JAKARTA, GRESNEWS.COM - Industri berbasis sumber daya alam di Indonesia harus memberi perhatian lebih besar terhadap isu lingkungan hidup. Hal ini penting dilakukan karena dinamika pasar internasional saat ini tidak hanya memperhatikan masalah supply dan demand semata. Dalam kaitan itu The Nature Conservancy (TNC) Indonesia hari ini, Rabu (8/1) kembali mengadakan Policy and Practice Forum (PPF) yang mengangkat tema Industri Berbasis Sumber Daya Alam Menuju Pasar Dunia. "Sebagai salah satu agenda strategis TNC, kali ini PPF kami gelar untuk lebih mendekatkan isu-isu lingkungan dengan pembuat kebijakan dan praktik-praktik industri, khususnya yang berhubungan dengan sumberdaya alam," kata Rizal Algamar, Country Director TNC Indonesia dalam rilis yang diterima Gresnews.com.

Saat ini, industri berbasis sumber daya alam di Indonesia memang tengah berkembang dan menjadi salah satu penopang pertumbuhan ekonomi negara. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada tahun 2012 sebanyak 23,5% pertumbuhan Gross Domestic Product (GDP) Indonesia didukung oleh industri pengolahan sumberdaya alam. Terutama dibidang pertanian, perikanan, minyak sawit, karet, coklat, ikan, kayu dan kertas.

Komoditas tersebut banyak digemari dunia mulai dari negara berkembang hingga negara maju. "Indonesia memiliki banyak industri yang mengolah sumberdaya alam menjadi produk dengan daya saing tinggi di pasar dunia. Industri-industri tersebut tentu saja  terkait langsung dengan lingkungan dan isu-isu diseputarnya," kata Rizal menambahkan.

Salah satu komoditas asal Indonesia yang kerap mendapatkan ganjalan di pasar dunia adalah kayu. Pembalakan liar yang kerap terjadi membuat banyak produk kayu olahan asal negeri ini ditolak oleh negara-negara maju. Untuk itu TNC sejak tahun 2003 telah terlibat langsung dalam skema legalisasi produk hutan Indonesia atau Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) bersama Kementerian Kehutanan, Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia dan para pemangku kepentingan lain seperti masyarakat dan berbagai organisasi nirlaba lainnya.

Saat ini SVLK sebagai skema sertifikasi produk kayu wajib dari pemerintah Indonesia telah menjadi salah satu program perintis legalisasi ekspor kayu dan produk kayu ke mancanegara yang terdepan. Tahun 2012 telah dilakukan uji coba pengiriman kayu legal disertai dengan Dokumen V-Legal ke sembilan negara Uni Eropa oleh 17 eksportir produk kayu. Tahun lalu penandatanganan Forest Law Enforcement, Governance and Trade-Voluntary Partnership Agreement (FLEGT-VPA) antara pemerintah dengan Uni Eropa telah semakin membuka pasar Eropa untuk produk kayu olahan asal Indonesia.

Hanya saja perjanjian ini sempat dipermasalahkan oleh pihak Human Right Watch yang mengatakan perjanjian itu cacat hukum. Perjanjian VPA-FLEGT mewajibkan kayu dari Indonesia yang dieskpor ke UE memiliki sertifikat yang memastikan kayu tersebut diperoleh secara legal. Namun, hal ini tidak menjamin apakah kayu itu diperoleh tanpa melanggar hak-hak komunitas lokal.

Perjanjian ini juga tak mengatasi korupsi dalam hal penerbitan lisensi kayu, yang telah mencuri milyaran dolar pendapatan tahunan Indonesia. "Perjanjian perdagangan kayu Indonesia-UE seharusnya dapat membantu dalam memberantas pembalakan liar, tapi jalan masih panjang untuk bagi kedua belah pihak untuk melakukan perdagangan pada kayu legal saja," kata Joe Saunders, wakil direktur program Human Rights Watch dalam pernyataan tertulis kepada Gresnews.com.

Menurut Human Rights Watch, sertifikasi yang mendasari perjanjian VPA-FLEGT tersebut tidak lengkap. "Sistem ini hanya akan mengaudit perusahaan-perusahaan untuk mengecek apakah penjual kayu mengantungi izin, namun tidak melakukan pengecekan apakah izin tersebut diperoleh melalui cara-cara korupsi atau melanggar hak-hak tanah komunitas," ujar Joe Saunders lagi.

Padahal hak-hak komunitas lokal atas tanah dan kompensasi diakui oleh hukum Indonesia. Pada bulan Mei, Mahkamah Konstitusi Indonesia telah memutuskan apabila pemerintah memasukkan wilayah adat dalam konsesi hutan maka hal tersebut bertentangan dengan konstitusi. Meski begitu dari sisi bisnis SVLK memang cukup menguntungkan bagi industri perkayuan Indonesia. Dengan SVLK, kini produk kayu Indonesia bisa melenggang bebas di pasar dunia.

Karena itu TNC tetap mendorong penerapan SVLK. Selain legalitas kayu, TNC juga mendorong ditemukannya beragam solusi ilmiah dari isu-isu lingkungan lainnya. Beberapa contoh diantaranya adalah masalah karbon, perencanaan tata ruang, perikanan berkelanjutan, konservasi habitat spesies seperti orangutan, pelibatan komunitas dalam konservasi, dan program development-by-design yang menyeimbangkan antara pemanfatan dengan pelestarian alam.

Sebagai organisasi lingkungan yang mengutamakan pendekatan ilmiah, TNC telah dan terus berkomitmen membantu berbagai pihak yang membutuhkan keahliannya dalam mengelola sumberdaya alam secara lestari. "Pada akhirnya, pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari kami harapkan dapat memberikan dampak positif tidak hanya kepada manusia tetapi juga alam itu sendiri," tutup Rizal.

BACA JUGA: