JAKARTA, GRESNEWS.COM - Paska terjadinya kecelakaan jatuhnya crane dan tragedi di terowongan Mina, Mekah, Arab Saudi menunjukkan lemahnya sistem keamanan saat penyelenggaraan pelaksanaan ibadah haji. Hal itu menjadi pengalaman buruk sekaligus pembelajaran penting bagi penataan manajemen haji kedepan agar berjalan lancar dan aman.

Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Lalu Muhammad Iqbal mengatakan tragedi Mina yang merenggut nyawa para haji asal Indonesia membuka peluang adanya evaluasi dan perbaikan sistem penyelenggaraan haji kedepan. "Saya kira banyak pelajaran dari pengelolaan haji tahun ini. Kedepan, tidak ada pilihan selain memperkuat koordinasi antara Kemlu yang memang bertugas memberikan perlindungan WNI di luar negeri dan Kementerian Agama (Kemenag) yang bertanggung jawab terhadap haji," kata Iqbal ditemui gresnews.com, Kamis (8/10).

Pembenahan tata kelola haji ini bukan hanya melibatkan pihak pemerintah dalam negeri saja tapi juga dengan pemerintah Arab Saudi juga. Iqbal menilai hal terpenting lainnya adalah membangun komunikasi dan kordinasi dengan pemerintahan Arab Saudi.

Disamping itu, pendidikan dan pembekalan informasi yang memadai kepada para calon haji juga menjadi syarat penting sebelum dilaksanakan pemberangkatan haji. Sebab, kata Iqbal, jatuhnya banyak korban haji ketika tragedi Mina disebabkan minimnya pemahaman jalur dan waktu pelaksanaan ibadah Jumroh.

"Itu sebenarnya bukan jalur yang biasa ditempuh dan bukan waktu yang direkomendasi untuk ibadah Jumroh," ucapnya.

UPDATE DATA KORBAN HAJI DI MINA - Dalam rangka mengindentifikasi jumlah korban haji Indonesia di Mina, pemerintah telah menerjunkan tim Disaster Victim Identification (DVI) ke Arab Saudi. Iqbal mengatakan, pemerintah setempat telah membuka akses bagi negara lain terlibat dalam beberapa kegiatan identifikasi dan keperluan terkait pendataan korban haji.

Sesuai data dan keterangan yang dihimpun Kemlu, Ia menyebut total korban haji asal Indonesia yang meninggal kini mencapai 120 korban. Jumlah itu, terdiri dari 115 haji yang diberangkatkan dari Indonesia dan 5 lainnya adalah haji berstatus WNI yang tinggal di Arab Saudi.

Ia mengakui, pasca tragedi Mina, ada berbagai versi mengenai data dan keterangan jumlah korban. Penyebabnya, ada perbedaan pandangan terkait kalkulasi jumlah korban dimana sebagian menggabungkan data korban meninggal dan korban yang berada di rumah sakit. Untuk itu, Iqbal menyampaikan, tim DVI akan terus bergerak dan mengidentifikasi keberadaan para haji yang menjadi korban.

"Pastinya, perlu diidentifikasi tidak hanya visual namun melalui forensik yaitu sidik jari dan tes DNA," jelasnya.

JUMLAH CALON HAJI MENINGKAT - Antusiasme warga Indonesia melaksanakan ibadah haji setiap tahun terus meningkat. Berdasarkan data Kemlu melalui Direktorat Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia, pengiriman haji tahun 2015 sudah mencapai sekitar 168 ribu.

Sementara tahun 2016, kuota pengiriman haji akan ditambah 20 ribu sesuai hasil kesepakatan kunjungan presiden beberapa waktu lalu dengan pemerintah Arab Saudi. "Jumlahnya makin naik, berarti tahun depan akan ada sekitar 190 ribu WNI dari Indonesia yang berangkat melaksanakan haji," tutur Iqbal.

Data tersebut dihitung berdasarkan beberapa kategori haji. Ia menggarisbawahi, jumlah yang disebutkan itu adalah murni haji yang diberangkatkan dari Indonesia atau diluar WNI yang tinggal di Arab Saudi.

Sebab, Iqbal menjelaskan, ada empat klasifikasi pengiriman haji yaitu pertama, WNI yang berangkat dari Indonesia berdasarkan kuota, kedua, non kuota sesuai diskresi dari kedutaan Arab di Jakarta yang memberikan undangan bagi sejumlah orang untuk melaksanakan ibadah haji, ketiga, WNI yang tinggal di Arab Saudi dan terakhir WNI yang tinggal di luar negeri (di luar Arab) termasuk diplomat yang ikut rombongan haji.

"168 ditambah 20 ribu tahun depan itu baru hanya anggota yang membayar Ongkos Naik Haji (ONH) dibawah pengelolaan Kementerian Agama," jelasnya.

PEMBENAHAN MANAJEMEN HAJI - Naiknya jumlah pengiriman haji ke Arab Saudi mendorong pemerintah memberikan kenyamanan dan kemanan bagi para calon haji. Kemlu Pusat di Jakarta sempat mengabarkan sudah ada pembahasan terkait kordinasi dan kerjasama antara Konsulat Jenderal RI di Jedah dengan panitia haji dan Pemerintah Arab Saudi. Tujuannya demi meningkatkan pengelolaan haji yang lebih baik antara pemerintah Indonesia-Arab kedepan.

Salah satu upaya yang ditempuh adalah penyusunan road map pembenahan agar kejadian kali ini tidak terulang. Tidak hanya itu, pemerintah Arab Saudi juga berkomitmen menegakan hukum dan sanksi kepada pihak yang terlibat dalam permainan kepengurusan haji.

Sementara, kontijensi plan (antisipasi) juga menjadi bagian dari setiap tahap pengiriman haji. Iqbal menilai kontijensi plan tersebut menjadi pertimbangan dan keharusan mengingat keterlibatan Indonesia dalam pengiriman haji sudah puluhan tahun. Contoh kasus sebelumnya, kata dia, calon haji Indonesia pernah mengalami kecelakaan pesawat, peristiwa Mina yang kembali terulang, dan kecelakaan bus jemaah haji.

"Harus ada antisipasi untuk setiap kemungkinan yang akan terjadi," katanya.

Anggota Komisi VIII DPR RI Saleh Daulay justru menilai, pembenahan haji lebih pada internal pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama (Kemenag). Aspek yang dikritisi yaitu dasar pembenahan fasilitas haji berbasis pengelolaan keuangannya. Saleh menilai upaya itu sebagai wujud realisasi UU Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji.

Pertimbangan aturan itu, dimaksudkan agar akumulasi dana haji berpotensi dapat meningkatkan nilai manfaatnya guna mendukung penyelenggaraan ibadah haji yang lebih berkualitas. Aturan dimaksud menjamin kenyamanan dan ekspresi beragama setiap warga negara.

Penyelenggaraan Ibadah Haji, sesuai amanat UU tersebut adalah rangkaian kegiatan pengelolaan pelaksanaan ibadah haji yang meliputi pelaksanaan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan jemaah haji yang diselenggarakan oleh pemerintah.

"Karena persoalan haji juga ada kaitan dengan pengelolaan anggaran. Jadi, pembenahan aturan itu dulu yang harus dilakukan. Apakah pengelola keuangan ditangani pemerintah atau badan umum lain," kata Saleh dihubungi gresnews.com, Jumat (9/10).

Terkait hal itu, Saleh mengatakan harapan Komisi VIII DPR adalah pengelolaan keuangan haji kedepan tidak lagi melekat pada Kemenag seperti yang terjadi saat ini. Namun, ada pembagian tugas dimana Kemenag dinilai tepat bertindak sebagai regulator (pembuat aturan) dan evaluator. Sementara, untuk bidang pengelolaan keuangan (operator) dapat diserahkan kepada badan umum lainnya.

"Mayoritas masyarakat juga meminta supaya pengelolaan keuangan haji dipisahkan dari Kemenag. Pemisahan dua kewenangan (regulator dan operator) dimaksud agar tercipta mekanisme check and ballances," kata Saleh.

BACA JUGA: