JAKARTA, GRESNEWS.COM - Jaringan Advokasi Hak atas Air mempertanyakan lambannya pembahasan Rancangan Undang Undang Sumber Daya Air. Mereka menilai pemerintah juga terkesan menutupi proses pembahasan RUU tersebut dari pantauan publik.

Air sebagai komoditas utama masyarakat menuntut pengelolaan yang jauh dari perhitungan profit ekonomis karena air merupakan hak asasi manusia yang mesti mendapat jaminan dari pemerintah. Karena itu pihak Jaringan Advokasi Hak atas Air menilai, komersialisasi air bertentangan dengan amanat konstitusi.

Muhammad Reza Sahib dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Air (KRuHa) menyampaikan, semangat pemerintah dalam menyusun Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air masih disandera ekonomi dan industri dan mengabaikan sektor lingkungan dengan dalih pembangunan termasuk dalam pengelolaan sumber daya air.

Akibatnya, kaidah lingkungan dan pelayanan publik yang semestinya menjadi pertimbanngan pemerintah dilanggar oleh pemerintah. Dalam kasus RUU air, justru negara melalui kebijakannya menjadi instrumen untuk melegalisasi kepentingan swasta dalam pengelolaannya.

"Secara praktik liberalisasi air itu terjadi dan dilegalisasi oleh pemerintah," kata Reza saat memberikan keterangan persnya di Jakarta Selatan, Minggu (5/1).

Reza melihat, kebijakan paket ekonomi ke-6 misalnya, sangat kentara bagaimana pemerintah masih membuka ruang bagi swasta untuk mengelola dan mengambil air yang dilegitimasi melalui paket kebijakannya. Semangat ini, sambung Reza masih sangat kuat menyusupi dalam RUU Air yang sedang dibahas oleh DPR.

"Itulah ruh yang melatarbelakangi PP 121 tentang Pengusahaan Air dan PP 122 tentang Sistem Pengelolaan dan Pengembangan Air Minum. Artinya ruh komersialisasinya berasal dari situ. Melalui PP tersebutlah dipakai sebagai alat melegitimasi untuk pelanggaran HAM atas air dan perpanjangan izin Aqua yang gelap di Sukabumi," kata Reza.

Dia berharap, pengelolaan air itu bisa sepenuhnya dikelola oleh negara melalui BUMN atau BUMD. Menurutnya, norma itu juga yang dikunci oleh putusan MK bahwa air merupakan hak publik yang mesti disediakan pemerintah tanpa mempertimbangkan keuntungan ekonomi.

Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri, dua tahun lalu membatalkan seluruh pasal dalam Undang- Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) yang diajukan Pimpinan Pusat Muhammadiyah. MK menganggap pasal dalam UU Tahun 2004 tentang SDA bertentangan dengan UUD 1945 karena belum menjamin pembatasan pengelolaan air dari pihak swasta.

Dengan dicabutnya UU nomor 7 tahun 2004 MK menghidupkan kembali UU Nomor 11 tahun 1974 tentang Pengairan sebagai payung hukum menjelang adanya pembentukan UU yang baru soal air.

MINUS KETERLIBATAN PUBLIK - Wahyu A. Perdana dari perkumpulan Center for Research on Enviroment Apropriate Technology and Advocacy (Creata) bidang Tenurial dan Sumber Daya Alam menilai, ada upaya pemerintah untuk menutupi proses pengelolaan air dari keterlibatan publik. Sejauh ini perspektif dalam pengelolaan air masih tertekan oleh pendekatan ekonomis.

"Sampai itu menjadi naskah akademik di Kementerian PUPR itu tidak ada konsultasi terhadap publik baik dalam bentuk dokumen maupun pertemuan langsung," kata Wahyu kepada gresnews.com di tempat yang sama.

Terbitnya PP nomor 121 dan PP 122 merupakan indikasi bahwa pendekatan pemerintah melihat air sebagai sumber daya. Dampaknya pendekatan itu cenderung bagaimana memberikan sistem perizinan bukan pada bagaimana pemerintah memenuhi kebutuhan air bagi masyarakat. "Dalam kondisi apapun orang harus dapat air tidak harus selalu bayar," ungkap Wahyu.

Karena perspektif yang keliru itu, sambung Wahyu, pemerintah mengabaikan kepentingan masyarakat dengan mendahulukan kepentingan ekonomi yang berorientasi pada keuntungan.

Sementara itu, Diana Gultom dari debtWATCH Indonesia mengantisipasi agar kepentingan Bank Dunia (World Bank) seperti pada UU Nomor 7 tahun 2004 lalu tidak terulang lagi dalam membuat RUU baru tentang air. Dia menuturkan UU Nomor 7 tahun 2004 lalu kentara sekali dengan kepentingan Bank Dunia melalui WATSAL (Water Resources Sector Adjusment Loan) yang memberi pinjaman senilai US$400 juta.

Pinjaman Bank Dunia dengan memberi juga menyumbang cara pandang publik bahwa air itu merupakan komoditi ekonomi bukan sebagai hak publik yang semestinya menjadi hak mereka. Diana juga mengkhawatirkan cara pandang terhadap air itu juga memengaruhi pada cara pemerintah dalam paket kebijakannya.

Dengan alasan itu, Diana berharap pemerintah juga membukan proses pengambilan kebijakan soal air dan tidak menutup mata soal kasus-kasus yang dilatarbelakangi oleh sektor air tersebut. "Pinjaman melalui Watsal itu mengacak-acak cara pandang kita melihat air," kata Diana.

BACA JUGA: