JAKARTA, GRESNEWS.COM - Menyusul putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 tahun 2012 yang tegas menyatakan hutan adat bukan hutan negara. Perkumopulan HuMa mendorong terbentuknya mandat konstitusi untuk merealisasikan putusan MK tersebut.

Koordinator Program Perkumpulan HuMa Indonesia, Nurul Firmansyah mengatakan perlu langkah sistematis agar percepatan pengakuan hutan adat menjadi mandat konstitusi yang penting dilaksanakan pemerintah.

Dalam putusan MK 35 tahun 2012 atas perkara Nomor 35/PUU-X/2012 yang menguji Pasal 1 angka 6, Pasal 4 ayat (3), Pasal 5 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), Pasal 67 ayat (1), ayat (2), ayat (3) UU No. 41 tahun 1999, Mahakamah Konstitusi telah mengabulkan sebagian dari permohonan para pemohon tersebut.

Pada intinya MK melalui putusan itu mengeluarkan hutan adat dari hutan negara, tetapi tidak menjadikan hutan adat sebagai kategori khusus yang berbeda dengan hutan hak. Melainkan memasukkan keberadaan hutan adat sebagai salah satu jenis dalam hutan hak. Sehingga hutan hak selain terdiri dari hutan yang berada di atas tanah perseorangan/ badan hukum, juga merupakan hutan yang berada pada wilayah masyarakat hukum adat.

Untuk mempercepat proses pengakuan tersebut Perkumpulan HuMa juga memandang penting untuk membangun kesepahaman dan rumusan jalan keluar yang tepat bagi percepatan pengakuan hutan adat. Juga harus ada kesepahaman antara institusi seperti Kementerian Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri, Pemerintah Daerah, Badan Pertanahan Nasional, serta pemerintah daerah dan masyarakat adat.

“Hal ini untuk mengimplementasikan penetapan hutan adat paska putusan MK 35,” kata Nurul pada acara dialog bertajuk “Dialog Nasional Penetapan Hutan Adat Demi Terwujudnya Kesejahteraan Masyarakat” di Dapur Sunda, Setiabudi, Rabu, (1/10).

Ia menilai legalitas keberadaan masyarakat hukum adat masih memerlukan perangkat hukum di tingkat daerah. Seperti Peraturan Daerah dan Surat Keputusan Kepala Daerah. Sinergi peran antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat adat sangat penting untuk menata dan menginventarisasi kembali hutan adat yang terpisah dari hutan negara.

Putusan MK 35 yang tidak merevisi pengakuan bersyarat mengenai keberadaan masyarakat hukum adat sesuai dengan Pasal 67 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Artinya, legalitas keberadaan masyarakat hukum adat masih memerlukan perangkat hukum di tingkat daerah, yaitu Peraturan Daerah dan Surat Keputusan Kepala Daerah.

“Dalam konteks tersebut, peran pemerintah daerah untuk menetapkan masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum melalui Perda dan atau Surat Keputusan Kepala Daerah menjadi elemen utama untuk penetapan hutan adat”, kata Rahmat Hidayat dari Akar Bengkulu dalam kesempatan yang sama.

Hutan adat juga tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat adat. Misalnya dalam wilayah Aceh, hutan adat merupakan salah satu harta kekayaan yang dimiliki oleh masyarakat adat Aceh, dan diatur dalam Qanun Aceh tentang Pemerintahan Mukim. “Bahkan sepanjang sejarahnya, Aceh memiliki Lembaga Adat yaitu namanya Panglima Uteun yang secara khusus bertanggung jawab untuk pengelolaan hutan di Mukim,” ujar Zulfikar Arma dari JKMA Aceh.

Aceh merupakan satu dari 13 lokasi yang didorong oleh Perkumpulan HuMa Indonesia dan mitra-mitranya untuk mengimplementasikan hutan adat paska putusan MK 35. Dengan bersandar pada 3 kondisi, yaitu adanya pengakuan masyarakat hukum adat melalui Peraturan Daerah pengakuan, melalui SK Bupati atau adanya kebijakan daerah yang mengakui masyarakat hukum adat.

Ketigabelas lokasi tersebut mulai dari Kabupaten Aceh Barat dan Pidie di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Kabupaten Merangin di Jambi, Kabupaten Lebong di Bengkulu, Kabupaten Tanah Datar dan Pasaman di Sumatera Barat, Kabupaten Lebak Banten, Kabupaten Sekadau di Kalimantan Barat, Kabupaten Paser di Kalimantan Timur, Kabupaten Bulukumba dan Luwu Utara di Sulawesi Selatan, Kabupaten Sigi dan Morowali di Sulawesi Tengah.

Percepatan pengakuan hutan adat ini dinilai sejalan dengan janji presiden dan wakil presiden terpilih dalam dokumen nawacita. Oleh karena itu langkah-langkah strategis perlu disegerakan termasuk penetapan wilayah hutan adat, pemulihan hutan adat oleh masyarakat adat dengan insentif dana reboisasi pemerintah, mengintegrasikan hutan adat dalam one map policy.

Fasilitasi pengelolaan hutan adat lestari melalui beragam program pemerintah termasuk mendekatkan masyarakat adat dengan modal dan pasar bagi hasil hutan non-kayu juga penting, agar hutan tetap lestari dan masyarakat adat menjadi sejahtera. "Kini saat yg tepat untuk mengembalikan kepercayaan pengelolaan hutan lestari pada rakyat setelah puluhan tahun terjadi salah kelola atas hutan,” tutup Chalid Muhammad, Ketua Badan Pengurus Perkumpulan HuMa Indonesia.

BACA JUGA: