JAKARTA, GRESNEWS.COM - Persetujuan kerjasama antara Indonesia dan Uni Eropa (UE) dalam penegakan hukum, tata kelola, serta perdagangan bidang kehutanan (Voluntary Partnership Agreement on Forest Law Enforcement Governance and Trade--VPA/FLEGT) yang ditandatangani pada tanggal 30 September lalu di Brussels, Belgia, dinilai cacat. Human Right Watch dalam pernyataan tertulisnya yang diterima redaksi Gresnews.com, Kamis (7/11) mengungkapkan, perjanjian tersebut tidak akan cukup mencegah pembalakan liar yang berbuah pelanggaran hak asasi.

Perjanjian VPA-FLEGT mewajibkan kayu dari Indonesia yang dieskpor ke UE memiliki sertifikat yang memastikan kayu tersebut diperoleh secara legal. Namun, hal ini tidak menjamin apakah kayu itu diperoleh tanpa melanggar hak-hak komunitas lokal. Perjanjian ini juga tak mengatasi korupsi dalam hal penerbitan lisensi kayu, yang telah mencuri milyaran dolar pendapatan tahunan Indonesia. "Perjanjian perdagangan kayu Indonesia-UE seharusnya dapat membantu dalam memberantas pembalakan liar, tapi jalan masih panjang untuk bagi kedua belah pihak untuk melakukan perdagangan pada kayu legal saja," kata Joe Saunders, wakil direktur program Human Rights Watch dalam pernyataan tertulis kepada Gresnews.com. Menurutnya, proses sertifikasi Indonesia butuh direformasi untuk menjamin kayu itu tak didapat dari lahan masyarakat tanpa izin dan kompensasi yang memadai.

Perjanjian yang ditandatangani oleh Menteri Kehutanan RI Zulkifli Hasan dan Komisioner Eropa Bidang Lingkungan, Janez Potocnik, serta Menteri Lingkungan Hidup Lithuania, Valentinas Mazuronis (selaku Presidensi Uni Eropa), di di satu sisi memang memastikan produk kayu Indonesia bisa menembus Pasar UE tanpa melewati proses uji tuntas atau due diligence. Dalam pernyataan pers bersama antara Indonesia dan UE disebutkan, perjanjian tersebut bertujuan untuk menghentikan perdagangan kayu ilegal dan memastikan hanya hasil kayu dan produk kayu yang telah diverifikasi legalitasnya saja yang boleh masuk ke pasar Uni Eropa.

Sertifikasi yang berlaku di Indonesia dalam kaitan ini adalah sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK). Dengan demikian produk kayu Indonesia bersertifikasi SVLK, akan dapat menembus ke-28 negara anggota UE. "Perjanjian tersebut merupakan terobosan kerja sama strategis yang penting antara negara produsen dan konsumen, khususnya antara Indonesia dan UE dalam memerangi pembalakan liar serta perdagangannya," kata Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan. Sementara itu, Janez Potocnik menyatakan penandatanganan ini adalah pembuktian dari penyatuan kekuatan Indonesia-UE untuk bersama-sama mengatasi pembalakan liar serta perdagangannya.

Menanggapi penandatanganan itu, pada tanggal 7 November 2013 kemarin, Human Rights Watch mempublikasikan laporan "Sisi Gelap ´Pertumbuhan Hijau´: Dampak Tata Kelola yang Lemah dalam Sektor Kehutanan terhadap Hak Asasi Manusia di Indonesia" dalam versi Bahasa Indonesia. Laporan setebal 61 halaman itu mengungkapkan, penebangan liar dan salah urus sektor kehutanan menyebabkan kerugian pemerintah Indonesia lebih dari US$ 7 miliar atau sekitar Rp 70 trilyun antara 2007 sampai 2011.

Untuk mengatasi hal itu, Indonesia menurut Human Right Watch, menggelar reformasi untuk menanggapi keprihatinan itu dan mengotak-atik beberapa kebijakan kehutanan sebagai model "pertumbuhan hijau" yang berkelanjutan. Sayangnya, sebagian besar penebangan di Indonesia tetap di luar pembukuan dan fee dipatok sangat rendah, serta hukum dan peraturan yang ada tetap diabaikan.

Kebijakan pembakaran nol dan moratorium pembukaan hutan juga tidak diwujudkan secara memadai. Laporan tersebut telah diserahkan secara resmi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, Kamis (7/11). Satu temuan penting dalam laporan tersebut adalah sistem sertifikasi legalitas kayu di Indonesia yang disertakan dalam perjanjian perdagangan Indonesia-UE, tidak cukup untuk mengatasi pelanggaran yang dapat menjalar pada hak atas tanah dan korupsi, yang tumbuh subur di sektor kehutanan.

Meskipun hutan di Indonesia semakin berkurang sampai dengan tahap yang mencemaskan, hutan Indonesia mempunyai peran yang penting secara global bagi keanekaragaman hayati dan penyerapan karbon. Praktik ilegal dalam kaitan ini menjadi penyumbang penting terjadinya deforestasi. Dengan menggunakan data dari pemerintah dan industri, Human Rights Watch menaksir Indonesia kehilangan sedikitnya US$ 2 miliar atau setara Rp 22 trilyun atas pajak yang tidak tertagihkan karena pembalakan liar dan subsidi tak diakui pada 2011. Hal ini terjadi dalam kurun waktu setahun setelah sistem legalitas kayu diwajibkan bagi semua pelaku industri.

Menurut Human Rights Watch, sertifikasi yang mendasari perjanjian VPA-FLEGT tersebut tidak lengkap. "Sistem ini hanya akan mengaudit perusahaan-perusahaan untuk mengecek apakah penjual kayu mengantungi izin, namun tidak melakukan pengecekan apakah izin tersebut diperoleh melalui cara-cara korupsi atau melanggar hak-hak tanah komunitas," ujar Joe Saunders lagi. Padahal hak-hak komunitas lokal atas tanah dan kompensasi diakui oleh hukum Indonesia. Pada bulan Mei, Mahkamah Konstitusi Indonesia telah memutuskan apabila pemerintah memasukkan wilayah adat dalam konsesi hutan maka hal tersebut bertentangan dengan konstitusi.

Meski demikian, aturan itu terus-menerus diabaikan ketika pemerintah memberikan hak konsesi pada perusahaan penebangan hutan, pertambangan, dan perkebunan. Pelanggaran ini mempunyai konsekuensi yang serius. Contohnya, mata pencaharian masyarakat pedesaan miskin yang bergantung pada pertanian dan mengumpulkan hasil hutan menjadi hancur seketika ketika tanah adatnya diambil untuk perkebunan. Permasalahan terkait dengan lahan ini kian hari kian memburuk bukannya membaik. Konflik atas lahan meningkat secara tajam, dan seringkali berbuntut kekerasan. Hal ini seiring dengan rencana “pembangunan hijau” pemerintah yang agresif meluaskan perkebunan bubur kertas dan sawit untuk bahan bakar nabati.

Pada 25 Juni 2012, menteri-menteri luar negeri UE mengadopsi Kerangka Strategis UE mengenai Hak Asasi Manusia dan Demokrasi. Mereka berjanji bahwa UE akan mendukung hak asasi manusia pada setiap bidang dalam tindakan luar negeri tanpa pengecualian dan secara khusus mengintegrasikan promosi hak asasi manusia ke dalam kebijakan-kebijakan perdagangan. "UE tak boleh mengizinkan impor kayu yang terkait dengan kekerasan dan pelanggaran hak asasi. Fakta bahwa pelanggaran macam ini begitu meluas membuat semuanya lebih berbahaya. Perjanjian perdagangan terbaru tak boleh dipakai untuk menutupi legalitas dari kayu yang diperoleh dari kondisi semacam itu," ujar Saunders.   (GN-03)

BACA JUGA: