JAKARTA, GRESNEWS.COM – Menjelang pergantian anggota legislatif masih banyak rancangan undang-undang (RUU) yang belum disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Salah satunya adalah RUU Perlindungan dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat (PPHMA). Lambatnya kinerja DPR dalam membahasnya RUU ini, diduga karena minimnya perlindungan terhadap kepentingan masyarakat adat.

Deputi Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) untuk Advokasi Kebijakan, Hukum dan Politik, Rukka Sombolinggi mengatakan persoalannya bukan apakah RUU ini akan disahkan pada periode ini atau periode mendatang, tapi RUU ini sudah menjadi mandat konstitusi. “Sudah 69 tahun Indonesia merdeka belum ada undang-undang yang mengatur hak konstitusional masyarakat adat,” katanya pada Gresnews.com, Sabtu (23/8).

Ia mengatakan RUU ini terkendala karena lambatnya proses pembahasan antara DPR dan kementerian yang ditunjuk sebagai wakil pemerintah. Pihaknya mendesak agar RUU PPHMA segera disahkan, tapi harus secara penuh mengakui hak-hak masyarakat adat. “Bukan UU yang membatasi hak masyarakat adat dan pengakuan yang setengah hati. Jadi itulah yang terjadi dengan draft yang saat ini didiskusikan DPR,” jelasnya.

Rukka menegaskan jika RUU PPHMA disahkan harus sepenuhnya mencerminkan poin yang dimandatkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 35 tentang hutan adat dan putusan MK yang baru tentang noken. Menurutnya, putusan MK yang baru bicara tentang sistem demokrasi dan pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah mufakat yang harus diakui oleh negara. “Itu belum ada dalam draft yang ada sekarang. Draft yang ada sekarang itu buruk sekali,” katanya.

Secara garis besar, Rukka menilai ada dua poin penting yang harus segera diperbaiki dalam RUU PPHMA. Pertama, bagaimana hak-hak bawaan atau hak kolektif masyarakat adat diakui secara penuh misalnya seperti hak atas tanah, wilayah dan sumber daya alam. Ia menyatakan RUU ini dinilai sangat mencurigai masyarakat adat bahwa pengakuan hak masyarakat adat akan menimbulkan potensi disintegrasi. Hal itu menurutnya sama sekali tidak benar.

Ia melanjutkan poin penting kedua yaitu bagaimana konflik dengan masyarakat adat perlu diselesaikan secara kelembagaan. Menurutnya perlu ada komisi nasional masyarakat adat yang bisa mengintegrasikan dan melaksanakan UU semua pekerjaan pemerintah yang terkait dengan masyarakat adat. “Dan sebagai wadah untuk menyelesaikan konflik-konflik yang saat ini sangat marak,” katanya.

Ia juga meminta pemerintah harus berhenti mencurigai masyarakat adat.Menurutnya yang harus dipastikan DPR dapat menghasilkan UU yang berkualitas sesuai mandat konstitusi. Kalau bertentangan dengan putusan-putusan MK, ia berjanji akan menggugat UU tersebut.

“Hampir 70 tahun ditunggu, lalu lahir UU yang abal-abal dan tidak ada gunanya. UU ini bukan hanya untuk mengakui hak konstitusional masyarakat adat, tapi harus ada lembaga yang bisa menyelesaikan konflik antara masyarakat adat dengan negara dan pihak lain.Jadi niat baik pemerintah ini yang harus ada,” katanya.

Sebelumnya, Ketua Pansus RUU PPHMA, Himmatul Alyah mengatakan akan mempercepat masa sidang sehingga RUU ini bisa segera disahkan. Ia menuturkan akan berusaha menyelesaikan pembahasan sebelum masa jabatan beberapa anggota DPR habis. “Jadi pembahasannya kita kebut, pada reses pun kita sempat melakukan rapat,” katanya.

BACA JUGA: