JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus penyiksaan dan hukuman mati yang sering menimpa Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ternyata selama ini dianggap sebagai beban oleh para diplomat. Para diplomat kerap enggan mengurusi masalah ini. Bahkan para diplomat ini tak segan menyebut penanganan kasus TKI bermasalah sebagai kasus "sampah".
   
Hal itu diungkapkan Analis Kebijakan Migrant Care Wahyu Susilo dalam diskusi Elegi Untuk TKI di Double Tree, Hotel Hilton, Jakarta, Sabtu (18/4). Wahyu menyatakan, perwakilan luar negeri Indonesia yang selama ini menangani masalah TKI, utamanya penanganan kasus, sering kali merasa terbebani.

"Mereka sebut jika mengurusi penanganan kasus TKI maka hanya ketiban sampahnya saja," katanya.

Pola pikir semacam inilah yang menurutnya harus diubah dan diberi revolusi mental. "Sebab bicara idiom yang dipaparkan Presiden Jokowi saat kampanye dulu, belum ada perubahan mendasar pada institusi atau negara menyikapi masalah TKI ini. Dalam Nawacita jelas tersurat negara harus hadir dalam setiap penderitaan rakyatnya," kata Wahyu.

Namun yang terjadi saat ini merupakan hal yang berkebalikan. Birokrasi buruh migran terkenal mahal dan sulit untuk diajak berdialog. Misalnya saja pada Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) dan Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) selama ini dianggap susah melakukan komunikasi intensif.

"Padahal komunikasi harusnya bisa menjadi modal sosial, tapi mereka anggap TKI warga kelas dua," katanya.

Hal yang sama pun diungkap Koordinator Aliansi TKI Menggugat Yusri Albima. Dia menyatakan, banyak hal yang bisa dilakukan para diplomat untuk melindungi para TKI, namun hal tersebut tak dilakukan. Salah satunya tentang kualifikasi bahasa para diplomat. Selama ini, Indonesia cenderung mengirim para diplomat yang handal berbahasa Inggris, padahal korespondensi menggunakan bahasa negara penempatan.

"Untuk Timur-Tengah tempatkanlah diplomat yang mampu berbahasa Arab, dan mengerti budaya Arab," katanya dalam kesempatan yang sama.

Sebab, menurut pengalamannya sebagai translator, masyarakat Timur-Tengah khususnya Arab akan tunduk pada individu yang mampu berbahasa Arab. Masalah selanjutnya yakni para diplomat yang sering memposisikan dirinya sebagai elite pegawai negeri namun tak bisa melindungi WNI-nya.

"Saya kira bukan tak bisa, karena tak mungkin Kementerian Luar Negeri (Kemlu) menempatkan orang yang bodoh," katanya.

Namun, tuduhan ini dibantah oleh Direktur Jenderal Perlindungan WNI dan Bantuan Hukum Kemlu Lalu Muhamad Iqbal. Dia membenarkan penanganan TKI memang cukup rumit namun masalah ini tetap menjadi fokus utama para diplomat. Hal itu, kata dia, dapat dilihat dari pendidikan seorang diplomat di tiap tingkatnya yang selalu mendapatkan materi perlindungan TKI sebanyak 10 persen.

"Semenjak Ibu Retno menjabat, semangat memberikan kepedulian secara langsung kepada para TKI juga menular kepada para diplomat," katanya.

Namun, ia juga tak menampik adanya para diplomat yang merasa terbebani dan bersikap sebagai elite pegawai negeri. Namun tentu hal ini tak dapat digeneralisir sebab Kemlu masih terus melakukan proses pembenahan diri dan pematangan.

"Kami punya treatment menjadikan TKI sebagai keluarga sehingga harus memberi keberpihakan dan kepedulian," katanya.

Iqbal menceritakan bagaimana kasus-kasus WNI terakhir yang dieksekusi mati telah diputuskan dari setahun lalu. Namun dapat ditunda selama setahun lantaran lobi eksekusif. Padahal hukum di Arab menyatakan setelah keputusan berkekuatan hukum tetap (inkracht) maka eksekusi harus segera dilakukan.

Masyarakat Indonesia diminta menempatkan diri sebagai Raja Arab yang terus-terusan dikritik akibat tak menjalankan eksekusi. Hal ini ia analogikan seperti Presiden Jokowi dalam keputusan mati duo Bali Nine.

"Jangan menutup mata, karena sepanjang tahun lalu kami juga telah membebaskan 238 orang dari hukuman mati," katanya.

Hal itu, menurutnya, dapat diraih karena para diplomat yang mengerti dan mematuhi tata cara diplomasi, serta memiliki keberpihakan dan kepedulian terhadap TKI. 

BACA JUGA: