JAKARTA, GRESNEWS.COM - Masalah peningkatan batas usia minimal bagi anak perempuan kembali mencuat. Salah satunya dalam forum Kongres Ulama Perempuan yang berlangsung di Cirebon tanggal 25-27 April lalu. Dalam forum itu, seruan agar ada pembatasan usia minimal pernikahan bagi anak perempuan di atas usia 18 tahun kembali dicuatkan.

Desakan serupa juga disampaikan Koalisi Indonesia untuk Penghentian Perkawinan Anak (Koalisi 18+) yang terdiri dari beberapa lembaga advokasi masyarakat diantaranya Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) dan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), yang selama ini mengadvokasi isu tersebut. Koalisi 18+ mendesak Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Menteri Agama untuk memprioritaskan penyelesaian Rencana Penghapusan Pasal Perkawinan Anak dalam UU Perkawinan.

Dalam UU tersebut pada Pasal 7 Ayat (1) ditegaskan, perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Sementara pada Ayat (2) ditegaskan, dalam hal penyimpangan terhadap Ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria. maupun pihak wanita.

Pasal-pasal ini dinilai pihak Koalisi 18+ sebagai pasal yang melegalkan perkawinan anak, khususnya anak perempuan karena batas minimalnya masih di usia 16 tahun. "Karen itu, langkah Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bersama Menteri Agama untuk menaikan batas usia kawin perempuan dengan revisi UU Perkawinan harus ditindaklanjuti," kata Ajeng Gandini dari ICJR dalam pernyataan tertulis yang diterima gresnews.com, Minggu (7/5).

Koalisi 18+ memandang, masalah perkawinan anak ini sulit dicegah bila Pemerintah tidak segera bertindak cepat merevisi UU Perkawinan atau menindaklanjuti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Pencegahan Perkawinan Anak (Perppu Pencegahan dan Penghapusan Perkawinan Anak). Ajeng mengatakan, sejak tahun 2014 masyarakat sipil telah meminta kenaikan batas usia kawin perempuan melalui Judicial Review UU Perkawinan. "Namun Mahkamah Konstitusi menolak permohonan masyarakat sipil," ujarnya.

Pada tahun 2016, Tim Masyarakat Sipil dan Perumus Draf Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Pencegahan dan Penghapusan Perkawinan Anak telah menyerahkan draf Perppu kepada Menteri Agama RI, Lukman Hakim Saifuddin pada 12 Mei 2016 di Kantor Kementerian Agama. Pembahasan tersebut berlanjut di Kantor Staf Presiden (KSP) bersama Deputi V (Bidang Anak) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dan Kementerian Agama pada 22 Desember 2016.

"Namun sampai saat ini nasib draf Perppu Pencegahan dan Penghapusan Perkawinan Anak hingga sudah hampir satu tahun ini mangkrak tanpa kejelasan ataupun kelanjutan pembahasan dan pengesahannya," tambah Ajeng.

Lia Anggiasih dari KPI menambahkan, justru respons cepat perlindungan anak dan perlawanan atas masalah perkawinan anak dilakukan dari berbagai daerah yang angka perkawinan anaknya tinggi di Indonesia. Misalnya, di Kabupaten Gunung Kidul melalui Peraturan Bupati Gunung Kidul Nomor 36 Tahun 2015 tentang Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak pada 24 Juli 2015.

Kemudian di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) melalui Surat Edaran Gubernur (NTB) nomor 150/1138/Kum tentang Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP). "Peraturan tersebut bahkan merekomendasikan usia perkawinan untuk laki-laki dan perempuan minimal 21 tahun," terang Lia.

Lambannya Pemerintah pusat merespons dan mengubah kebijakan pasal usia kawin dalam UU Perkawinan membuat masyarakat Indonesia dari daerah lain mencari keadilan sendiri, membela hak-haknya dan menggugat langsung kebijakan tersebut kedua kalinya ke Mahkamah Konstitusi. Hari Kartini 21 April lalu, Tim Kuasa Hukum Koalisi 18+ mewakili tiga orang perempuan korban perkawinan anak di Indramayu dan Bengkulu mengajukan permohonan pengujian Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) Ke Mahkamah Konstitusi.

"Para korban kawin anak meminta pasal usia kawin perempuan dalam UU Perkawinan bertentangan dengan Konstitusi sepanjang tidak dibaca 19 tahun, sama dengan usia kawin laki-laki," tegas Lia.

Desakan serupa datang dari suara 780 ulama perempuan dari berbagai daerah di Indonesia dan juga negara lain menghadiri Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang diselenggarakan di Cirebon, Jawa Barat, pada 25-27 April 2017. Salah satu hasil rekomendasi KUPI yang disampaikan langsung kepada Menteri Agama adalah penghapusan perkawinan anak di Indonesia.

Selain itu, KUPI juga merekomendasikan kepada Mahkamah Agung untuk mengeluarkan peraturan yang memperketat pemberian dispensasi bagi anak yang akan menikah di bawah umur yaitu dalam Pasal 7 Ayat (2) UU Perkawinan. Usulan KUPI dalam pengetatan dispensasi melalui Peraturan Mahkamah Agung (Perma) merupakan langkah strategis sembari menunggu selesainya revisi UU Perkawinan.

"Hal ini penting karena UU Perkawinan juga memberikan ruang bagi anak perempuan di bawah usia 16 tahun untuk dinikahkan dengan cara mengajukan Dispensasi ke Pengadilan atau pejabat lain," kata Lia.

Frenia Nababan dari PKBI menegaskan, kini sudah saatnya bagi Presiden Joko Widodo, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta Menteri Agama segera bergegas menyelesaikan tugasnya dengan serius dan tidak lagi menunda-nunda merubah kebijakan batas usia kawin anak perempuan.

"Karena jebakan lingkaran kemiskinan, kegagalan menyelesaikan pendidikan 12 tahun, tingginya kematian ibu dan anak melalui perkawinan anak di Indonesia akan terus bertambah selama perkawinan anak masih diperbolehkan oleh negara melalui Pasal 7 Ayat (1) dan Ayat (2) UU Perkawinan," pungkasnya.

SEGERA DITINDAKLANJUTI - Sementara itu terkait rekomendasi Kongres Ulama Perempuan Indonesia, soal usia minimal anak perempuan menikah di usia 18 tahun, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin memastikan akan menindaklanjuti. Menurut Lukman, judicial review mengenai batasan usia tersebut beberapa waktu lalu pernah diajukan. Namun ditolak oleh hakim Mahkamah Agung karena itu adalah kewenangan legislatif.

"Karena pemerintah juga punya hak untuk melakukan review maka saya akan coba bawa rekomendasi kongres ini dengan menindaklanjutnya bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA)," jelas Lukman usai menutup KUPI 2017 di Pesantren Kebon Jambu Babakan Ciwaringin, Kabupaten Cirebon, Jumat (27/4) petang.

Lukman mengatakan rekomendasi tersebut baik lantaran anak merupakan tanggung jawab pemerintah dan orang tua. "Jangan sampai anak belum masuk usia nikah dipaksa memasuki jenjang rumah tanga. Ini harus menjadi keseriusan kita semua," katanya.

Selain merespon rekomendasi usia pernikahan, Lukman juga akan mempertimbangkan rekomendasi Ma´had Ali untuk perempuan. Untuk saat ini sudah ada 13 Ma´had Ali yang ada di Indonesia. "Kami akan mempersiapkan kurikulum dan segala sesuatu yang terkait Ma´had Ali untuk memperbanyak ulama perempuan," tuturnya.

Di tempat yang sama Wakil Ketua DPD RI, Kanjeng Ratu Hemas, menyambut baik sejumlah hasil musyawarah KUPI tersebut. Termasuk revisi UU perkawinan yang mengatur mengenai batas minimal seseorang bisa menikah.

"Ini yang diharapkan masyrakat untuk keadilan dan kesejahteraan. Kita lihat bahwa yang disampaikan tadi seperti UU Perkawinan itu bagaimana kita bisa mendapat perempuan yang berkualitas sebagai generasi penerus masa depan," ucapnya.

Seperti diketahui KUPI 2017 menelurkan tiga fatwa, salah satunya adalah mengenai pernikahan anak. Dalam fatwa tersebut KUPI merekomendasikan agar pemerintah mengubah UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan terkait dengan batas minimal seorang perempuan boleh menikah dari semula 16 tahun menjadi 18 tahun. Selain itu Kemenkominfo diharapkan mampu memberantas konten-konten pornografi yang berpotensi meningkatnya hubungan seksual di luar nikah atau hubungan seksual anak di bawah umur.

Dalam kongres tersebut, terkait perkawinan anak, para ulama perempuan merekomendasikan agar pemerintah mengubah UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan terkait dengan batas minimal seorang perempuan boleh menikah dari semula 16 tahun menjadi 18 tahun.

Selain soal perkawinan anak, juga dibahas fatwa terkait ´Kekerasan Seksual´. Dalam fatwa ini disebutkan kekerasan seksual dalam bentuk di luar atau dalam pernikahan adalah haram karena melanggar hak asasi manusia yang dijamin dalam Islam.

Disebutkan pula, perkosaan tidak sama dengan perzinahan baik secara pengertian dan pembuktian hingga pada hukuman. Sehingga korban perkosaan tidak bisa dihukum, dikucilkan, dan direndahkan martabat kemanusiaannya. Sehingga korban perkosaan berhak mendapatkan pemulihan secara psikis, fisik, sosial, hingga kompensasi.

Para ulama perempuan memfatwakan, negara dalam kasus kekerasan seksual wajib hadir untuk menjamin pemenuhan hak-hak warga negara, termasuk korban. Jika negara melakukan pengabaian, mempersulit, dan menyia-nyiakan hak warga negara khususnya korban kekerasan seksual maka negara telah dzalim dan melanggar konstitusi.

Tidak hanya itu, bahkan negara atau pihak berwenang melakukan kekerasan seksual maka sepatutnya dihukum lebih berat (taqlidu al uqubah). (dtc)

BACA JUGA: