulkan konversi energi beralih pada sektor sumber daya air. "Indonesia tak akan bisa memiliki ketahanan energi untuk berdaulat dari pangan dan sektor lain," katanya.

Jika tidak memiliki ketahanan energi, kata dia, maka impian berdaulat di negeri sendiri pun hanya akan jadi angan belaka. Hal itulah yang menurutnya harus dipahami secara utama oleh pemerintah. Dengan kemudian disusul pemahaman tentang berbagai perjanjian luar negeri yang disepakati.

Sebab, menurutnya, pengetahuan pemerintah tentang perjanjian-perjanjian yang dibuat sangatlah minim. "Coba buat audit posisi terakhir perjanjian bidang ketahanan, pangan, keuangan, mana tahu mereka bahwa posisi kita di kesemuanya amat parah sekali," kata Ichsanuddin.

Posisi terburuk perjanjian internasional adalah pada bidang energi dan pangan, di mana Indonesia lebih sering mendapatkan posisi sebagai negara yang dimanfaatkan daripada mendapat manfaat. Namun masalah pangan khususnya, dapat teratasi dengan tiga kunci yakni kedaulatan air, tanah, infrastruktur. "Sebenarnya yang paling penting membangunkan keyakinan hidup sejahtera dengan pangan. Sayangnya ketiganya kita tak punya," ujarnya.

Sementara itu Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Hendri Saparini menyarankan pemerintah untuk tidak menyerahkan kebijakan pangan dan energi kepada pasar. Sebab hal tersebut hanya akan menciptakan daya saing pengusaha tanpa adanya kepastian harga sehingga amat menyengsarakan rakyat.

"Jika sudah dilepas ke pasar maka akan sangat bbergantung pada harga internasional dan nilai tukar rupiah," katanya.

Padahal di negara lain, pemerintahnya selalu berusaha menjaga harga akhir agar kepastian dari bisnis bisa terjaga. "Pemerintah kali ini konsisten, dari bulan-bulan pertama memerintah sudah melepas harga pasar," katanya.

BACA JUGA: