JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sejak 4 Mei 2015 lalu, pemerintah telah melakukan penghentian atau moratorium pengiriman Tenaga Kerja Indonesia untuk pengguna individu atau Pekerja Rumah Tangga (PRT) ke Timur Tengah. Hal itu tertuang dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 260 Tahun 2015.

Meski begitu, pemerintah masih memberikan pengecualian bagi para TKI yang sebelum terbitnya beleid itu sudah mendapatkan pelatihan untuk penempatan kerja. Pemerintah masih memperbolehkan mereka untuk dikirim ke Timur Tengah.

Wilayah Timur Tengah selama ini memang menjadi primadona destinasi para TKI. Dikutip dari data Kemenaker, sebelum pemberlakuan pelarangan itu, cukup banyak TKI yang sedang dalam proses penempatan ke Timur Tengah yaitu mencapai 4.700 orang.

Mereka inilah yang mendapat pengecualian khusus atau tidak terkena aturan moratorium TKI ke Timur Tengah. Namun pengiriman mereka akan menjadi gelombang pengiriman terakhir ke Timur Tengah pasca dikeluarkan aturan pemerintah sejak Mei 2015 lalu.

Dalam beleid itu dijelaskan, negara tujuan di Timur Tengah yang untuk sementara ini dihentikan dari aktivitas adalah Kuwait, Saudi Arabia, Yordania, Aljazair, Bahrain, Irak, Iran, dan Qatar. Selaij itu ada Lebanon, Libya, Maroko, Mauritania, Mesir, Oman, Pakistan, Palestina, Sudan Selatan, Suriah, Tunisia, Uni Emirat Arab dan Yaman.

Keputusan diambil sesuai kewenangan pemerintah yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Negara dalam hal ini pemerintah mendapat akses mengatur penempatan buruh atau tenaga kerja migran Indonesia ke luar negeri.

Dengan begitu, pemerintah telah mengeluarkan peraturan secara permanen menghentikan arus penempatan TKI khusus di sektor pekerja informal atau rumah tangga. Hanya saja, kebijakan itu diakui belum menyelesaikan persoalan para TKI.

Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Nusron Wahid pernah mengatakan, pemerintah akan membuka peluang kerja di dalam negeri terkait penghentian itu. "Masalah lapangan kerja ini juga yang jadi penyebab membludaknya TKI ke Timur Tengah," kata Nusron, beberapa waktu lalu.

Selain itu, kata Nusron, pemerintah juga akan melakukan penguatan infrastruktur imigrasi dan kepolisian. Hal itu dilakukan karena masih sangat mungkin kebijakan moratorium akan membuat pengiriman TKI gelap akan kian banyak.

Hal itu sedikit banyak terbukti ketika Badan Reserse Kriminal Mabes Polri mengungkap praktik perdagangan orang, pada September lalu. Pengungkapan ini terkait laporan salah satu buruh migran yang bekerja di Kairo yang juga korban perkosaan.

Polisi yang melakukan pengembangan berhasil menemukan14 korban lainnya di Malaysia. Ke-14 korban berhasil diselamatkan dan saat ini ditampung di KBRI di Kuala Lumpur, Malaysia.

"Jadi sejak moratorium dengan beberapa negara-negara Timur Tengah, jalur pemberangkatan TKI via Malaysia baru ke Timur Tengah," kata Kasubdit III Kombes Umar Surya Fana, ketika itu.

Celah bebas visa ke Malaysia rupanya dijadikan para pelaku sebagai pintu pemberangkatan para korban perdagangan orang ke negara-negara tujuan di Timur Tengah. Selain melalui jalur udara untuk menuju ke Malaysia, para korban trafficking juga diberangkatkan melalui jalur laut.

Rute yang ditempuh adalah melalui pelabuhan internasional di Batam, Kepulauan Riau (Kepri). "Dari Malaysia mereka akan menggunakan visa wisata, bukan izin bekerja," kata mantan Kapolres Garut itu.

NASIB TKI TAK PASTI - Terkait kebijakan moratorium ini, Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Lalu Muhammad Iqbal mengatakan, pada dasarnya aturan yang dikeluarkan merupakan langkah evaluasi terhadap skema pengiriman TKI yang selama ini bermasalah.

Data Kemlu tahun 2014 mencatat, permasalahan TKI di luar negeri khususnya di Timur Tengah termasuk cukup tinggi. Sesuai informasi yang dihimpun dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Riyadh dan Jeddah, jumlah kasus di Arab Saudi per tahun 2014 lalu mencapai 2.033 kasus.

Banyak motif dan alasan yang melatari terjadinya kasus yang dialami TKI diantaranya lebih pada masalah ketenagakerjaan seperti kontrak dan pengupahan.
Meski begitu, Iqbal berpendapat, pemberlakuan aturan yang belum dibarengi solusi penyelesaian masalah TKI justru akan semakin menyulitkan nasib para pekerja.

"Aturan Kemenaker itu bukan moratorium tetapi sudah pada penghentian total pengiriman TKI ke Timur Tengah. Tetapi masalahnya, saat ini strategi penghentian dan solusi penyelesaiannya tidak jelas," kata Iqbal kepada gresnews.com, Jumat (27/11).

Alhasil, minimnya solusi dari pemerintah, kata Iqbal, justru malah memicu maraknya praktik pengiriman TKI ilegal. Sementara, tidak jelasnya strategi moratorium pengiriman TKI di satu sisi telah menimbulkan kebocoran arus TKI ilegal ke Timur Tengah. "Walaupun dilarang, masih ada TKI yang tetap berangkat ke Timur Tengah," ujarnya.

Kembali pada persoalan awal, Iqbal menilai semua permasalahan yang kini terjadi tidak terlepas dari kurangnya persiapan dan solusi pasca penghentian. Menurutnya, harus ada penguatan sistem penempatan, peningkatan sisi pendidikan, pengetatan aturan terkait pemeriksaan dokumen/paspor dan pengawasan pintu keluar TKI ke luar negeri.

"Kondisi yang terjadi saat ini terletak pada persoalan pengawasan. Pada saat jalur legal ditutup yang terjadi sebagian keluar melalui jalur ilegal," tambah Iqbal.

Kemudian, dari segi akses lapangan kerja, Iqbal menuturkan, sekarang ini, tingkat daya serap pasar kerja masih jauh di bawah angkatan kerja. TKI yang kerap melarikan diri secara ilegal ke luar negeri sebagian besar cukup minim dari segi tingkat pendidikan atau hanya memperoleh ijazah Sekolah Dasar.

Sementara sebagian lagi didominasi angkatan pengangguran. "Harusnya, pada level operasional disiapkan pelatihan dan peningkatan kompetensi tenaga kerja misalnya kemampuan di bidang hospitality dan house service.

Pada dasarnya, kata Iqbal, masalah terbesar ada di tata kelola dalam negeri yaitu terkait tugas Kementerian Tenaga Kerja. Seiring minimnya persiapan itu, ia menyebut, 80 persen masalah tenaga kerja sebenarnya berasal dari dalam negeri sementara persoalan ketenagakerjaan di luar negeri merupakan dampaknya.

CIPTAKAN LAPANGAN KERJA - Koordinator Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) Karsiwen berpendapat, jalan keluar menyelesaikan masalah pekerja migran terletak pada akses penciptaan lapangan kerja yang luas dari pemerintah dan kelayakan upah.

Melihat situasi yang kini berlangsung, Karsiwen menilai, pemerintah hanya melarang tenaga kerja ke luar negeri namun tidak diiringi tindakan mencari jalan keluar yang dapat menjamin nasib para pekerja.

Akibat tidak terpenuhinya kebutuhan para pekerja, ia menilai, kemungkinan besar proses-proses ilegal ke luar negeri akan terus dilakukan para tenaga kerja. "Ini terkait persoalan tuntutan ekonomi jadi mereka bisa melakukan apapun," kata dia.

Di sisi lain, jika banjir tenaga kerja ke luar negeri secara ilegal tak bisa dihentikan, tentu akan menjadi masalah tersendiri bagi Indonesia.

Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf menyebut, saat ini diprediksi ada sekitar 8 juta TKI yang tersebar di berbagai negara. Di Malaysia mencapai 1,5 juta orang, Timur Tengah sekitar 5 juta orang dan sisanya tersebar di negara lainnya.

Politisi Partai Demokrat itu mengakui, cukup banyak temuan maraknya praktik agen penyalur yang melanggar ketentuan dan prosedur yang ditetapkan pemerintah. TKI kerap dijadikan korban oleh agen dan para calo-calo yang memiliki kerjasama dengan negara tujuan.

Menurutnya, aksi ilegal di bidang ketenagakerjaan ini perlu dicegah dengan memperkuat pengawasan agar dapat menghentikan cara-cara ilegal yang marak terjadi selama ini. "Pihak atau agen yang diketahui secara ilegal mengirim tanpa prosedur perlu diminta pertanggungjawaban," tegas Dede.

Dalam kesempatan terpisah, Koordinator Aliansi TKI Menggugat (ATKIM) Yusri Albima mengatakan, aturan moratoriun tanpa solusi konkret dari segi pembenahan tenaga kerja memang akan membahayakan Indonesia.

Yusri mengatakan, pemerintah sebetulnya telah melanggar hak warga negara dan membahayakan nasib masyarakat banyak secara khusus TKI. Pasalnya, selama ini tidak pernah ada tindak lanjut terkait nasib TKI dan peningkatan sektor ketenagakerjaan.

"Penghentian ini tanpa solusi konkret dan upaya pembenahan aturan perjanjian dengan negara-negara Timur Tengah," kata Yusri kepada gresnews.com, Jumat (27/11).

Ancaman dibalik itu, lanjut Yusri, justru akan semakin mendorong aksi nekat TKI menggunakan cara-cara ilegal ke luar negeri. Hal ini, menurut Yusri, menjadi permasalahan baru dan menimbulkan beban besar bagi pemerintah termasuk perwakilan di luar negeri.

Bahkan, pengiriman per tiap bulan dalam tahun ini saja, kata dia, marak terjadi penempatan secara ilegal atau non prosedural. "Terdapat sekitar 3.000 TKI tiap bulan ke timur Tengah meskipun dilarang pemerintah," ungkap Yusri. (dtc)

BACA JUGA: