JAKARTA, GRESNEWS.COM – Pengarusutamaan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam dunia bisnis dan korporasi menguat pasca Konferensi HAM internasional. Sebagai kelanjutan dari Konferensi Asia Afrika pada April 2015, pemenuhan HAM dalam dunia bisnis memang baik. Hanya saja muncul sejumlah permasalahan lantaran bentuk pengarusutamaan HAM dalam bisnis hanya dalam bentuk sertifikasi. Misalnya, sertifikasi bagi perusahaan yang ramah terhadap HAM. Pasalnya trend sertifikasi ini sudah umum bagi dunia korporasi dan tak banyak mengubah apapun. Sehingga efektivitas pemberian sertifikat itu diragukan.

Dalam catatan gresnews.com, untuk perusahaan penebangan kayu saja harus mengantongi sejumlah izin sertifikasi diantaranya izin usaha industri primer hasil hutan kayu (IUIPHHK), Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK), sertifikasi pengelolaan produksi lestari (PHPL) dan izin pemanfaatan kayu (IPK).

Jika perusahaan bersangkutan ingin menjual kayu-kayunya ke Eropa, perusahaan harus memiliki izin lagi berupa sertifikasi legalitas kayu (SVLK). SVLK itu sendiri sebenarnya juga menyaratkan agar perusahaan Indonesia yang menjual produksi kayu ke Eropa bebas dari permasalahan HAM dan lingkungan.

Belajar dari SVLK yang diterapkan pada 2009, ternyata tak menjamin wilayah perhutanan yang dikelola perusahaan bersangkutan bebas dari konflik dengan masyarakat dan lingkungan. Data yang dihimpun dari Koalisi Masyarakat Sipil Anti Mafia Kehutanan, dari 20 perusahaan penebangan kayu yang memiliki sertifikasi SVLK, hanya satu yang tidak mengambil wilayah hidup harimau sepanjang 2009 hingga 2012.

Bahkan Walhi juga mencatat, terdapat indikasi korupsi SVLK yang membuat sertifikat tersebut sebagai proyek jual beli sertifikasi untuk memperlancar bisnis kayu ke Eropa. Itu berarti trend penggunaan sertifikat belum tentu efektif digunakan tanpa pengawasan yang ketat.  Ini hanya contoh dari persoalan sertifikasi di Indonesia.

BISA MEMBEBANI PERUSAHAAN - Terkait wacana sertifikasi ramah HAM, anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Lili Asdjudiredja menuturkan dalam UU BUMN disebutkan program bina lingkungan dari 3 persen keuntungan perusahaan disisihkan untuk program tersebut. Sertifikasi HAM tersebut bisa dikaitkan dengan semangat UU tersebut bahwa perusahaan harus membina lingkungannya.

"Kalau ada program itu ya tinggal sinergi saja. Mungkin lebih bagus. Saya setuju supaya perusahaan membina lingkungannya terkait masalah pencemaran. Di departemen lingkungan hidup juga ada sertifikat itu," kata Lili saat dihubungi Gresnews.com pada kesempatan terpisah, Sabtu (1/8).

Menurutnya, Komnas HAM dengan kementerian-kementerian terkait perlu berkoordinasi. Meskipun bagi pengusaha, sertifikat tersebut bisa menjadi beban, karena sertifikat tidak lepas dari biaya. Sehingga itu perlu koordinasi agar tidak semakin banyak sertifikat yang menumpuk bagi perusahaan.  Ia menilai kalau sudah ada koordinasi dengan baik antar lembaga negara maka kekhawatiran tumpang tindih sertifikat bisa teratasi.

Berbeda dengan Lili, Wakil Ketua Komisi VI DPR Azam Azman Natawijana mengatakan Indonesia perlu melakukan yang prioritas lebih dulu. Sebab masalah HAM masih banyak yang harus diurus oleh Komnas HAM. Ia menilai sertifikasi HAM seharusnya menjadi prioritas ke sekian. Sehingga tidak perlu menambah beban tapi efektivitasnya.

"Kota HAM berikutnya saja. Lebih baik menyelesaikan masalah HAM dulu daripada membuat kota HAM,” ujar Azam saat dihubungi gresnews.com, Sabtu (1/8).

Menurutnya, berbeda dengan negara lain aturannya sudah jelas dan persoalan HAM-nya sudah teratasi, tidak apa membuat kota HAM. Tapi Indonesia tidak seperti negara lain. Terkait sertifikat yang harus dimiliki perusahaan yang berada di kota HAM, menurutnya, sertifikat tersebut juga belum tentu ada manfaatnya bagi perusahaan masing-masing. Sehingga sertifikat tersebut menjadi tidak efektif dan hanya akan menambah beban bagi perseroan atau perusahaan.

BISNIS BERBASIS HAM - Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Nurkholis mengatakan perusahaan tidak banyak pilihan. Kesadaran global sudah menunjukkan yang namanya korporasi sudah harus menghormati Hak Asasi Manusia. Jadi perusahaan tidak boleh melanggar jam kerja, tidak boleh merusak lingkungan, dan tidak boleh lagi melakukan diskriminasi di internalnya, serta tidak boleh mengabaikan masyarakat di sekitarnya kalau masih miskin.

"Perusahaan bukan hanya hidup di satu wilayah. Dia berkorelasi dengan tempat lain misalnya dengan produksinya atau sumber daya manusianya. Kesepakatan internasional bagi perusahaan yang tidak mau in line dengan sistem HAM internasional, maka mereka akan ketinggalan dan terboikot,” ujar Nurkholis kemarin usai penandatanganan MoU antara Komnas HAM dengan FIHRRST di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Sabtu (1/8).

Ia mencontohkan perusahaan sawit yang melakukan pelanggaran HAM secara terus menerus, bukan tidak mungkin pada satu titik di tempat lain usahanya bisa terhenti. Menurutnya, Komnas HAM lebih mengenalkan pada standar hak bagi masyarakat sekitar yang di lingkungannya terdapat sebuah perusahaan. Misalnya perusahaan tidak boleh melakukan perusakan lingkungan, tidak boleh melanggar HAM buruh, tidak boleh membiarkan masyarakat di sekitar operasi perusahaan dalam kondisi yang buruk dan menderita.

Selanjutnya, Ketua FIHRRST Marzuki Darusman mengatakan kerjasama dengan Komnas HAM ditujukan untuk melindungi masyarakat maupun perorangan di berbagai bidang. Misalnya diskriminasi tenaga kerja anak, diskriminasi terhadap perempuan, kondisi kerja dan jam kerja perusahaan. Lalu nantinya perusahaan akan dinilai apakah memiliki kebijakan mengenai HAM, memiliki metode monitoring kegiatan dalam menghadapi korban ketika ada perselisihan antara perusahaan dengan birokrasi, dan pemulihan.

“Mudah-mudahan bisa kita evaluasi sejauh mana pemerintah, komunitas bisnis dan masyarakat bersama maju menciptakan konsensus agar ada cara bagi perusahaan untuk melakukan audit dalam hal HAM,” ujar Marzuki pada kesempatan terpisah.

BERSIFAT SUKARELA - Bentuk nyata dari pengarusutamaan bisnis yang diusung Komnas HAM dengan FIHRRST nantinya akan dikeluarkan dalam bentuk sertifikat bagi perusahaan. Nurkholis menjelaskan sertifikasi menjadi cara agar korporasi bisa sejalan dengan sistem HAM internasional. Adapun pihak yang akan mengeluarkan sertifikat dan syarat untuk mendapatkan sertifikat tersebut masih akan dikonsepkan pihak terkait MoU tersebut.

Selanjutnya, sertifikasi bagi perusahaan ini menjadi komitmen moral perusahaan bersangkutan. Ketika perusahaan bersangkutan tidak menaati sistem moral yang berlaku secara internasional maka sistem pasar akan bergerak sendiri. Misalnya pemboikotan akan berjalan dengan sendirinya.

Lalu Marzuki menjelaskan sistem sertifikasi ini metodenya memang direncanakan masih bersifat sukarela tapi diawasi. Ia menjelaskan saat ini masih bersifat sukarela sehingga hanya dilakukan audit atas perusahaan. Ia berharap kalau program mulai dilakukan mulai tahun depan maka 5 tahun mendatang Indonesia sudah dalam posisi yang ideal untuk melaksanakan audit HAM untuk semua jenis perusahaan di Indonesia.

"Ini tidak harus dilihat sebagai beban tambahan tapi justru sebagai cara untuk buktikan produksi dan hasil kerja dari perusahaan itu dipandang oleh masyarakat memenuhi syarat-syarat HAM dan tentunya akan berdampak bagi positifnya pemasaran produk perusahaan yang bersangkutan," ujar Marzuki.

Ia mencontohkan di Eropa sudah makin ketat pengarusutamaan HAM dalam dunia bisnis. Sehingga produk apapun yang masuk ke wilayah tersebut harus memenuhi syarat pemenuhan HAM. Dari satu sisi bisa dikatakan perusahaan di Indonesia masih secara sukarela agar perusahaan bisa memiliki sertifikat tersebut. Tapi ketika perusahaan tersebut memiliki korelasi bisnis dengan negara-negara di Eropa maka secara tidak langsung akan memaksa perusahaan di Indonesia untuk memiliki sertifikat tersebut.

TANTANGAN PENERAPANNYA - Marzuki menjelaskan secara regulasi persoalan ini masih berpayung di bawah perspektif Corporate Social Rensponsibility (CSR) yang sifatnya sukarela. Tapi ketika berbicara soal bisnis dan HAM, maka seharusnya Indonesia sudah mulai bergerak dari yang sifatnya CSR ke domain kebijakan. Sehingga diperlukan ketentuan hukum yang meletakkan kepentingan bisnis dan HAM setara dengan CSR. Atas dasar itu, bisnis dan HAM bisa dipayungi dengan ketentuan undang-undang (UU).

"Ini yang jadi tantangan symposium yang akan dilaksanakan Kementerian Luar Negeri bahwa perlu dirancang UU yang lebih kuat yang memberi alas pada pengertian bisnis dan HAM. CSR dengan bisnis dan HAM tidak bisa dicampur. Sebab jiwa dari CSR sukarela. Sementara jiwa dari bisnis dan HAM sifatnya kebijakan,” jelasnya.

Pada kesempatan yang sama saat penandatanganan MoU tersebut, sejumlah perwakilan kementerian hadir memberikan respons. Direktorat HAM dan Kemanusiaan Kementerian Luar (Kemlu) Negeri Dicky Komar mengatakan isu soal bisnis dan pengarusutamaan HAM juga menjadi salah satu fokus Kemlu yang diangkat pada simposium nasional Kemlu pada September 2015. Menurutnya, selama ini persoalan HAM dalam dunia bisnis memang lebih cenderung terbatas pada CSR.

“Sehingga bagaimana dalam prakteknya harus dibuat guidance principal bagi semua pemangku kepentingan termasuk korporasi,” ujar Dicky pada saat tanya jawab usai penandatanganan MoU Kota HAM di Komnas HAM.

SIKAP PARA KEMENTERIAN  - Selanjutnya, Direktur Jenderal HAM Kementerian Hukum dan HAM Darsyad Ikhsan menyatakan apresiasinya mengenai pengarusutamaan HAM dalam dunia bisnis. Ia menilai seharusnya terdapat pegangan agar ketika pemerintah menyusun rencana pembangunan di segala bida, harus ada unsur nilai-nilai HAM. Sehingga programnya bernuansa HAM.

"Harapan kita HAM maju terus," tutur Darsyad pada kesempatan yang sama.

Berbeda dengan tanggapan perwakilan kedua kementerian di atas, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bidang hukum dan advokasi Rudy D. Siregar mengatakan setuju kekuatan dan kewenangan HAM diberikan pada korporasi dan industri. Sebab tantangan HAM ke depan lebih berat. Ia mencontohkan industri yang berdiri akan mengeksploitasi mulai dari sumber daya manusia sampai lingkugan.

"Korporasi besar banyak sekali langgar HAM. Walau saya dari Kadin saya bicara jujur bahwa korporasi tidak lepas melakukan pelanggaran HAM," tutur Rudy pada kesempatan yang sama.

Selanjutnya ia menekankan pengarusutamaan HAM menjadi penting dalam bisnis, tapi ia khawatir jangan sampai ada overlap antara UU yang sudah ada. Misalnya dalam UU ketenagakerjaan, UU lingkungan, dan turunan UU tersebut sudah ada poin soal HAM. Sehingga payung hukum yang ada soal bisnis dan pemenuhan HAM harus memiliki kepastian hukum. sebab kepastian hukum tersebut yang diperlukan oleh pelaku bisnis.

Ia menambahkan persoalan sertifikasi HAM atau perizinan misalnya bisa dimasukkan dalam tiap aturan investasi. Sertifikasi tersebut bisa menjadi syarat bagi pihak yang baru akan mendirikan pabrik. Misalnya dibuat ukuran apakah pabriknya layak, kinerjanya manusiawi atau tidak, dan sistem produksinya seperti apa.

Lalu untuk selanjutnya pemenuhan HAM dalam dunia usaha bisa dipantau secara berkala. Dari semua mekanisme tersebut yang terpenting bagi perusahaan menurutnya  adalah paket persyaratan yang terintegrasi dan ada kepastian hukum.

BACA JUGA: