JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rencana Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (DPDTT) menyerahkan pengelolaan lahan hutan negara seluas 37,2 juta hektare kepada masyarakat sekitar hutan mendapatkan protes dari DPR dan lembaga swadaya masyarakat. Mereka menilai, Kementerian DPDTT harus mengkoordinasikan program ini dengan kementerian lingkungan hidup dan kehutanan serta memastikan daerah yang digarap jelas hutan negara dan bukan hutan adat.

Alasannya, wilayah hutan adat tidak boleh dikelola negara berdasarkan putusan MK. Deputi III Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Arifin Saleh menilai harus diperjelas lebih dulu teritorial di kawasan hutan. Pasalnya sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 (MK 35) yang berisi ketentuan hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah adat.

"Putusan MK 35 memberikan penegasan wilayah masyarakat adat terutama yang di dalamnya ada hutan adat harus dikembalikan ke masyarakat adat. Ini yang seharusnya diperjelas dan ditindaklanjuti. Karena sudah ada peta wilayah adat yang dilakukan masyarakat adat. Basisnya ini," ujar Arifin saat dihubungi Gresnews.com, Jumat (27/2).

Ia menegaskan, kalau peta masyarakat sudah jelas, maka 37,2 juta hektare yang akan dikelola peruntukkan semakin jelas. Sebab putusan MK 35 jelas mempertegas bukan semua hutan milik negara. "Kalau di antara 37,2 juta hektare ada yang masuk wilayah adat, maka masyarakat adat yang mengelola," ujar Arifin.

Kalau berada di luar wilayah adat maka pemerintah bisa mengelola. Soal siapa yang mengelola misalnya diserahkan pada BUMDes atau swasta dikembalikan pada pemerintah. Tapi ia kembali menegaskan wilayahnya harus jelas dulu dan sesuai mandat MK 35.

Arifin menjelaskan kalau hutan yang masuk kategori 37,2 juta hektare tersebut masuk wilayah adat maka sistem pengelolaannya akan dilakukan oleh lembaga adat. Lembaga adat akan membangun sistem kelembagaan ekonomi misalnya dengan Badan Usaha Milik Masyarakat Adat lewat legalitasnya koperasi.

"Sistemnya tentu dikelola secara kolektif dan bukan perorangan. Sebab dikembalikan lembaga adat sebagai pemilik wilayah adat," kata Arifin.

Pasca putusan MK 35, AMAN mulai mengidentifikasi hutan yang masuk ke dalam wilayah adat. AMAN mencatat luas peta wilayah adat ada sebanyak 4,8 juta hektare berdasarkan jumlah anggota yang terdaftar di AMAN. Data tersebut pun sudah ia serahkan pada kementerian lingkungan hidup dan kehutanan.

"Peta ini harus lebih dulu ditindaklanjuti pemerintah sebelum melaksanakan program pengelolaan lahan hutan," tegasnya.

Menurut Arifin, pemerintah harus berpegang pada putusan MK 35. "Kalau pemerintah memberikan kewenangan pengelolaan hutan pada BUMDes maka sama saja mengingkari putusan MK. Kalau pemerintah abai pada putusan MK dan membiarkan BUMDes atau desa yang mengelola hutan, saya khawatir bisa muncul konflik lagi," ujarnya.

Arifin mencontohkan selama ini BUMN juga mengelola lewat perusahaan, konflik yang terjadi tinggi dengan masyarakat adat dan perusahaan bersangkutan. Ia menghimbau pemerintah jangan mengulang pengalaman buruk soal konflik terkait pengelolaan lahan hutan.

Terkait hal ini, Wakil Ketua Komisi IV Viva Yoga Mauladi mengatakan, dalam program pengelolaan lahan hutan sebaiknya kementerian DPDTT lebih dulu berkoordinasi dengan kementerian lingkungan hidup dan kehutanan (LHK) karena menyangkut wilayah hutan. Sebab program-program pemberdayaan masyarakat di kementerian LHK diserahkan ke tanah ulayat dalam bentuk hutan adat, hutan rakyat, dan hutan desa.

"Karena ini merupakan pemberdayaan rakyat, lebih baik rakyat terlibat langsung dalam melakukan proses untuk mengelola hutan. Jangan sampai terhambat proses birokrasi," ujar Viva saat dihubungi Gresnews.com, Jumat (27/2).

Sebelumnya, Menteri DPDTT Marwan Jafar berencana menyerahkan lahan hutan negara seluas 37,2 juta hektare untuk dikelola desa lewat BUMDes. Program ini dinilai  bisa berdampak positif terhadap pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa hutan.

"Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) adalah lembaga yang paling tepat mengelola hutan desa," ujar Marwan di Jakarta, Kamis (26/2) kemarin.

BACA JUGA: