PANGKEP, GRESNEWS.COM - "Kelompok Usaha Rumput Laut Kalaroang", demikian tulisan yang terpampang di sebuah rumah panggung berkelir dominan hijau muda. Seturut cerita si ketua kelompok, Syarifah, nama "Kalaroang" sendiri memiliki arti dan sifat kejuangan dari masyarakat setempat di Desa Tamarupa, Kecamatan Mandalle, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan.

Syarifah bercerita, nama itu berasal dari nama sebuah gunung batu yang ada di tengah lautan. Terkisah, di masa penjajahan dahulu, orang-orang yang berani melawan penjajah diasingkan ke pulau ini. "Setelah itu biasanya tak ada kabarnya lagi," kata Syarifah kepada Gresnews.com yang berkunjung ke sana, Minggu (8/3) lalu.

Karena ada nilai kejuangan dalam nama inilah, maka ada kepercayaan di orang Bugis jika sebuah kapal dinamai Kalaroang maka kapal itu akan bagus di laut dan kuat mengarungi ombak. Dengan nama kelompok Kalaroang, Syarifah berharap kelompok ini bisa bertahan mengantarkan anggotanya meraih penghidupan yang lebih baik.

Umumnya, anggota kelompok Kalaroang menggantungkan hidup mereka dari usaha budidaya rumput laut. Sayangnya, tantangan alam dan juga kerusakan lingkungan yang terjadi membuat penghidupan mereka mengalami kendala yang lumayan hebat.

Kondisi pantai yang berupa tanah berlumpur sedikit menyulitkan Syarifah dan kelompoknya serta umumnya petani rumput laut di Desa Tamarupa untuk membiakkan rumput laut. "Kami harus membiakkannya sekitar 50 meter-100 meter dari pantai ke arah sana yang airnya biru," kata Syarifah.

Situasi pantai di dekat dermaga Desa Tamarupa memang kurang begitu menggembirakan. Selain berlumpur saat air surut, barisan mangrove yang seharusnya menjadi tempat perlindungan pantai dari abrasi sekaligus tempat berpijahnya ikan, udang, kepiting dan hewan laut lainnya yang bisa menjadi mata pencaharian penduduk, juga tampak sangat tipis.

Sisa kerusakan pesisir akibat demam udang windu yang melanda sejak 20 tahun lalu masih terasa akibatnya. Kerusakan lingkungan ini jelas berdampak pada masyarakat desa yang umumnya memang mengandalkan penghidupan dari hasil laut seperti mencari ikan, kepiting, betani rumput laut selain hasil tambak dan sawah.

Beruntung di tahun 2013, Oxfam hadir di desa tersebut melalui program Restoring Coastal Livelihood (RCL). Menurut Project Officer RCL Fatmasari Hutagalung, terbentuknya kelompok Kalaroang adalah hasil dari sosialisasi proyek RCL untuk restorasi penghidupan pesisir.


Kegiatan sosialisasi dilakukan bersamaan kepada pemerintah desa setempat dan perwakilan anggota masyarakat yang rentan (vulnerable). "Pada saat tersebut kita melihat lahan tambak dan sawah hanya dimiliki oleh orang-orang kaya sementara masyarakat miskinnya  menggantungkan hidup dari di bidang rumput laut, tangkap kepiting dan pembuatan jaring dalam skala yang sangat kecil dan sering juga tersendat-sendat," kata Fatma kepada Gresnews.com.

Meski begitu dari hasil need assesment yang dilakukan RCL diketahui bahwa masyarakat yang rentan tadi bisa diberdayakan lewat pengembangan kapasitas pada mata pencaharian yang selama ini mereka geluti yaitu bertani rumput laut, kepiting dan memproduksi jaring. Hanya saja, kata Fatma, masyarakat selama ini memang terkendala masalah modal terutama alat dan bahan kerja yang sangat minim.

"Terutama di kegiatan rumput laut yang mana mereka selalu putus bibit untuk memulai lagi penanaman pada musim tanam berikutnya, ini dikarenakan mereka biasanya akan menghabiskan semua penghasilan dari panen sebelumnya itu sehingga tidak ada lagi uang untuk pembelian bibit berikutnya," kata Fatma.

Kendala yang sama juga terjadi pada usaha produksi jaring kepiting dan udang. Penggalian kebutuhan kemudian ditindaklanjuti dengan terbentuknya kelompok budidaya rumput laut sebagai hasil dari kesadaran mereka bahwa jika ingin berhasil dan berkelanjutan kegiatan dan hasilnya maka kerjasama sangat diperlukan. "Merekapun menghimpun diri dengan nama kelompok Kalaroang," ujar Fatma.

Syarifah kemudian ditunjuk menjadi ketuanya sekaligus mengetuai pula kelompok lainnya yaitu Siangkalinga Adae. Syarifah terpilih lantaran dia adalah seorang perempuan dengan pendidikan yang tinggi yaitu sarjana pendidikan Islam. Selain itu sebagai guru di Madrasah Aliyah, Syarifah sudah terbiasa tampil dan berbicara di depan orang banyak. "Tetapi sudah 13 tahun menjadi guru status saya masih saja honorer," katanya sembari tertawa.

Maka, sejak saat itu, kelompok Kalaroang pun mulai melayarkan kapal mereka dengan belajar melakukan budidaya rumput laut. "Pilihan dari rumput laut karena mempunyai hasil paling besar jika dilakukan saat itu (sekitar bulan Maret-Oktober 2013-red), mengejar waktu terbaik berbudidaya rumput laut di sana," kata Fatma.

Ketika itu, menurut Syarifah, untuk pertamakalinya dia dan anggotanya mendapatkan bantuan peralatan dan bibit untuk budidaya rumput laut. "Dulu sering ada bantuan dari pemerintah tetapi hanya sampai pada orang-orang tertentu dan tidak pernah sampai pada yang membutuhkan," katanya.

Bantuan bibit yang diberikan melalui program RCL mencapai mencapai 20 ton untuk 10 anggota sehingga masing-masing anggota mendapat bantuan sebesar 200 kilogram. Bibit ini kemudian mewujud dalam 32 bentangan tali untuk masing-masing anggota.

Seiring waktu berjalan, ada beberapa kerabat dari anggota kelompok yang tertarik untuk budidaya rumput laut, namun memiliki kendala karena ada yang tidak memiliki bibit dan alat tali untuk bentangan. Melihat kondisi ini, Syarifah dan anggota kelompok lainnya berinisiatif untuk memberikan bantuan semampu masing-masing anggota.


Para anggota Kalaroang pun akhirnya tergerak membantu dengan memberikan perguliran bibit semampunya. Ada yang memberi 7 bentang ada juga yang sampai 20 bentang.

Setelah pada tahun 2013-2014 kegiatan rumput laut sangat berhasil dan kelompok sudah mampu mengelola hasil penjualan untuk membiayai kehidupan sehari-hari mereka hingga mampu menyekolahkan lagi anak mereka yang putus sekolah. Tak hanya itu, ada juga kelompok yang mampu memberikan bantuan dalam bentuk tabungan hingga mampu menggulirkan bantuan yang diterima oleh kelompok Kalaroang tersebut keanggota masyarakat lain yang rentan yang ada disekitar mereka.

Atas dasar kelompok sudah berjalan baik dengan kegiatan rumput laut maka RCL mempertimbangkan untuk mendukung juga kegiatan pembuatan jaring untuk memberi peluang penghasilan yang signifikan kepada pada kaum tua dan sekaligus juga janda yang ada di dusun Kekean tersebut. Maka setelah melalui proses pemahaman berkelompok maka mereka akhirnya menghimpun diri sebagai kelompok pembuat jaring dengan nama Siangkaliga Adae.

Modal untuk memproduksi jaring ini, kata Syarifah, mencapai Rp350 ribu termasuk biaya pekerja untuk memproduksi 15 set jaring. Satu set jaring dijual seharga Rp50.000. "Saat ini kita sudah bisa menjualnya ke Papua," kata Syarifah.

Di desa tersebut, menurut dia, ada pengepul yang akan mengumpulkan jaring hasil kerajinan kelompok Siangkaliga Adae. "Saat ini kita bisa menjual hingga 800-900 ikat jaring ke Papua," kata Syarifah.

Melihat keberhasilan program ini, RCL kemudian  memberi dukungan untuk memaksimalkan kemampuan kelompok untuk menggali potensi ekonomi lainnya yaitu tangkap kepiting. Sebelumnya dengan menggunakan jaring hasil yang didapatkan hanya sedikit. Maka kemudian didukung dengan inkind (material) berupa Rakkang, perangkap kepiting berbentuk bundar atau kotak, hasilnya diperkirakan bisa mencapai 3 kali lipat lebih banyak.

"Sehingga sekarang  di dusun Kekean tersebut telah berjalan tiga kegiatan mata pencaharian yaitu budidaya rumput laut, tangkap kepiting dan pembuatan jaring," kata Fatma.

Hasil rumput laut yang tadinya hanya mencapai satu juta rupiah persatukali musim tanam (3 bulan), kini meningkat mencapai Rp3 juta- Rp9 juta persatu musim tanam. Pembuatan jaring meningkatkan penghasilan dari Rp350 ribu perbulan menjadi rata-rata Rp1,5 juta perbulan.

"Sedangkan untuk tangkap kepiting belum bisa didapat penghasilan perbulan karena baru mulai 2 minggu tetapi estimasi awal saat need assessment yaitu rata-rata Rp2 juta perbulan," ujar Fatma.

BACA JUGA: