JAKARTA, GRESNEWS.COM – Meski sepanjang 2007 hingga 2013 Indonesia tercatat oleh Bank Dunia sebagai negara yang kenaikan upah minimum buruhnya tinggi, rata-rata 13% tiap tahunnya di kawasan Asia Tenggara, namun masih terdapat kesenjangan upah buruh dilihat perspektif gender. Upah buruh manufaktur perempuan dinilai selalu lebih kecil dibanding upah buruh laki-laki. Jika upah buruh perempuan hanya Rp1,4 juta, upah untuk buruh laki-laki mencapai Rp1,9 juta.

Perbedaan upah buruh ini diduga akibat faktor perbedaan waktu kerja, tingkat pendidikan, dan diskriminasi. Selain itu, dengan gaji yang rendah, buruh perempuan juga kerap menerima tindak kekerasan dari para majikan, baik buruh di luar maupun dalam negeri.

Komisioner Komnas Perempuan Neng Dara Affiah mengatakan penghisapan terhadap buruh perempuan saat ini semakin tinggi. Hal itu, menurut dia, karena kebutuhan kelas elite dan menengah terhadap pekerja rumah tangga (PRT) semakin tinggi. Selain itu, tingkat kemiskinan di lapisan bawah membuat perempuan harus bekerja sebagai tenaga kerja wanita dan PRT yang juga dekat dengan potensi tindak kekerasan fisik dan seksual. "Untuk konteks buruh, saat ini merupakan era di mana buruh itu berwajah perempuan," kata Neng Dara kepada Gresnews.com, Sabtu 
(3/5).

Ia menambahkan, selain kerentanan kekerasan fisik dan seksual, buruh perempuan juga mengalami kerentanan ekonomi karena dibayar dengan upah kecil. Menurutnya, solusi terhadap permasalahan ini dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat oleh pemerintah sehingga perempuan tidak harus bekerja dengan risiko kerentanan tindak kekerasan yang tinggi.

Soal adanya kenaikan tingkat buruh ini diiyakan oleh Koordinator Aliansi Buruh Menggugat (ABM), Anwar Sastro Ma’ruf. Namun, menurut dia, hal itu tidak selalu sejalan. Sebab pada pelaksanaannya di lapangan, buruh seringkali mengalami penangguhan upah.

Terkait adanya perbedaan upah buruh perempuan dan buruh laki-laki, Anwar  menjelaskan hal tersebut karena faktor dampak budaya patriarki yang melabelkan perempuan sebagai pencari nafkah kedua. Sehingga daya tawarnya juga menjadi rendah sebagai buruh. Padahal ia menilai saat ini pekerjaan buruh justru lebih banyak dilakukan oleh perempuan karena laki-laki bekerja di sektor informal. "Di perusahaan yang maju biasanya ada tunjangan istri dan anak untuk laki-laki, tapi tidak ada tunjangan suami misalnya," katanya melalui telepon kepada Gresnews.com.

Sependapat dengan Neng Dara, Anwar membenarkan rentannya kekerasan atau pelecehan seksual terhadap buruh perempuan di pabrik. Ia menjelaskan kekerasan tersebut biasanya dilakukan oleh atasannya atau pekerja asing di dalam pabrik. Kasus lain yang ditemui Anwar, ada juga buruh perempuan yang dinikahi dengan kawin kontrak. Hal itu terjadi di perusahaan atau pabrik asing seperti Korea atau Thailand. "Penegakan hukum terhadap pelecehan tidak gampang, kadang buruhnya tidak punya keberanian. Kadang juga malas melapor karena jika melapor malah jadi ATM-nya polisi," katanya.

Anwar mengatakan persoalan buruh khususnya perempuan harusnya menjadi perhatian semua pihak. Ia mengatakan buruh memang memiliki serikat pekerja, tapi dengan adanya budaya patriarki di dalamnya, perlu juga dipertanyakan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan di dalam serikat tersebut. "Buruh perempuan di rumah ditindas karena budaya patriarki, di pabrik dilecehkan, dan digaji dengan upah kecil," tuturnya.

Neng Dara menilai faktor penting dari permasalahan buruh perempuan adalah soal pemenuhan hak pendidikan. Menurutnya, pendidikan yang rendah hanya punya akses terhadap pekerjaan yang rendah juga. Sebaliknya, kalau pendidikan tinggi akan mendapatkan akses pekerjaan yang cukup tinggi.

BACA JUGA: