JAKARTA, GRESNEWS.COM - Desakan untuk merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Jaminan Hari Tua (JHT) menyusul terdapatnya klausul yang memberatkan peserta program Badan  Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), kini merembet kepada  tiga Peraturan Pemerintah lainnya.  Seperti aturan Jaminan Kecelakaan  Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian  (PP),  dan Jaminan Pensiun (JP). Dalam aturan itu  juga dianggap terdapat sejumlah mismanajemen, sehingga harus direvisi.  
 
Wakil Ketua Komisi IX DPR Ermalena menegaskan, pencairan JHT di atas 10 tahun merupakan salah satu ‎contoh mismanajemen pemerintah. Aturan soal JHT ini tertuang dalam Pasal 37 ayat 3 Undang-undang No.40 Tahun 2004 tentang SJSN, sementara teknisnya diatur lebih detil dalam PP.

Diakui Ermalena dalam UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) tidak ada pengaturan tentang mekanisme atau skema bagi mereka yang berhenti bekerja, seperti pemutusan hubungan kerja (PHK) karena hukum/perjanjian kerja habis, karena berselisih atau mengundurkan diri. "Tapi skema ini akan kita masukan dalam perubahan PP ini," kata Ermalena, seperti dikutip dpr.go.id.
 
Menurutnya perlu ada ruang bagi buruh dalam kondisi tertentu bisa mengambil uangnya. Misalnya saat kontrak kerjanya habis atau terkena PHK. "Sehingga mereka bisa menggantungkan hidup dari  JHT," katanya.  

Ia membeberkan bahwa aset BPJS Ketenagakerjaan itu senilai Rp 200 triliun. Menurutnya aset tersebut  bukanlah uang pemerintah. Melainkan  uang pekerja yang diambil dari potongan upah setiap bulannya. Sehingga menjadi hak pekerja untuk menuntutnya.  

Untuk itu Ermalena menyarankan Menteri Tenaga Kerja segera merevisi PP JHT tersebut dengan memasukan aturan lama,  dimana JHT bisa diambil dengan masa kepesertaan 5 tahun.
 
Ermalena juga meminta ada revisi terhadap PP tentang Jaminan Pensiun yang bisa diberikan setiap bulan, seperti halnya pegawai negeri sipil (PNS). Mekanisme seperti ini menurutnya telah diberlakukan di negara lain. Apalagi pemerintah telah menetapkan iuran pensiun sebesar 3 persen, yakni 1 persen ditanggung pekerja dan 2 persen ditanggung pemberi kerja.  

Ia mengungkapkan  upaya itu harus segera diperjuangkan para pekerja. Sebab telah dua kali rapat kerja yang digelar Komisi IX untuk membahas rencana revisi PP tersebut tak dihadiri Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri. "Padahal ini penting," katanya. Namun Komisi IX akan mengagendakan kembali raker terkait JHT ini setelah reses.  

REVISI BERTELE-TELE - Sementara itu Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia). Mirah Sumirat, meminta pemerintah menunda pemberlakuan seluruh isi Peraturan Pemerintah No.46 Tahun 2015 tentang program Jaminan Hari Tua. Penghentian itu diberlakukan hingga ada revisi Peraturan Pemerintah yang lebih melindungi hak-hak pekerja.

"Bagaimana mungkin Peraturan Pemerintah diimplementasikan hanya sebagian, sedangkan yang sebagian lagi tidak diimplementasikan. Tanpa ada produk hukum baru yang menetapkan tentang pemberlakuan sebagian aturan tersebut," ujarnya melalui rilisnya.  

Mirah juga mempertanyakan rencana pemerintah yang akan melakukan revisi PP 46/2015,  namun hingga saat ini tidak kunjung ada kepastian. Menteri Tenaga Kerja dan Dirut BPJS hanya menyampaikan revisi yang hanya akan mengatur pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) untuk para pekerja yang di-PHK sebelum 1 Juli 2015 dengan masa tunggu 1 bulan setelah di PHK. Sedangkan untuk yang di PHK setelah 1 Juli 2015, pencairan JHT menunggu adanya revisi PP 46/2015. Revisi besaran JHT yang dapat dicairkan pun hanya dari 10% menjadi 30%.

Bertele-telenya revisi PP 46/2015 menurut dia, menyebabkan nasib pekerja yang di PHK setelah 1 Juli 2015 menjadi terkatung-katung. Padahal pekerja dimaksud ingin mencairkan uangnya sendiri. Bersikerasnya pemerintah membatasi besaran JHT yang dapat dicairkan hanya 30%, semakin memperlihatkan karakter pemerintah yang kaku dan tidak mau menerima aspirasi dari serikat pekerja.

Mirah mempertanyakan kengototan pemerintah hanya mau membayarkan klaim 30% dana JHT. Sedang UU Nomor 40 tahun 2004 tentang SJSN, tidak mengamanatkan pembatasan 30% itu.   

Mirah mengatakan seharusnya pemerintah mendengar masukan dari serikat pekerja. Sebab banyak pekerja kontrak dan outsourcing yang di PHK sebelum hari Raya Idul Fitri tahun ini, dimana para pekerja tersebut tidak mendapat pesangon dan penghasilan lagi, sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup jelang Lebaran. "Kondisi sosial masyarakat ini yang seharusnya menjadi perhatian Pemerintah," ungkapnya.

Ia  menuding Menteri Ketenagakerjaan dan Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan, berupaya membangun opini yang tidak seluruhnya benar dengan mengatakan bahwa PP JHT 46/2015 sudah sejalan dengan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Faktanya tidak ada satupun pasal dalam UU dimaksud yang menyatakan pembatasan persentase pencairan JHT, apakah 10%, 20%, 30% atau 75% sekalipun. "Penentuan besaran 10% yang kemudian akan direvisi menjadi 30%, sesungguhnya tidak boleh menjadi harga mati dari Pemerintah," tambahnya.

Mirah juga membantah pernyataan Menteri Ketenagakerjaan dan jajarannya bahwa rancangan PP 46/2015 sudah dibahas di forum tripartit nasional. Dokumen risalah rapat LKS Tripartit Nasional yang ditunjukkan Kementerian Ketenagakerjaan menurutnya tidak membuktikan bahwa telah ada pembahasan terhadap rancangan PP tersebut.

"Risalah rapat dimaksud hanya menyatakan bahwa seluruh unsur tripatit Nasional mendukung segera diterbitkannya PP tentang JHT," tandasnya. Ia menegaskan bahwa selama ini tidak pernah ada pembahasan bersama terhadap rancangan PP 46/2015 tersebut.

REVISI SEDANG DIHARMONISASI - Terkait perjalanan revisi PP JHT ini, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri mengatakan revisi tersebut masih berada di Kementerian Hukum dan HAM. "Lagi harmonisasi di Kemenkum HAM, isinya poin kemarin sesuai arahan presiden untuk memberi pengecualian para pekerja yang kena PHK atau berhenti kerja bisa mencairkan JHT segera mungkin," ujarnya kepada wartawan Jumat (10/7).

Ia menegaskan dalam revisi tersebut akan dimasukkan klausul, bahwa buruh tak perlu berusia 56 tahun untuk mengambil dananya. Bagi pekerja yang di PHK juga setelah sebulan mereka berhenti, dapat JHT yang jumlahnya 100 persen penuh.

Terkait revisi tersebut, Hanif mengaku sudah berkoordinasi dengan para serikat pekerja. Hal ini diperlukan agar tidak terjadi miskomunikasi di kemudian hari.
"Kita sudah dialogkan dan kumpulkan dengan para serikat pekerja," tutur Hanif.

Perlu diketahui, persoalan aturan ini muncul ketika PP No. 46 Tahun 2015 Tentang Jaminan Hari Tua (JHT) yang baru ditandatangani oleh Presiden Jokowi pada tanggal 29 Juni 2015 dan diberlakukan pada tanggal 1 Juli 2015. Dalam ketentuan itu terdapat perubahan soal waktu pencairan.

KASUS TENAGA KERJA DI BPJS - Selain soal revisi Peraturan Pemerintah ASPEK juga menyinggung tentang kasus skorsing terhadap 115 pekerja yang terjadi di tubuh BPJS. ASPEK mendesak Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan untuk membayarkan gaji dan THR mereka. "Direksi BPJS Ketenagakerjaan jangan bersikap arogan dengan sengaja tidak tunduk pada UU Ketenagakerjaan yang berlaku," tulisnya.

Mirah mengungkapkan, Direksi BPJS Ketenagakerjaan telah secara sengaja dan secara struktural, tidak membayar upah 115 orang pekerjanya, terhitung bulan Mei 2015. Termasuk tidak membayarkan hak normatif pekerja berupa manfaat Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM) dan Jaminan Kesehatan.

Mirah menuding tindakan tersebut dilakukan Direksi BPJS Ketenagakerjaan untuk mengintimidasi pekerja anggota Serikat Pekerja Jaminan Sosial Indonesia (SPJSI-ASPEK Indonesia), agar bersedia menerima pesangon yang ditawarkan dan di-putus hubungan kerja-nya tanpa  melalui putusan pengadilan.

Ini tindakan tidak terpuji dan jelas-jelas melanggar UU Ketenagakerjaan! Sangat memalukan karena BPJS Ketenagakerjaan yang mengelola dana amanat pekerja justru mengabaikan hak-hak pekerjanya sendiri.

Menyikapi penghentian upah pekerja ini, Sekretaris Jenderal ASPEK Indonesia Sabda Pranawa Djati, yang juga Kuasa Hukum SPJSI-ASPEK Indonesia, akan mempertimbangkan melakukan somasi kepada Direksi BPJS Ketenagakerjaan. Ia menilai  ada tindak pidana kejahatan ketenagakerjaan yang dilakukan Direksi BPJS Ketenagakerjaan.

Ia juga mempertimbangkan untuk melaporkan dugaan penggelapan dana upah pekerja itu kepada pihak kepolisian. "Kami menunggu perkembangan lebih lanjut. Jika Direksi BPJS Ketenagakerjaan tidak segera membayarkan upah pekerja sebagaimana yang menjadi hak pekerja, maka ASPEK Indonesia akan mem-pidanakannya," tulisnya. (dtc)

BACA JUGA: