JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 yang disusun pemerintahan Jokowi-JK menunjukkan peningkatan anggaran dan dan target  terkait urusan pangan. Tetapi secara garis besar, terbatas pada peningkatan produktivitas semata. Hal ini dinilai tidak sejalan dengan cita-cita mewujudkan kedaulatan pangan, yang intinya memanusiakan para produsen pangan Indonesia.  

Koordinator Aliansi Desa Sejahtera Tejo Wahyu Jatmiko mengatakan, beberapa strategi justru mengulang kesalahan pemerintahan sebelumnya dan kembali meminggirkan produsen pangan skala kecil. Tejo menilai, mewujudkan kedaulatan pangan memang tidak semudah membalik telapak tangan.

Apalagi di tengah  situasi yang serba krisis saat kita kehilangan 500 ribu petani, 110 ribu hektar lahan, impor pangan meroket, sementara  jumlah penduduk terus pertahun. Sementara kemampuan ekonomi Indonesia juga tidak beranjak membaik secara signifikan.

"Sehingga langkah-langkah strategis Jokowi-JK menjadi penting sebagai dasar untuk membenahi kondisi darurat pangan menjadi daulat pangan seperti yang dijanjikannya," kata Tejo dalam siaran pers yang diterima Gresnews.com, Kamis (15/1).

Tejo mengingatkan, negara mempunyai peran penting karena memiliki otoritas serta kapasitas untuk mengkonsolidasikan sumberdaya ekonomi dan politik demi kepentingan pemenuhan hak atas pangan. Negara juga wajib untuk menghargai, melindungi dan memenuhi kebutuhan rakyatnya, terutama para produsen skala kecilnya dan konsumen.

Tejo mencermati dari dokumen RPJMN dan pernyataan Jokowi-JK serta menteri-menterinya memberikan petunjuk ke arah mana pemenuhan hak atas pangan mengarah. "Hal-hal yang selalu disampaikan berulang-ulang adalah masalah produksi dan produktifitas semata. Target swasembada pangan dalam 3 tahun namun bagaimana caranya mencapai itu sebenarnya yang lebih penting. Pertanyaan besarnya, diletakkan dimana petani Indonesia dalam kerangka ini," kata Tejo lagi.

Misalnya, langkah Susi, Menteri Kelautan dan Perikanan untuk membenahi nasib petani garam, belum mendapatkan dukungan yang cukup bahkan keterbukaan dari Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian. "Harusnya ini segera dibenahi, koordinasi antara kementerian terkait, karena impor garam yang merugikan rakyat kecil khususnya petambak garam kecil. Juga terlihat adanya tumpang tindih program dan anggaran antar kementerian masih terlihat, sementara anggaran untuk nelayan kecil sangat minim. Dimana aspek perlindungannya?" kata Abdul Halim, Koordinator Pokja Ikan ADS.

Sementara itu, Ratri Kusumohartono dari Pokja Sawit mengingatkan lagi pusat dari kedaulatan pangan adalah kesejahteraan produsen pangan skala kecil. "Pertarungannya bukan hanya berapa banyak luas lahan untuk pangan  yang akan dipertahankan atau dicetak, tetapi juga penguasaan ataupun kepemilikan. Juga sistem perdagangan yang dibangun, apakah petani harus tergantung lagi, atau ada langkah lain yang menjamin kebebasan petani untuk menghasilkan pangan secara berkelanjutan. Tidak kalah penting adalah upaya pemerintah menghentikan alih fungsi lahan yang masif akibat perluasan perkebunan dan pertambangan," ujarnya.

Sementara Said Abdullah dari Pokja Beras mengingatkan, situasi saat ini dengan ditolaknya gugatan masyarakat sipil terhadap UU Pangan, khususnya terkait dengan benih transgenik menunjukkan arah yang salah dalam meletakkan landasan Kedaulatan Pangan dan harus segera dikoreksi oleh Jokowi-JK. "Bagaimana mungkin menciptakan ketergantungan dapat menghasilkan kemandirian," kata Said.  

Keinginan untuk  membangun 49 bendungan, atau sekitar 10  per tahunnya, harus benar-benar memperhitungkan berbagai aspek, bukan hanya lingkungan tetapi juga sosial dan pendanaannya. "Proyek-proyek besar harus membawa kesejahteraan bagi produsen pangan skala kecilnya, bukan sebaliknya," tegasnya.

ADS menilai, sejak awal Jokowi-JK harus segera cerdas dan strategis dalam  menetapkan langkah-langkah menuju kedaulatan pangan, terutama dengan terbatasnya anggaran yang tersedia.  Koordinasi yang ketat harus diberlakukan, agar tiap-tiap kementrian memiliki tujuan yang sama. Pembentukan badan otoritas pangan menjadi penting dalam hal ini.

"Karena hak atas pangan adalah hak dasar bagi semua orang, sehingga meskipun ditengah situasi politik yang saling jegal dan anggaran yang ketat, JKW-JK wajib memberikan perlindungan, penghargaan dan pemenuhan kebutuhan pangan baik produsen pangan skala kecil maupun konsumen. Salah langkah dalam perencanaan dapat meruntuhkan visibmisi tentang kedaulatan pangan, dan bisa jadi Indonesia tidak akan pernah dapat keluar dari krisis pangan," kata Tejo.   

BACA JUGA: