JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pihak Sime Darby Plantation membantah telah melakukan pembiaran atas konflik yang terjadi antara anak perusahaan mereka PT Mitra Austral Sejahtera dengan masyarakat adat di Sanggau, Kalimantan Barat. "Mengacu kepada Lembar Fakta yang dikeluarkan oleh Transformasi untuk Keadilan (TUK) Indonesia pada tanggal 7 November 2016, terkait dengan PT Mitra Austral Sejahtera (PT MAS), Sime Darby Plantation berkomitmen untuk membantu masyarakat menyelesaikan permasalahan ini," kata External Communications Group Communications Sime Darby Berhad Shahriman Johari kepada gresnews.com, Jumat (11/11)

Dia menjelaskan, pihak perusahaan bersimpati dengan situasi masyarakat, dan telah setuju untuk membantu berdialog dengan pemerintah. "Namun, kami tidak dapat menyetujui tuntutan mereka saat ini karena hal itu bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan pemerintah," ujar Shahriman.

Shahriman kemudian menjelaskan kronologi penyelesaian kasus antara PT MAS dengan 9 komunitas masyarakat adat di Sanggau. Dari lembar fakta yang didapat dari pihak RSPO diketahui, konflik bermula pada tahun 1995 ketika PT MAS mengambil lahan di wilayah Sanggau untuk perekebunan sawit. Masalahnya, PT MAS kemudian dituduh telah mengambil lahan milik masyarakat adat setempat.

Masyarakat adat mengaku, mereka hanya menyewakan lahan kepada PT MAS dengan mendapat kompensasi berupa pembayaran yang disebut "derasa". Pembayaran itu dilakukan untuk jangka waktu terbatas. Sementara, PT MAS menganggap pelepasan lahan itu dilakukan secara sukarela. Masalah lainnya adalah kemitraan inti-plasma antara PT MAS dengan masyarakat lokal lewat Perda Kabupaten Sanggau Nomor 3 tahun 2004 tentang Pola Kemitraan Perkebunan Sawit, yang dinilai tidak adil.

Dalam aturan itu disebut pemerintah akan melepas lahan 70 persen untuk perusahaan dan 30 persen untuk plasma. Dengan aturan itu, masyarakat menyerahkan lahan seluas 7,5 hektare dan PT MAS hanya membayar sewa untuk 5,5 hektare lahan kepada komunitas. Kemudian, perusahaan juga memindahan pemukiman petani plasme ke desa lain yang memicu konflik antar masyarakat.

Masyarakat adat kemudian mengajukan 14 tuntutan kepada PT MAS. Kemudian PT MAS dan masyarakat sepakat membentuk tim kerja (TKPP) pada tahun 2012 yang terdiri dari perwakilan warga lokal dan pihak perusahaan untuk mendiskusikan ke-14 tuntutan itu. Namun pada tahun 2013, perwakilan warga desa Kerunang dan Entapang menarik diri dari TKPP.

"Mereka menuduh bahwa TKPP itu tidak terbentuk dengan benar, dan menyatakan ada pemahaman yang berbeda terhadap isu-isu serta menegaskan bahwa fakta-fakta dan solusi dari kasus mereka berbeda dari komunitas lain," demikian kata Shahriman .

Meski begitu, desa-desa lain yang mencakup 80% dari total populasi setempat, terus terlibat dengan PT MAS melalui TKPP. Pada akhir 2015, 12 tuntutan telah diselesaikan dengan masyarakat, kecuali Kerunang dan Entapang. "Hal ini sudah didokumentasikan dalam Laporan ke-7 kami ke RSPO," ujarnya.

Dari laporan RSPO diketahui, Warga Kerunang dan Entapang memilih berhubungan langsung dengan Sime Darby, meski begitu, PT MAS terus berkomunikasi dengan komunitas Kerunang dan Entapang. "Kami telah bertemu dengan perwakilan dari kedua komunitas itu beberapa kali," terang Shahriman.

Pada 27 Agustus 2014, dilakukan pertemuan antara perwakilan Sime Darby dengan warga Kerunang dan Entapang serta TuK, Walhi, Oxfam dan RSPO. Dalam pertemuan itu, masyarakat mempresentasikan klaim mereka dan sudut pandang mereka atas kasus ini. Dalam pertemuan itu disepakati Sime Darby akan mempelajari tuntutan mereka dan para pihak berjanji akan bertemu setiap 2 bulan untuk menyelesaikan persengketaan.

Kemudian TuK atas nama warga Kerunang dan Entapang mengajukan solusi kepada Sime Darby pada Maret 2015 untuk penyelesaian masalah lahan khususnya terkait Hak Guna Usaha (HGU). Pada 25 Juni 2015 TuK meminta RSPO mengadakan pertemuan para pemangku kepentingan dengan pihak Sime Darby dan masyarakat dengan agenda presentasi dan penandatanganan nota kesepahaman.

Pada 7 Agustus 2015, Sime Darby mengirimkan laporan kemajuan. sebanyak 12 dari 14 tuntutan dari komunitas telah dipenuhi. Dua lainnya masih dalam pembahasan yaitu restorasi hak tanah adat dan pengaturan ulang penempatan petani plasma agar sesuai dengan desa masing-masing.

Hingga kini, pertemuan untuk menyelesaikan masalah itu masih terus dilakukan. "Kami juga akan terus melaporkan keterlibatan kami secara transparan kepada RSPO," pungkas Shahriman.

KRITIK RSPO - Sebelumnya beberapa LSM seperti Walhi dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) melayangkan kritik mereka kepada forum RSPO. Mereka menilai, RSPO yang didirikan pada 2004 dan bertujuan untuk mendorong pertumbuhan dan penggunaan produk minyak sawit berkelanjutan lewat standar-standar global yang kredibel, serta melibatkan stakeholder seluas-luasnya, ternyata belum menjalankan standar tersebut.

Andi Muttaqien dari ELSAM mengatakan, hal itu terbukti dari kasus-kasus yang melibatkan anggota RSPO yang tak kunjung selesai. Padahal, untuk mewujudkan tujuan tersebut, sejak 2005, RSPO telah mengadopsi Prinsip dan Kriteria (P&C). "Namun, meski memasuki umur 14 tahun, RSPO belum memiliki kemajuan yang signifikan atas minyak sawit berkelanjutan yang menjadi jargon dari inisiatif ini," kata Andi Muttaqien dalam pernyataan tertulis yang diterima gresnews.com, Rabu (9/11).

Andi mengatakan, berdasarkan mandat pendirian dan standar operasional bagi anggota RSPO tersebut seharusnya kasus-kasus yang diadukan melalui mekanisme RSPO dan kasus yang melibatkan anggota RSPO dapat diselesaikan secara cepat dan efektif. Namun sampai saat ini, kasus-kasus yang masuk untuk diselesaikan melalui mekanisme pengaduan RSPO belum juga memenuhi rasa keadilan korban, apalagi memulihkan hak-hak korban yang terampas. "Hal ini tentu saja akan semakin menghilangkan kredibilitas RSPO," terang Andi.

Salah satu kasus yang disoroti adalah yang terjadi dengan PT MAS di Sanggau, Kalimantan Barat. Dalam kasus ini, kata Andi, Hak Guna Usaha (HGU) yang dimiliki perusahaan memasukkan tanah adat dan fasilitas umum lainnya, seperti instansi pemerintah dan tempat ibadat ke dalam peta HGU. Selain itu tanah kebun plasma yang merupakan milik para petani plasma masuk juga ke dalam peta HGU seluas 2.547 Ha.

Kesalahan ini sebenarnya telah masuk ranah hukum, tetapi tidak ada tindakan hukum oleh Pemerintah. "Selain masalah HGU, ditemukan juga bahwa dokumen AMDAL PT. MAS yang agak janggal karena penerbitan AMDAL yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan dan Perkebunan adalah diluar kebiasaan dan bertentangan dengan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang AMDAL," terang Andi.

Andi menilai, situasi tata kelola perkebunan sawit yang carut marut ini juga diakibatkan penegakan hukum yang lemah dan tidak berpihak kepada rakyat yang menjadi korban dari ekspansi perkebunan kelapa sawit. Hal ini juga diperburuk dengan tidak adanya sanksi tegas dari pemerintah kepada perusahaan yang mengabaikan tanggung jawab sosial dan tanggung jawab lingkungan dalam pengelolaan perkebunan.

"Mengacu pada fakta diatas maka menjadi penting bagi pemerintah untuk melakukan penegakan hukum secara menyeluruh sehingga moratorium perkebunan sawit dapat berjalan sesuai dengan tujuannya, sehingga agenda reforma agraria dapat dilakukan," tegasnya.

BACA JUGA: