JAKARTA, GRESNEWS.COM - Nasib buruh sawit saat ini terhitung sangat mengenaskan. bekerja tanpa perikatan yang jelas, mereka kerap kali menjadi korban perbudakan lantaran dituntut bekerja dengan target sangat tinggi namun digaji sangat rendah.

Fakta ini sangat bertolak belakang dengan keuntungan yang diperoleh penisnis perkebunan kelapa sawit. Sektor sawit saat ini menjadi penyumbang devisa terbesar bagi negara dengan total nilai mencapai Rp200 triliun setiap tahun. Perkebunan sawit juga menjadi sektor penting bagi penerimaan negara. Dari besarnya penghasilan yang didapat ini, sektor ini juga mempekerjakan sedikitnya 9 juta tenaga kerja (buruh) perkebunan sawit dan sebanyak 70% diantaranya adalah Buruh Harian Lepas.

Direktur Eksekutif Sawit Watch Jefri Saragih mengatakan, melihat fakta ini buruh sawit sudah seharusnya mendapatkan perhatian besar dari pemerintah. "Masalah dan praktik kerja paksa terhadap buruh perkebunan sawit harus segera diselesaikan," kata Jefri dalam siaran pers yang diterima Gresnews.com, Selasa (12/5).

Salah satu persoalan penting dan mendesak harus diselesaikan dalam sektor ini adalah persoalan buruh perkebunan kelapa sawit yang tidak pernah memiliki dokumentasi perikatan kerja antara buruh dan perkebunan. Masifnya praktik buruh harian lepas dan buruh kontrak tanpa jaminan tertulis atau mekanisme formal merupakan potret buram yang kerpa terjadi di perkebunan sawit selama ini.

"Buruh perkebunan sawit dipaksa bekerja tanpa status, diberi upah murah berbasis target kerja dan minim perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan kerja," urai Jefri.

Lebih lanjut, dikekangnya hak-hak buruh untuk membentuk serikat buruh, penggunaan buruh anak dan perempuan tanpa adanya perlindungan yang jelas juga masih menjadi persoalan serius dan melanggar UU dan dapat dikenai sanksi pidana.

Implementasi UU Ketenagakerjaan No 13 tahun 2003 sampai saat ini belum menyentuh unsur-unsur yang ada di perkebunan kelapa sawit dan kecenderungan yang terjadi adalah persoalan lingkungan yang lebih diutamakan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai komitmen yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun perusahaan perkebunan kelapa sawit. Misalnya, kebijakan zero deforestasi, perlindungan wilayah HCV (High Concervation Value) dan HCS (High Carbon Stock) dan lain-lain.

Sawit Watch menegaskan, bahwa selama ini berbagai komitmen yang sudah dikeluarkan bahkan hukum formil yang harusnya dijalankan masih banyak yang dilanggar. "Oleh karenanya,Sawit Watch memastikan akan melakukan upaya upaya serius mempengaruhi pasar dan publik serta kebijakan terkait dengan komitmen perlindungan terhadap buruh perkebunan," tegas Jefri.

Selain itu, kata Jefri, Sawit Watch akan melakukan upaya kampanye nasional dan internasional serta langkah-langkah advokasi lainnya, baik bersifat litigasi maupun non-litigasi untuk memastikan bahwa kedepan dapat ditekan lebih serius praktik-praktik buruk yang terjadi dalam rantai industri minyak sawit.

Jefri menyebutkan, buruh sawit merupakan aset penting dalam rantai pasok di perkebunan kelapa sawit. Oleh karena itu, perlu adanya perhatian khusus terhadap tingkat kesejahteraan buruh dan peningkatan sumber daya manusia.

Tidak adanya peraturan atau kebijakan tentang buruh perkebunan kelapa sawit juga menjadi tantangan tersendiri dalam perkembangan sektor ini kedepannya. "Harapannya dalam pemerintahan saat ini, dapat mengeluarkan kebijakan yang secara khusus tentang buruh perkebunan kelapa sawit," pungkasnya.

Terkait hal ini, Menteri Tenaga Kerja M. Hanif Dhakhiri juga menjelaskan, isu ketenagakerjaan di sektor sawit belum menjadi isu utama dan masih menjadi isu yang marjinal. Menurut Hanif, terdapat empat persoalan utama di sektor perkebunan sawit yakni hubungan kerja yang tidak terdokumentasi, tidak adanya mekanisme kenaikan upah, perlindungan minim terhadap K3 (keselamatan dan keamanan kerja) serta persoalan jaminan kesehatan.

Sebagai contoh menurut Hanif, upah buruh dengan masa kerja 2 tahun sama dengan upah buruh yang masa kerjanya sudah 15 tahun. "Kebijakan pemerintah untuk menaikkan upah buruh setiap tahun dan ini juga berlaku bagi buruh di perkebunan kelapa sawit akan benar-benar dijalankan," janji Hanif.

Terkait dengan kebebasan berserikat, Hanif mengingatkan, sudah merupakan hak buruh untuk berserikat dan membentuk serikat, dan barangsiapa yang menghalangi-halangi akan dikenai sanksi pidana sehingga tidak ada alasan untuk mengekang hak buruh untuk berserikat.

"Oleh karena itu, semua pihak harus serius dan terus menerus memastikan praktik-praktik industri perkebunan kelapa sawit dimanapun agar menaati peraturan yang berlaku, menghormati hak-hak buruh perkebunan sawit serta konsisten dengan komitmennya sendiri," tegas Hanif Dhakiri.

BACA JUGA: