JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah lewat Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015, telah melarang penggunaan alat tangkap yang merusak seperti pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seine net). Terkait pelarangan itu, para nelayan sendiri sudah menyadari pentingnya memperhatikan daya dukung dan kelestarian sumber daya perikanan untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia.

Hanya saja, nelayan juga meminta pemerintah memberikan solusi atas masalah ini. Sutrisno, Ketua Umum Federasi Serikat Nelayan Nusantara mengatakan, pelarangan trawl merupakan perwujudan amanah Undang-Undang Perikanan yang dilaksanakan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan.

Dia berkisah, konflik berdarah di Sumatera Utara disebabkan oleh pemakaian trawl. "Pasca disahkannya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015, kami melakukan sosialisasi kepada seluruh anggota serikat nelayan yang berada di bawah FSNN untuk mengawal upaya penegakan hukumnya," kata Sutrisno lewat siaran pers yang diterima Gresnews.com, Kamis (26/2).

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan Pasal 9 ayat (1) menyebutkan: "Setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia".

Di dalam undang-undang ini, alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan ermasuk di antaranya jaring trawl atau pukat harimau, dan/atau kompresor memang diharamkan. Pusat Data dan Informasi Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) pada Februari 2015 mencatat, sejak 5 tahun terakhir atas kepemilikan/penguasaan atau penggunaan alat tangkap merusak trawl, selalu diwarnai konflik di level horisontal dan penegakan hukum yang belum transparan.

Rustan, Ketua Persatuan Nelayan Kecil (PNK) Tarakan menyampaikan, di tahun 2014, sedikitnya 20 kapal trawl asal Malaysia yang mempekerjakan nelayan Indonesia ditangkap oleh anggota PNK dan aparat penegak hukum. "Sayangnya tidak pernah ada laporan akhir atas sanksi yang diberikan," ujarnya.

Sanksi atas tindak pidana perikanan terkait penggunaan alat tangkap trawl ini diatur di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan Pasal 100B. Pasal itu berbunyi: "Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 yang dilakukan oleh nelayan kecil dan/atau pembudidaya ikan kecil dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah)".
 
Sementara untuk perorangan diatur dalam Pasal 85 sebagai berikut: "Setiap orang yang dengan sengaja memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkap ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000 (dua miliar rupiah)".

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA menegaskan, penggunaan alat tangkap merusak trawl berakibat pada hilangnya jiwa nelayan. Selain itu, juga berakibat pada ancaman kriminalisasi pasca dikeluarkannya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015.

"Dalam situasi inilah, Menteri Kelautan dan Perikanan harus mengambil langkah-langkah progresif tanpa mencederai amanah Undang-Undang Perikanan," ujarnya.

KIARA merekomendasikan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan untuk melakukan beberapa hal. Pertama, memastikan masa transisi selama 6-9 bulan (proses pengalihan alat tangkap) tidak diwarnai oleh kriminalisasi terhadap masyarakat nelayan.

Hal ini sudah terjadi di Tarakan, sebanyak 9 nelayan ditangkap aparat setempat dikarenakan masih menggunakan trawl. Langkah yang bisa diambil adalah berkoordinasi dengan Satuan Kerja PSDKP KKP, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, dan TNI AL.

Kedua, penggunaan APBN-P 2015 untuk memfasilitasi pengalihan alat tangkap bagi nelayan kecil. Langkah yang bisa dipilih adalah berkoordinasi dengan kepala daerah setingkat kota/kabupaten atau provinsi untuk menggunakan Dana Alokasi Khusus (DAK) Kelautan dan Perikanan. Pilihan ini dapat dilakukan dengan terlebih dahulu berkoordinasi dengan Presiden cq Menteri Keuangan Republik Indonesia.

Ketiga, berkoordinasi dengan perbankan nasional agar menyiapkan skema kredit kelautan dan perikanan yang bisa diakses oleh pelaku perikanan untuk penggantian alat tangkap.

Dengan ketiga langkah di atas, kelestarian sumber daya perikanan terjaga dan kesejahteraan nelayan tidak terancam oleh hadirnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

Hanya saja terkait pembiayaan negara untuk mengganti alat tangkap cantrang atau pukat ini, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan, pemerintah tidak memberikan bantuan dan solusi kepada nelayan soal penggantian alat tangkap ramah lingkungan. Susi mengklaim, mahalnya harga satu unit alat cantrang membuat pemerintah perlu mengkaji ulang.

Susi beralasan, masih banyak nelayan kecil yang perlu diperhatikan. "Satu unit alat tangkap bisa mencapai satu miliar. Silahkan mereka cari alat tangkap yang lain tapi kita tidak bisa bantu. Itu moral hazard kalau saya lakukan itu," ujar Susi di Gedung KKP, Rabu (25/2).

Susi menegaskan, pasca pemberlakuan kebijakan pelarangan cantrang, pemerintah tidak pernah menjanjikan hibah dalam bentuk apapun terkait solusi peralihan alat tangkap yang bersifat ramah lingkungan. Susi menekankan, alasan pemerintah tidak memberikan bantuan karena masih banyak nelayan kecil lainnya yang belum sejahtera.

"Sebaiknya dana satu miliar per unit alat cantrang tersebut dialirkan ke nelayan kecil yang lebih tak menentu nasibnya," kata Susi.

Susi menekankan, para pengguna cantrang sebagian besar masih mampu mengganti alat tangkapnya sendiri. Susi mengkategorikan para pengguna cantrang masuk kategori skala menengah seperti industri perikanan dan pelaku perikanan.

BACA JUGA: