JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kerja Indonesia Corruption Wacth (ICW) dalam melakukan penelusuran terhadap jejak rekam calon komisioner Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) mendapat bantahan dari mantan Rektor Universitas Gajah Mada (UGM) Sofian Effendi. Ia menilai penelusuran ICW tidak tuntas sehingga mengeluarkan kesimpulan yang salah dan menyesatkan.

Sofian Effendi menegaskan jika proyek pembangunan gedung Mall Gama Book UGM yang saat ini menganggur tidak menggunakan uang negara. Proyek tersebut murni hasil kerja sama UGM dengan swasta untuk memberdayakan lahan menganggur milik UGM. Anggaran pembangunannya semua ditanggung pihak swasta.

"Tidak benar menggunakan uang negara. Tetapi itu merupakan kerja sama dengan swasta selama 15 tahun, baru nanti dikembalikan ke UGM," kata Sofian kepada Gresnews.com, Senin (2/6).

Pernyataan Sofian tersebut membantah berita sebelumnya yang ditulis Gresnews.com berjudul Sejumlah Calon Komisioner KASN Integritas dan Independensinya Diragukan. Sofian mengaku terganggu dengan kalimat yang menyatakan salah satu calon komisoner yang merupakan bekas birokrat kampus bermasalah dengan keuangan negara karena ada proyek yang terbengkalai.

Menurut Sofian bantahan pada keterangan ICW tersebut tidak semata-mata karena saat ini dirinya masuk dalam 14 dari 17 nama calon komisoner yang lolos seleksi. Masalah ini jauh lebih besar dari soal pencalonannya sebagai komisioner KASN tetapi menyangkut integritasnya.

ICW memang melakukan penelusuran terhadap jejak rekam calon komisioner KASN dan menemukan indikasi tersebut. Hasilnya ada lima temuan yang perlu menjadi perhatian buat panitia seleksi para calon komisioner yang bekerja mengawasi dan membina para Aparatur Sipil Negara ini.

Lima temuan tersebut, pertama terdapat calon yang dekat dengan ormas yang berafiliasi dengan parpol tertentu. Sehingga ini dikhawatirkan akan mempengaruhi netralitas pengawasan KASN terhadap birokrasi. Kedua, terdapat calon yang bermasalah dengan pengelolaan keuangan negara ketika masih menjabat birokrat kampus karena ada proyek yang terbengkalai.

Ketiga, terdapat sejumlah calon yang belum terbuka sepenuhnya memberikan informasi akurat tentang data dirinya sehingga sulit dilacak. Keempat, terdapat calon yang bermasalah dengan kondisi kesehatan sehingga dikhawatirkan tidak akan bekerja maksimal dalam KASN. Dan kelima ada calon memiliki hubungan kerja tidak harmonis dengan kolega dan atasan pada saat sebelum melamar KASN.

ICW tidak menyebut nama-nama calon yang diragukan integritasnya. Hanya saja itu berdasar temuan ICW dari hasil investigasi dan pelacakan integritas dan rekam jejak ke-17 tersebut di Jabodetabek, Bandung, Semarang, Makassar, dan Yogyakarta. Karena itu ICW telah meminta panitia seleksi dan presiden untuk memilih calon yang benar-benar memiliki integritas dan bersih dari keterlibatan partai politik atau politisi.

"Sangat disayangkan, karena penelusuran yang dilakukan ICW tidak tuntas," kata Sofian.

Sofian menegaskan tidak ada uang negara sedikitpun yang terpakai dalam proyek tersebut karena semua ditanggung pengembang swasta. Pola kerjasama yang digunakan swasta boleh menggunakan gedung tersebut sampai 15 tahun. Baru setelah 15 tahun, bangunan tersebut dikembalikan ke UGM.

Namun dalam perjalanannya, diakui Sofian, sebelum bangunan itu kelar muncul masalah. Pengembang secara sepihak menghentikan pembangunan bahkan meminta ganti rugi sebesar Rp40 miliar. Pengembang mempermasalahkan soal izin mendirikan bangunan namun diduga ada alasan lainnya yakni kondisi keuangan si investor tersendat-sendat.

Persoalan ini pun bergulir sampai ke pengadilan. Di pengadilan tingkat pertama dan kedua pihak pengembang menang. Namun UGM tak terima dan membawa kasus ini ke Mahkamah Agung (MA). Barulah di MA keputusan pengadilan yang memenangkan investor tersebut dibatalkan pada 2013. Namun pihak pengembang tidak terima yang selanjutnya mengajukan Peninjauan Kembali. Namun lagi-lagi MA menolak PK tersebut. "Jadi tidak ada masalah lagi," kata Sofian.

Apa yang disampaikan Sofian tersebut diperkuat oleh mantan Wakil Rektor UGM bidang Kerjasama dan Pengembangan Usaha saat itu Agus Dwiyanto. Kata Agus yang saat ini menjadi Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN), semua persoalan hukum atas pembangunan proyek ini telah final. MA dalam putusan PK juga telah menolak permohonan yang diajukan pihak swasta tersebut. "Dari sisi legal sudah tidak ada masalah," kata Agus.

Kasus proyek pembangunan Mall Gama Book UGM ini mengemuka saat Ahmanto Yahya, Direktur Utama PT Neocelindo Intibeton, selaku investor pembangunan Gama Plaza menggugat UGM dan Sofian Effendy ganti rugi sebesar Rp40 miliar. Kasus bermula, pada 23 Agustus 2003, ketika UGM dan PT Neocelindo Intibeton menandatangani kontrak pembangunan Gama Plaza di lokasi kampus UGM.

Dalam kontrak disebutkan, PT Neocelindo Intibeton berkewajiban membangun gedung enam lantai seluas 8.631 meter persegi di atas lahan seluas 2.911 meter persegi di Jl Kaliurang yang masuk area kompleks kampus UGM. Gama Plaza yang sudah selesai dibangun itu ternyata tidak bisa operasikan karena UGM tidak bisa mengurus izin operasional mall tersebut.

Belakangan, selain plaza itu tak segera beroperasi-operasi, ketahuan bahwa status tanah tempat dibangunnya Gama Plaza atau Gama Bookstore itu ternyata milik Departemen Pendidikan Nasional Pusat. UGM hanya mengantongi izin hak pakai. Merasa telah dirugikan dalam proses kerjasama tersebut, PT Neocelindo Intibeton mengajukan gugatan ganti rugi sebesar Rp 67,9 miliar. Selain itu, PT Neocelindo Intibeton juga melaporkan UGM ke Polda Yogyakarta karena merasa telah ditipu.

Tentang pengaduan PT Neocelindo Intibeton ke polisi, Agus Dwiyanto mengakui telah diperiksa oleh pihak kepolisian. Agus Dwiyanto menyatakan, seluruh tanah di kompleks kampus UGM memang berstatus milik Depdiknas Pusat. "Meski milik Depdiknas, UGM selaku Badan Hukum Milik Negara sepenuhnya memiliki kewenangan pengaturan penggunaannya, asalkan tidak bertentangan dengan Rencana Induk Pengembangan," tegas Agus.

BACA JUGA: