JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan akhir-akhir ini meningkat tajam. Dalam banyak kasus, perempuan yang sejatinya sudah menjadi korban kekerasan rumah tangga justru kembali menjadi korban pelecehan baik dilecehkan oleh institusi atau pelecehan seksual.

Hal ini dinilai Wakil Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Masruchah sangat mengkhawatirkan. Ada kisah, seorang perempuan yang mengalami depresi setelah diceraikan sang suami. Alih-alih disembuhkan, keluarganya malah meminta tolong pada Ketua RT setempat yang akhirnya memanggil satpol PP dan mengirim si perempuan ke dinas sosial. Di tengah jalan, perempuan malang itu diperkosa berjamaah, hamil, dan tak dipercayai hasil visumnya.

Masrichah mengatakan, runutan kejadian sejenis dan juga diskriminasi yang menerpa perempuan nampaknya merupakan gambaran betapa isu patriarki yang salah telah dijejalkan dalam sekian otak manusia di Indonesia. Perempuan, banyak yang terkena praktik pelecehan seksual dan diskriminasi tapi tidak tahu bahwa mereka telah menjadi korban.

Kejadian paling anyar adalah ketika TNI akan mensyaratkan tes keperawanan sebagai bagian seleksi masuk bagi calon prajurit perempuan. "Pemaksaan perkawinan, hubungan seksual yang dipaksakan suami kepada isteri itu masuk pemerkosaan," ujar Masruchah, dalam dialog "Perempuan Inspirasi Perubahan" di Nusantara IV DPR RI, Senayan, Rabu (20/5).

Sebagaimana diakui dalam Pasal 5 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) dijelaskan larangan tindakan kekerasan seksual, meliputi pemaksaan hubungan seksual yang tidak diinginkan. Ia menerangkan, pemerkosaan dapat diartikan dengan memasukkan benda apapun ke dalam vagina.

Fakta yang ada, hukum dan peraturan di Indonesia tak mengurangi angka kekerasan terhadap perempuan. "Sebab statistiknya naik tajam pada dua tahun terkhir, yakni pada tahun 2013 sebanyak lebih 276 ribu kasus menjadi lebih dari 293 ribu kasus pada tahun ini," jelasnya.

Ketika terdapat korban yang datang meminta bantuan, seharusnya digunakan perspektif empati. Sebab negara pun telah menjamin hal tersebut, sehingga alasan waktu yang terlampau larut ataupun pakaian yang minim tak boleh dijadikan pembelaan untuk menolak atau malah memperkosa perempuan.

Pada forum yang sama, sineas Nia Dinata mengatakan, pembuatan film dokumenternya terkait perempuan sangat menceritakan diskriminasi perempuan di bidang kesehatan. Hal tersebut terjadi baik di Rumah Sakit besar di Jakarta maupun pada bidan di desa.

"Jika perempuan memeriksakan kesehatan organ dalamnya, maka para pekerja medis akan menanyakan ´nona atau nyonya?´ di sini sudah terlihat diskriminasi," ujar Nia dalam kesempatan yang sama.

Potongan film dokumenter tersebut memperlihatkan seorang bidan yang mengusir pasiennya saat si pasien menyatakan dirinya seorang nona. Potongan yang lain memberi percakapan seorang dokter yang menyejajarkan pasiennya dengan ´setan´ saat tahu pasien tidak perawan dan masih berstatus nona.

"Bukti realita di masyarakat menyatakan tak ada empati kemanusiaan, padahal mereka sama-sama perempuan dan tak tahu alasan ketidakperawanan pasien," katanya.

Bahkan, hal tersebut telah diajarkan pada sekolah-sekolah kebidanan dan kedokteran. "Mereka diajar menanyakan status perkawinan, ternyata sistem kesehatan kita pun amat patriarki, dan perempuan diajak berpikir seperti itu," katanya.

Ahli Filsafat Rocky Gerung membenarkan perkosaan memang datang dari pikiran predator para kaum laki-laki. Hal ini terbentuk akibat konstruksi patriarki selama 25 abad. "Bahkan di zaman nabi, perempuan tak punya hak berpolitik, para pria selalu menyetarakan budak dengan perempuaan," katanya dalam kesempatan tersebut.

Penyebabnya, konspirasi para laki-laki memang menghendaki perempuan berada di dapur. Struktur sosial paling bawah yang dipegang kaum proletar pada kenyataannya memasukkan perempuan dalam kelas di bawah proletar. Bahkan ketika jabatan tertinggi di perusahaan telah dicapai perempuan, masih terdapat batasan gender di lingkungannya yang tak bisa dilangkahi.

"Perempuan dengan muka babak belur karena telat membuatkan kopi suaminya, yang menangis akibat aborsi perkosaan, itulah mereka, wajah yang melawan patriarki," katanya.

Ia meminta perubahan bagi kaum perempuan tak hanya diucapkan namun juga dijadikan kebiasaan. "Kita berutang pada perempuan,karena gen yang cerdas datang dari ibu, bukan seorang ayah," tukasnya.

BACA JUGA: