JAKARTA, GRESNEWS.COM - Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal  yang ditandai penutupan dua pabrik elektronik besar Panasonic dan Toshiba, memicu saling tuding antara pihak pengusaha dan buruh.

Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) menuding memburuknya kondisi perekonomian negara akibat paket kebijakan ekonomi pemerintah yang tidak berpihak kepada buruh dan pekerja. Paket kebijakan ekonomi yang diluncurkan pemerintah dituding hanya berpihak pada investor dan asing. Kebijakan itu dituding menjadi mimpi buruk  bagi buruh dan pekerja, karena menjadi korban PHK.

Presiden FSPMI, Said Iqbal menilai tidak diumumkannya kasus PHK massal yang terjadi akhir-akhir oleh pemerintah dan Asosiasi  Pengusaha Indonesia (Apindo) atau Kamar Dagang Industri (Kadin) bisa jadi karena dua hal. Pertama karena pemerintah ingin menutupi angka PHK sebab takut dianggap gagal dalam menjalankan kebijakan ekonominya.

"Saat ini sudah ramai di media tentang PHK tetapi, pemerintah belum juga mengumumkan angka PHK sedikit demi sedikit," kata Said dalam keterangan tertulisnya, Senin (8/2).

Said  mengatakan jika pemerintah mengumumkan  jumlah korban PHK tersebut, maka pihak Apindo ataupun Kadin  pasti akan mengamini  perlahan-lahan.  "Yang  kemudian, ujung- ujungnya meminta insentif lagi," ungkapnya.

Sedang, faktor kedua karena ketidakmampuan Pemerintah untuk  meningkatkan daya beli masyarakat yang salah satu penyebabnya karena kebijakan upah murah pemerintah  melalui PP Nomor  78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

Sementara ia menilai semua harga barang, ongkos transportasi tetap mahal dan sewa juga rumah mahal. Penurunan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) beberapa waktu lalu juga tidak memberikan efek, meski di tengah anjloknya harga minyak dunia.

"Hal ini diperparah dengan sikap pengusaha yang menyatakan tidak ada efek apa pun di sektor rill dari  paket kebijakan ekonomi tersebut," ujarnya.

Sementara dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) justru menuding sebaliknya.   Menurut mereka masalah pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi di  PT Panasonic dan PT Toshiba, di Kawasan Industri East Jakarta Industrial Park (EJIP), Cikarang Selatan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, tidak terlepas dari dua hal. Pertama, tingginya upah tenaga kerja di Kabupaten Bekasi. Kedua, modernisasi mesin perusahaan yang tidak lagi mengandalkan sumber daya manusia (SDM).

"Kami nelihat permasalahan tersebut karena dua hal yakni employee cost dan alih teknologi mesin di perusahaan," ujar Wakil Sekretaris Umum Apindo, Aditya Warman, Jumat (5/2).

Aditya mengatakan, upah minimum kabupaten/kota (UMK) buruh di Kabupaten Bekasi mencapai Rp 3,8 juta. Tingginya upah ini  dianggap sebagai salah satu penyebab kedua perusahaan asal Jepang itu melakukan PHK secara massal.

"Karyawan yang baru masuk dan belum memiliki kompetensi atau sertifikasi dianggap sama saja dengan karyawan yang pintar," tuturnya.

Semestinya, kata dia, karyawan yang baru masuk diberikan upah minimum. Setelah memiliki kualifikasi, perusahaan memberikan insentif. "Bukan dipukul rata semua karyawan. Karyawan baru digaji dengan upah minimun, nanti setelah setahun atau dua tahun diberikan insentif menuju upah layak. Saat ini, kami melihat karyawan baru masuk, sudah diberikan upah layak," ungkapnya.

Dia menjelaskan, alih teknologi juga menjadi faktor penyebab PHK massal tersebut. "Semakin tinggi biaya yang dikeluarkan untuk upah karyawan, perusahaan harus survive dengan cara memodernisasi mesin-mesinnya agar efektif sehingga bisa melakukan efisiensi," katanya.

Menurutnya, modernisasi teknologi mesin sebagai upaya agar perusahaan tidak bergantung pada karyawan. "Secara umum, perusahaan harus mampu menata teknologi mesin untuk bisa survive," imbuhnya.

Disebutkan Aditya, diperkirakan PT Panasonic akan melakukan PHK buruhnya sebanyak 2.000 karyawan. Sementara PT Toshiba bakal mem-PHK 865 karyawan. Saat ini sedang berlangsung negosiasi bipartit antara manajemen perusahaan dengan karyawan untuk pemberian pesangon.

BELUM PHK - Menanggapi adanya kabar PHK massal di sejumlah perusahaan seperti PT Ford Motor Indonesia, PT Chevron Pacific Indonesia, dan PT Panasonic Gobel Indonesia Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mengaku telah melakukan pengecekan ke 3 perusahaan tersebut.

Menurut Direktur Pencegahan dan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Kemenaker, Sahat Sinurat, pihaknya telah mendatangi langsung Ford untuk meminta klarifikasi. Ford memang berencana akan melakukan PHK karyawan, tapi sekarang ini belum dilakukan. Kemenaker telah meminta pihak Ford untuk memenuhi semua hak pekerja bila jadi melakukan PHK.

"Kita koordinasi dengan Ford, sekaligus mengklarifikasi apa masalahnya," ujar Sahat di Jakarta, Sabtu (6/2).

Demikian juga dengan Chevron yang dikabarkan akan memangkas 1.200 pekerja Kemenaker juga mendatangi perusahaan. Sama halnya Ford, pihak Chevron belum melakukan PHK, hanya diakui perusahaan tersebut sedang mengarah melakukan PHK. "Alasannya karena efisiensi," ujar Sahat.

Kemenaker juga melakukan langkah yang sama terhadap Panasonic Gobel Group. Dari sana diperoleh informasi bahwa Panasonic masih membayar gaji para karyawannya seperti biasa. Panasonic sampai saat ini masih bermusyawarah dengan para pekerjanya untuk mencari solusi atas masalah yang dihadapi.

"Jadi belum ada PHK, Panasonic sampai sekarang masih bayar upah, mereka masih berunding cari penyelesaiannya," ujarnya. (dtc)

BACA JUGA: