JAKARTA, GRESNEWS.COM - Konsepsi Hak Asasi Manusia yang dilontarkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dinilai tak tepat. Ahok dalam satu kesempatan mengatakan, HAM adalah untuk menyelamatkan orang banyak.

"Kalau saya ditanya, ´Apa HAM anda?´ Saya ingin 10 juta orang hidup, bila dua ribu orang menentang saya dan membahayakan 10 juta orang, (maka dua ribu orang itu) saya bunuh di depan anda," kata Ahok dengan wajah serius.

Hal itu dinyatakan Ahok saat melaksanakan rapat dengan Komunitas Ciliwung Merdeka di Balai Kota DKI, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakarta, pada 24 Juli 2015 yang lalu. Rekaman videonya diunggah di Youtube oleh Pemprov DKI pada 25 Juli.

Dalam video itu Ahok menegaskan, ia memilih membela lebih banyak orang meski harus mengorbankan beberapa orang yang menghalangi tujuan baik. Ahok melanjutkan, dia bisa memperlakukan ´sedemikian rupa´ para penentang kemaslahatan khalayak banyak.

"Itu HAM saya. Supaya kamu tahu, saya punya pandangan. Itu saya. Saya nggak mau kompromi. Saya bunuh di depan anda dua ribu, depan TV, semua itu. Korbankan dua ribu di atas 10 juta," tutur Ahok dalam suasana hening ruangan berisi belasan peserta rapat itu.

Ahok juga berbicara, dalam konteks relokasi Kampung Pulo, ada penduduk yang memang memanfaatkan situasi banjir yang rutin itu dengan meraup untung. Keuntungan didapat dari bantuan yang datang seturut banjir.

Ahok mengatakan tak mau meladeni sikap ´manja´ dan ´nakal´ rakyat semacam itu. Untuk melancarkan kebijakannya, memang dibutuhkan keberanian.

"Jangan berpikir Gubernur nggak berani duel sama kamu. Berani saya. Kalau satu lawan satu, ayo," tantang Ahok retoris.

BERTENTANGAN DENGAN UU HAM - Pernyataan Ahok yang sangat keras terkait masalah Kampung Pulo ini, dikritik keras oleh para pegiat HAM. Pernyataan Ahok itu dinilai tak pantas didudukkan sebagai konsep HAM. Pernyataan Ahok ini pun bertentangan dengan undang-undang (UU) dan konsep HAM Internasional.

Komisioner Komnas HAM Manager Nasution mengatakan, konsep HAM sendiri menurut UU 39 tahun 1999 adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dari keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan.

"Terdengar mengerikan berbicara soal nyawa manusia, dalam konteks relokasi Kampung Pulo, ia juga menyatakan ada penduduk yang memanfaatkan situasi banjir rutin dengan meraup untung dari bantuan banjir," katanya kepada gresnews.com, Senin (24/8).

Manager mengatakan, sikap Ahok yang memilih membela lebih banyak orang meski harus mengorbankan beberapa orang yang menghalangi tujuan baik mengingatkan pada adagium "the greatest happiness for the greatest number". Dimana Gubernur ibukota Indonesia ini bisa memperlakukan sedemikian rupa para penentang kemaslahatan khalayak banyak dengan persepsinya sendiri.

Ahok yang tak mau meladeni sikap manja dan nakal rakyat itu pun tak segan melancarkan kebijakan dengan keberanian ekstra. "Namun, dalam konteks Kampung Pulo, pernyataan ini jelas terang benderang keliru," ujarnya.

Ia pun mengusulkan agar para pemimpin publik termasuk Ahok meluangkan waktu membaca kembali instrumen HAM. Ini dimaksudkan agar hati, pikiran, dan lakunya sesuai dengan perspektif HAM.

Sebab menurut Manager, tidak ada adagium satu orang dapat dibunuh untuk menyelamatkan 10 ribu atau bahkan 10 juta orang. Adagium seperti itu dapat dikategorikan cacat nalar kemanusiaan. "Itu hanya ada dalam kondisi perang, dan kita jelas tidak dalam masa perang," ujarnya.

Dalam masa normal, kata Manager, prinsip HAM yang adil dan beradab haruslah ditegakkan sebagaimana disebutkan dalam sila kedua Pancasila. Sebab sebenarnya para penentang relokasi pun punya hak untuk bersuara dan mempertahankan prinsipnya.

"Yang benar bukan HAM-nya ala Ahok yang harus diperjuangkan, yang tak mau kompromi dan siap bunuh dua ribu orang di depan TV atas nama 10 juta lainnya," katanya.

WARGA KAMPUNG PULO JUGA PUNYA HAK - Direktur Program Imparsial Al Araf juga menyebutkan para pemrotes relokasi Kampung Pulo berhak menyuarakan pendapatnya. Hal ini tertuang dalam Pasal 28 UUD 1945 yang dengan jelas menyebutkan, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.

Pun dalam Pasal 19 deklarasi universal hak asasi manusia di mana setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat. Hal itu juga dijabarkan dalam peraturan lain seperti Pasal 23, Pasal 25, dan Pasal 44 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Pasal 1 dan 2 Undang-undang No. 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum pun menyebutkan hal yang sama. Juga pada Pasal 19 Undang-undang No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang menyatakan setiap orang berhak untuk mempunyai pendapat tanpa diganggu dan berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat.

"Pernyataan Ahok itu tidak pantas dan mengandung unsur fasisme," ujarnya kepada gresnews.com, Senin (24/8).

Menurutnya, penggusuran Kampung Pulo saja sudah merupakan bentuk tindakan yang sewenang wenang. Apalagi ditambah pernyataan ber adagium "the greatest happiness for the greatest number". "Itu tentu sangat melukai dan menyakiti para korban penggusuran," kata Al´Araf.

Padahal seharusnya negara hadir melindungi dan menjamin hak-hak dasar rakyatnya dalam bernegara dan bukan membabi buta melakukan penggusuran. "Pernyataan Ahok mirip pola rezim otoritarian orde baru yang bisa mengorbankan segelintir orang demi kepentingannya," katanya.

Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani mengatakan, prinsip keadilan dalam HAM bukanlah mengorbankan sekelompok kecil masyarakat untuk kepentingan jumlah yang lebih besar. "Ucapan seperti Ahok itu menandakan dia tak mengerti HAM namun berbicara HAM," katanya kepada gresnews.com, Senin (24/8).

Ia malah membalikkan pernyataan Ahok tersebut, apabila sang Gubernur memang mau menyelamatkan kepentingan yang lebih besar maka kebijakan-kebijakannya seharusnya tak hanya diterapkan pada warga Kampung Pulo saja. Namun juga pada para developer yang telah mengubah daerah-daerah resapan dan hutan bakau menjadi hunian.

Kata Arsul, jika banjir menjadi alasan utama maka yang paling membuat banjir bukanlah rakyat miskin yang tinggal di bantaran sungai, melainkan juga daerah resapan air yang makin berkurang lantaran digunakan sebagai pembangunan perumahan mewah.

"Mereka juga harus dibereskan terutama terkait izin-izin pembangunan properti yang diberikan tapi belum jadi dilaksanakan atau dijual," pungkasnya.

KONTROVERSI GANTI RUGI - Terkait masalah ganti rugi kepada warga, dalam versi warga, pemerintah punya kewajiban memberikan ganti rugi sesuai Peraturan Gubernur DKI Jakarta Tahun 190 Tahun 2014. Di situ diatur, ganti rugi untuk penduduk tak ber-Sertifikat Hak Milik (SHM) sebesar 25 persen dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).

Dalam hitungan warga, berdasarkan bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) NJOP kawasan itu rata-rata adalah sebesar Rp2,3 juta. Dengan demikian, menurut warga, uang ganti rugi yang harus diberikan adalah sebesar Rp575 ribu per meter.

Asmawati, seorang warga RT 04 RW 03 Kampung Pulo, mengatakan, berdasarkan aturan itu, warga seperti dia yang memiliki tanah seluas 50 meter persegi seharusnya mendapatkan uang ganti rugi sebesar Rp28,75 juta.

"Uang segitu kan lumayan buat kita orang susah. Biar sama-sama enaklah warga sama Ahok," katanya.

Terlebih, menurut Ustad Kholili, salah seorang tokoh masyarakat Kampung Pulo, warga di sana bukanlah warga liar. Kholili pun menunjukkan sertifikat yang dia buat seharga Rp30 juta. Tetapi bukti itu sama sekali tak digubris.

"Padahal kami di situ bersurat, berdasarkan di atas sertifikat. Buat sertifikat ini saja Rp30 juta. Saya juga sudah utarakan bahwa dampak relokasi ini sudah diperhitungkan belum? Bahkan ada mantan RW nangis, teman saya bilang, saya tidak menangis, tetapi ketika rumah warga kami digusur, saya menangis. Ini merupakan betapa kuatnya ikatan batin," ungkapnya.

Jika menuruti Pergub tersebut, untuk membebaskan lahan Kampung Pulo seluas 85 hektare alias seluas 85.000 meter persegi, maka pihak Pemprov DKI Jakarta harus keluar duit sebesar Rp488,75 miliar. Itu dengan asumsi seluruh 3.809 keluarga di sana tidak memiliki Sertifikat Hak Milik.

Hanya saja, argumen warga ini dibantah Ahok. Dia mengakui dalam Pergub DKI Jakarta No. 190 Tahun 2014 diatur soal ganti rugi untuk penduduk tak ber-Sertifikat Hak Milik (SHM) sebesar 25 persen dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Namun kini itu tak berlaku lagi.

"Waktu dulu kita atur seperti itu, tapi justru nggak bisa. Hasil temuan kita, nggak bisa diganti uang karena tidak ada dasarnya," kata Ahok.

Di mata Ahok, para pemrotes itu cuma ingin duit. Padahal Pemerintah Provinsi sudah menyediakan Rumah Susun Sederhana Sewa dengan uang perawatan Rp10 ribu per hari saja. Namun tetap saja mereka menuntut uang ganti rugi.

"Ganti atau nggak ganti pun nggak jelas. Kalau ada (uang ganti dan kerohiman), saya ajak teman-teman menduduki Balai Kota, dapat 25 persen NJOP lho! Nah, NJOP daerah di sini bisa Rp 60 juta. Kalau 25 persen, kira-kira Rp 15 juta lho semeter. Kalau menduduki 100 meter juga lumayan, Rp1,5 miliar satu orang," sambung Ahok.

RELOKASI TAK ADA GANTI RUGI - Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Ferry Mursyidan Baldan mengatakan, dalam kasus Kampung Pulo yang terjadi adalah relokasi bukan penggusuran. Karena itu dia menilai memang tak perlu ada ganti rugi atas relokasi dari tanah negara.

"Itu namanya relokasi, jadi mereka tidak tinggal jauh dari tempat asalnya. Jadi tidak ganti rugi, mereka kan direlokasi," ujar Ferry Mursyidan Baldan di press room DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (21/8).

Ferry mengatakan, upaya relokasi sudah direncanakan lama dan warga menerima dipindahkan agar tak terus menerus jadi korban banjir. Hanya saja mungkin ada yang belum paham soal niat baik Pemprov itu.

"Nggak ada yang salah, cuma kan bilangnya ada orang belum teridentifikasi. Kalau begitu cari saja siapa yang belum (terdata). Kalau menurut Pemda DKI sudah semuanya warga di Kampung Pulo itu," tutur menteri berkacamata itu.

Ferry menduga penolakan atas relokasi yang memicu aksi anarkistis dengan pihak keamanan, bisa jadi justru dilakukan oleh warga yang tidak tinggal di situ. Misalnya orang-orang yang punya kontrakan.

"Kalau hanya sekadar mereka merasa tidak terdata itu bisa divalidasi, mudah. Cuma yang punya rumah kos-kosan tidak tinggal di sana, mereka yang merasa hilang sumber nafkahnya. Kasihan warga yang terkena banjirnya," ujarnya.

"Jadi kalau menurut saya pilihan relokasi itu pilihan tepat, kalau ada yang tidak kebagian (rusun -red) bisa divalidasi. Tapi jangan sampai orang tidak tinggal di sana juga memperebutkan, kan soal juga," imbuh politisi NasDem itu.

Lalu bagaimana dengan warga yang minta ganti rugi karena rumahnya di Kampung Pulo besar? "Kalau mau lihat ke sana, sebenarnya harus berdasarkan pada status haknya. Kalau benar di sana permanen, besar. Bisa diusut juga, tanah itu hak miliknya bukan?" jawab menteri yang mengaku rumahnya dulu pernah direlokasi juga dari Senayan ke Slipi. (dtc

BACA JUGA: