JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) menyatakan prihatin dengan gelombang ribuan imigran ireguler asal Rohingya dan Bangladesh yang memasuki wilayah Indonesia beberapa minggu terakhir. Sebab kedatangan imigran ini mengancam stabilitas negara-negara di kawasan Asia dan Pasifik, termasuk Indonesia.

Direktur Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata pada Direktorat Jenderal Multilateral Kementerian Luar Negeri Andy Rachmianto mengatakan sejak 10 Mei 2015 telah ada tiga gelombang imigran warga Rohingya dan Bangladesh yang terdampar di Pantai Aceh Utara dan Timur. Data UNHCR/IOM/Ditjen Imigrasi jumlahnya mencapai 1.668 orang (Bangladesh 727 dan Rohingya 941 orang).

Diperkirakan masih ada 6.000-8.000 imigran asal Rohingya dan Bangladesh yang masih terkatung-katung di tengah laut di sekitar perairan Laut Andaman dan Selat Malaka.

Menghadapi gelombang pengungsi tersebut, Andy menyarankan, pemerintahan negara-negara yang terkena dampak (affected countries), yaitu Indonesia, Malaysia, dan Thailand, baik sebagai negara transit sekaligus tujuan serta Myanmar dan Bangladesh sebagai negara asal, perlu duduk bersama, bekerjasama, dan berkordinasi untuk penyelesaian secara komprehensif dan mencari solusi terhadap masalah ini agar tidak mencuat menjadi krisis kemanusiaan di wilayah Indonesia.

"Masalah imigrasi asal Rohingya dan Bangladesh yang tengah dihadapi adalah persoalan regional. Sehingga membutuhkan penanganan regional," kata Andy dalam acara diskusi bertema Save Rohingya di Kantor DPP PKB, Jalan Raden Saleh 1, Jakarta Pusat, Jumat (22/5).

Karena itu Kemenlu berpendapat perlu mengajak UNHCR dan IOM untuk membantu pemerintah mencari solusi yang komprehensif sejalan dengan prinsip-prinsip hukum dan kebiasaan internasional yang berlaku.
Hanya persoalannya, Indonesia bukan negara yang menandatangani Konvensi Pengungsi 1951 yang melarang untuk mengusir atau mengembalikan para pengungsi atau pencari suaka ke wilayah atau negara asal, dimana kehidupan atau kebebasan mereka terancam.

"Dampaknya Indonesia mengalami kesulitan pengalokasian anggaran karena APBN kita tidak mengalokasikan anggaran maupun kebijakan karena belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 tersebut," terangnya. Meski demikian, kata dia, Indonesia sudah berkomitmen menangani persoalan tersebut atas dasar kemanusiaan.

Pendapat senada juga disampaikan politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Meski Indonesia belum menjadi pihak pada Konvensi Pengungsi 1951, kebijakan luar negeri Indonesia tetap harus berpijak pada prinsip-prinsip kemanusian sesuai dengan kebiasaan hukum nasional dan internasional.

"Imigran Rohingya dan Bangladesh ini merupakan persoalan ketidakadilan global yang menghina kemanusiaan," kata Ketua Dewan Syuro PKB Masdar Farid Masudi di forum yang sama, Jumat (22/5).

Faktor penyebab sulitnya dunia internasonal menangani para imigran Rohingya dan Bangladesh, menurut Masdar, karena mereka bukan konglomerat. Sementara agama dan etnis adalah faktor kedua.

"Posisi kita mestinya jelas, terbuka kepada imigran Rohingya dan Bangladesh karena mereka manusia yang berhak menampati tanah di dunia ini, termasuk di Indonesia," tegasnya. Indonesia, kata dia, tidak bisa menutup mata, baik dari sudut konstitusi dan kemanusiaan.

Wakil Ketua Dewan Syuro PKB Andi Muawaiyah Ramli menambahkan, krisis kemanusiaan yang dihadapi oleh imigran Rohingya dan Bangladesh, jangan dipandang sebagai konflik berlatar agama dan etnis, tetapi sebagai bencana kemanusiaan.

"Jangan melihat kasus Rohingya sebagai konflik agama, tetapi lihat sebagai bencana kemanusiaan," kata Andi acara yang sama, Jumat (22/5).

Menurut data UNHCR, hingga April 2015, di Indonesia terdapat 12.145 orang pencari suaka dan pengungsi. Pencari suaka sebanyak 7.101 orang dan pengungsi 5.044 orang.

Pengungsi berasal dari 22 negara. Lima terbesar berasal dari Afghanistan 2.131 orang (42%), Myanmar 738 orang (15%), Somalia 387 orang (8%), Palestina 362 orang (7%), dan Iran 282 orang (6%).

Sementara pencari suaka terdiri dari 40 negara. Dari Afghanistan 4.036 orang (57%), Somalia 572 orang (8%), Iran 516 orang (7%), Iraq 473 orang (6%), dan Sri Lanka 357 orang (5%).

BACA JUGA: