JAKARTA, GRESNEWS.COM- Keluarnya qanun No. 19 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Aceh dianggap suatu hal yang ganjil. Pasalnya prosedur seperti evaluasi dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dianggap kadaluarsa oleh pemerintah daerah Aceh.

Sistematikanya, pengesahan sebuah peraturan daerah harus melalui sidang paripurna lalu diserahkan Kemendagri untuk dievaluasi baru kemudian dikembalikan ke pemerintah daerah guna dilegalkan dengan catatan sudah mengakomodir hasil evaluasi dari Kemendagri. Terakhir mengklarifikasi hasil evaluasi kembali ke Kemendagri.

Di tahap ini Kemendagri punya wewenang untuk melihat apakah hasil evalusi sudah dimasukkan atau belum, jika sudah bisa dilanjutkan menjadi Perda, jika tidak bisa dibatalkan. Namun, dalam kasus ini, semua langkah tersebut tidak dilakukan, Muhammad Teguh Surya, Forest Political Campaigner Greenpeace menyatakan langkah penerbitan Perda tanpa mekanisme yang telah disebutkan diatas merupakan pelanggaran besar. Jika Kemendagri tidak membatalkan, akan menjadi pertanyaan dan presenden buruk bagi provinsi lain.

"Wilayah lain bisa melakukan aksi yang sama dengan modus yang sama pula, contohnya sekarang ini Papua Barat sudah mulai kena. Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) itu berbeda dan istimewa, tapi mengapa malah dihilangkan keistimewaannya dalam Perda? Di negara kita yang dilindungi saja masih dirusak apalagi yang tidak dilindungi?" ucapnya dalam diskusi "Nasib Hutan Dan Kawasan Ekosistem Leuser. dalam RTRW Aceh, Resto Sare Manis, Rabu, (22/10).

Perda No 5 tahun 2014 tentang Tata Cara Izin Budidaya di dalam KEL mengatur mekanisme pemberian izin di atas kawasan KEL. Peraturan ini, kata Teguh, jelas bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yakni Peraturan Khusus Pemerintah Aceh pada UU No 11 Tahun 2006 dan Undang-Undang Tata Ruang Nasional dimana keduanya memangdatkan perlindungankawasan KEL.

Dalam UU No 11 Tahun 2006 contohnya pemerintah pusat memandatkan pemerintah Aceh melakukan perlindungan, pengamanan, pelestarian, dan pemulihan fungsi KEL karena termasuk kawasan strategis nasional. "Menurut kami sudah selayaknya qanun ini dibatalkan," ujarnya.

Namun, sayangnya mendagri melalui Kasubdit Penataan Ruang Wilayah Ditjen Bina Pembangunan Daerah, Tavip Rubiyanto secara implisit menyatakan belum akan membatalkan qanun tersebut dan masih akan melakukan pembicaraan lebih lanjut dengan pemerintah Aceh.

"Ada perbedaan persepsi pemaknaan UU No 11 Tahun 2006 di sini. Pemerintah daerah aceh mengartikan ini sebagai pengembalian hak penuh KEL atas mereka, jadi kami tak punya hak utak-atik itu kawasan. Perbedaan persepsi itulah, yang kini sedang disatukan," kata Tavip.

Alasan ini dianggap janggal oleh Teguh, menurutnya selama keluarnya UU di tahun 2006 hingga kini tahun 2014 tidak mungkin baru menyadari adanya perbedaan persepsi. Jika pun iya seharusnya yang mendapat peninjauan ulang adalah peraturan yang lebih rendah, bukan undang-undangnya.

"Lagi pula jelas kalimatnya dalam undang-undang tersebut agar pemerintah daerah melakukan perlindungan, pengamanan, pelestarian, dan pemulihan fungsi KEL bukan mengeksploitasi demi kepentingan ekonomi dan menghilangkan KEL. Pasal 150-nya juga menyebutkan jelas  pengelolaannya dan tidak boleh dikeluarkan izin atas wilayah itu. Kami khawatir pelanggaran yang sudah diyakini Kemendagri menjadi tereduksi," ucapnya.

BACA JUGA: