JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pencairan dana desa yang hampir bertepatan dengan prosesi Pilkada Serentak 2015 nanti menimbulkan kekhawatiran akan adanya penyelewengan dana desa guna penyelenggaraan Pilkada. Sayangnya, hingga saat ini peraturan yang ada tak memberi sanksi tegas terhadap celah penyelewengan tersebut.

Berdasar data Kementerian Dalam Negeri, tujuan utama pilkada serentak yakni efisiensi anggaran belumlah tercapai. Bahkan jika dihitung secara kasar, maka pilkada kali ini malah memakan dana yang lebih besar. Sebab saat ini empat dari tujuh kampanye dananya pun ikut ditanggung APBN.

"Biaya kampanye para calon inilah yang membuat Pilkada jadi mahal," kata Koordinator Advokasi dan Investigasi Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Apung Widadi dalam diskusi "Darurat Dana Desa" di Kantor Fitra, Mampang, Selasa (5/5).

Hal ini sudah lama menjadi rahasia umum, mengingat pada tahun 2011 terdapat kepala desa di Kabupaten Semarang, yang diadili atas dugaan korupsi dana bantuan program desa 2011-2012 dengan merugikan negara sebesar Rp103 juta untuk kepentingan kampanye.

Dari riset yang dilakukan Fitra, dana desa yang turun ke daerah belum memiliki payung hukum yang jelas. Oleh karenanya terdapat kemungkinan upaya dana desa diselewengkan dalam membiayai pilkada serentak. Berbeda Semarang, daerah Rokan Hulu, Riau yang memiliki fiskal rendah bahkan menutup dana pilkada mereka dengan gaji ke-13 para PNS-nya.

"Dari data tersebut sudah terlihat potensi penyelewengan, jangan sampai dana desa ini dipakai untuk membiayai pilkada," katanya.

Untuk itu, Apung merekomendasikan agar pemerintah membuat peraturan untuk mempertanggungjawabkan transparansi dana desa tak hanya secara vertikal tapi juga horisontal melibatkan seluruh elemen desa.

"Audit sosial perlu dipraktikkan dalam hal ini, metodenya dapat disesuaikan dengan kearifan lokal seperti rembug desa," usulnya.

Hal senada pun diungkap peneliti Indonesia Budget Center (IBC) Roy Salam. Dia mengatakan, pencairan besaran dana desa yang merupakan kewenangaan kepala daerah dapat memunculkan potensi politisasi calon incumbent. Modusnya, kepala daerah dapat melakukan transaksi dalam penentuan besaran dana per desa.

"Mereka juga dapat menekan pemerintah desa dengan cara menahan pencairan dana desa," katanya dalam kesempatan yang sama.

Ia mencontohkan, pada wilayah Sulawesi dimana terdapat penyelewengan dana dari gubernur untuk peralihan kepala daerah. Dana yang diberikan malah digunakan untuk studi banding ke Bali dan Jakarta dengan memasukkannya sebagai dana pembangunan desa dalam laporan keuangan. "Ini yang luput dari pengawasan kementerian dalam negeri," katanya.

Sayangnya, apabila terdapat SILPA dana desa yang tak wajar maka sesuai Pasal 27 PP 60/2014 sanksi yang diberikan pemerintah malah memotong dana desa pada periode berikutnya. "Sanksi ini merugikan masyarakat, seharusnya sanksi diberikan pada aparatur desa yang melakukan penyelewengan," katanya.

BACA JUGA: