JAKARTA, GRESNEWS.COM – Putusan Mahkamah Konstitusi dan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang membatalkan perjanjian privatisasi air menjadi kabar gembira bagi kaum perempuan. Sebab perempuan menjadi orang pertama yang terbebani ketika terjadi kelangkaan air bersih.

Salah satu penggugat kontrak antara Perusahaan Air Minum Daerah (PDAM) dengan PAM lyonnaise Jaya dan Aetra Nur Hidayah mengatakan perempuan Indonesia masih dekat dengan peran domestiknya. Ketika bangun tidur perempuan, memasak, hingga membersihkan rumah, perempuan yang mengelola air.

"Jadi perempuan orang pertama yang merasakan dampak ketika terjadi krisis air," ujar Nur dalam konferensi pers di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Jakarta, Rabu (25/3).

Ia mencontohkan di tempat tinggalnya di Cilincing dan Rawa Badak Jakarta Utara, air bersih harus dibeli seharga Rp 3 ribu per dirijen. Kalau air benar-benar langka, maka harganya  bisa naik hingga Rp 5 ribu. Biaya air bersih tersebut juga akan menambah beban ekonomi perempuan untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Itupun baru air untuk mandi dan cuci, sementara air untuk minum harus ada anggaran lain tersendiri.

Nur membandingkannya dengan mandat konstitusi untuk mencukupi kebutuhan air untuk masyarakat.  Menurutnya, kuantitas maupun kualitas air sangat rendah. Di Cilincing terdapat sumber pipa air bersih, untuk mengakses pipa tersebut warga diharuskan membayar pipa menuju rumahnya. Biaya pemasangan pipa per 6 meter dihargai Rp 1,5 juta oleh perusahaan air swasta.

Lalu aktivis dari Solidaritas Perempuan Aliza menuturkan ketika sumber daya air dikuasai perusahaan swasta maka akses masyarakat terhadap air menjadi tertutup. Sebab debit air akan berkurang dan tercemar. Peran gender terkait rumah tangga seperti mencuci dan memasak dilakukan oleh perempuan. Lalu fungsi biologis perempuan mau tidak mau membuat perempuan ‘dekat’ dengan pengelolaan air.

"Misalnya fungsi reproduksi harus terjaga dengan air yang bersih. Kalau air tercemar fungsinya terancam," ujar Aliza pada kesempatan terpisah pada Gresnews.com di LBH Jakarta.

Ia mencontohkan ketika air terbatas maka yang akan dipenuhi adalah kebutuhan untuk anak dan keluarganya baru perempuan yang bersangkutan. Lalu warga miskin kota yang terbatas dengan akses air bersih harus membeli air. Sehingga perempuan khususnya memiliki beban lebih untuk menghasilkan pemasukan tambahan dengan dagang atau berhutang.

Selanjutnya, ia menghimbau pengawalan publik paska putusan Pengadilan Jakarta Pusat yang mengabulkan permohonan penggugat untuk membatalkan kontrak privatisasi air. Sebab putusan tersebut dianggap telah mengembalikan mandat konstitusi terhadap penguasaan negara atas air. Itu berarti putusan ini juga menjadi kabar baik bagi perempuan khususnya di Jakarta yang kesulitan mengakses air bersih.

Untuk diketahui, Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan permohonan pemohon untuk membatalkan Undang-Undang Sumber Daya Air yang dianggap memihak pada pengusaha swasta. Lalu Pengadilan negeri Jakarta Pusat juga telah membatalkan kontrak kerjasama antara pemerintah DKI Jakarta dengan swasta yaitu Palyja dan Aetra terkait pengelolaan air.

Data dari Water Aid mengungkapkan sebanyak 800 ribu perempuan meninggal tiap tahun karena tidak memiliki akses toilet bersih. Meskipun sepanjang 1990 hingga 2012 akses air bersih untuk perempuan meningkat dari 1 miliar ke 2 miliar, tapi masih terdapat 750 juta yang tidak mendapatkan akses tersebut.

Akibat kelangkaan air bersih khususnya untuk perempuan di Negara berkembang, perempuan melahirkan di rumah tanpa dibersihkan dengan air bersih. Sehingga beresiko infeksi pada diri dan anaknya. Bahkan air kotor bisa menjadi penyebab kematian kandungan.

BACA JUGA: