JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah memastikan tidak akan mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung mengatakan, PP ini dianggap sudah baik untuk buruh maupun pengusaha.

"Kami meyakini PP Pengupahan ini akan bisa diterima kedua belah pihak, bahwa sekarang ini jika masih ada demo karena pemerintah tidak bisa memuaskan semua pihak. Tetap respons yang didapat dari para pelaku dunia usaha dan para buruh di daerah sangat baik karena ada kepastian selama 5 (lima) tahun," kata Pramono seperti dikutip setkab.go.id, Jakarta, Rabu (28/10).

Pramono menjelaskan, formula penghitungan upah yang sebelumnya disampaikan oleh Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution sudah tepat. Formula kenaikannya adalah berdasarkan perhitungan pada kebutuhan hidup layak (KHL) dikalikan laju inflasi tahunan dan tingkat pertumbuhan ekonomi sudah tepat.

Jika masih ada demo buruh yang mempersoalkan PP tersebut, menurut Pramono, hal itu bukan masalah karena negara ini adalah negara demokrasi. "Kali ini pemerintah harus lebih cepat membuat keputusan, dan tidak akan mencabut PP pengupahan ini. Pemerintah berani disalahkan. Jadi lebih baik pemerintah berani," tegas Pramono.

Sebelumnya Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Hanif Dakhiri mengatakan, Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang telah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada Jumat (23/10) lalu. PP tersebut langsung berlaku pada tahun depan.

"Alhamdulillah PP Pengupahan sudah selesai, sudah ditandatangani Presiden dan telah diundangkan. Itu langsung berlaku. Penetapan UMP 2016 oleh Gubernur nanti sudah harus menggunakan formula sebagaimana diamanatkan dalam PP tersebut," kata Menaker seusai membuka Rapat Koordinasi Pengawasan dan Pengendalian di Kantor Kemnaker, Jakarta, Senin (26/10) lalu.

Dengan keluarnya PP Pengupahan tersebut, kata Hanif, penetapan Upah Minimum Propinsi (UMP) tahun 2016 oleh Gubernur sudah harus menggunakan formula yang diamanatkan dalam beleid baru itu.

Hanif mengatakan, pemerintah dengan PP Pengupahan ini ingin memastikan kepentingan dunia usaha dan buruh terpenuhi. Bagi pengusaha, dengan sistem upah yang baru akan mudah berhitung soal rencana bisnis mereka, sedangkan buruh dapat kepastian kenaikan gaji setiap tahun.

"PNS saja naiknya tiap dua tahun. Buruh naik gaji tiap tahun. Jadi buruh sekarang tinggal duduk-duduk cantik gaji tiap tahun naik," kata Hanif.

Menurut Hanif, dengan terbitnya PP ini, upah minimum akan dikembalikan fungsinya sebagai jaring pengaman atau safety net untuk pekerja lajang di bawah masa kerja 1 tahun. Dalam PP tersebut diatur tentang formula perhitungan upah minimum, periodisasi peninjauan komponen dan jenis Kebutuhan Hidup Layak (KHL), wajib struktur dan skala upah, pengenaan denda dan pemotongan upah.

Setiap perusahaan harus punya struktur dan skala upah sehingga tak hanya bergantung dengan UMP. Struktur upah mempertimbangkan jabatan, masa kerja, pendidikan dan kompetensi, sehingga tak dipukul rata bagi yang berpengalaman dengan yang masih baru.

"Upah minimum sekali lagi bukan batas maksimum. Itu hanya sebagai jaring pengaman agar buruh tidak sampai menerima upah di bawah itu. Upah juga seringkali menjadi jualan calon kepala daerah," ujar Menaker.

BURUH MENENTANG - Argumen pemerintah soal pembelaan terhadap buruh dalam PP Pengupahan ini justru tak bisa diterima para buruh yang hari ini melakukan aksi demonstrasi di depan Kantor Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), Jalan Gatot Subroto, Jakarta.

Para buruh dalam aksinya tersebut menuntut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan dibatalkan. "Di mana lagi peran dewan pengupahan? Di mana lagi hak buruh melakukan perundingan? Upah kita dibatasi hanya bisa naik tidak sampai 10%. PP ini dibuat untuk pengusaha, bukan untuk buruh," ucap salah seorang demonstran.

Buruh menilai pemberlakuan PP Nomor 78 tentang Pengupahan yang salah satunya mengatur formula baru, kenaikan upah tiap tahun berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi selain kenaikannya kurang dari 10%, akan menghilangkan hak perundingan upah antara buruh dengan pengusaha.

Seorang buruh wanita sengaja datang dari Cikarang setelah bekerja shift malam di sebuah pabrik. "Saya datang naik motor jauh-jauh dari Cikarang pulang dari shift malam. Saya ingin buruh semua tahu isi PP 78 itu apa, nggak mau asal terima saja," kata Marni sambil berorasi.

Sebelumnya, gelombang penolakan terhadap PP Pengupahan juga terjadi di Kabupaten Jombang. Ratusan buruh dari 11 perusahaan di Kota Santri ini menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor Pemkab Jombang, Kamis (22/10). Massa menuntut agar Bupati Jombang ikut menolak PP Pengupahan yang dinilai merugikan kaum buruh.

"Kami menolak penetapan RPP tentang Pengupahan yang diusulkan pemerintah yang isinya bertentangan dengan hak kaum buruh," kata Koordinator aksi, Heru Sandi kepada wartawan di lokasi.

Penolakan kaum buruh Jombang terhadap RPP Pengupahan itu, menurut Heru bukan tanpa alasan. Pasalnya, jika upah buruh dihitung menggunakan formula dalam RPP tersebut, maka nilai UMK 2016 di Kota Santri ini bakal terlalu kecil.

"UMK yang berjalan dihitung sebagai KHL ditambahkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Kalau menggunakan rumusan itu, UMK Jombang berkisar antara Rp1,9-2 juta. Itu sangat kurang layak," ujarnya.

Heru menjelaskan, UMK yang dinilai layak bagi kaum buruh di Jombang sebesar Rp2,7 juta. Angka yang dituntut kaum buruh itu naik dari UMK 2015 yang ditetapkan Gubenur Jatim Rp1,725 juta.

"Itu sudah ditambahkan inflasi secara nasional 7,18 persen dan pertumbuhan ekonomi 6,44 persen. Makanya Rp2,7 juta sudah cukup layak karena hari ini wilayah-wilayah industri sudah terbangun," tandasnya.

Pada kesempatan itu, Heru juga menyesalkan sikap Dewan Pengupahan Kabupaten Jombang yang sampai hari ini belum menetapkan nilai KHL. Jika mengacu pada ketentuan pengupahan yang masih berlaku, KHL menjadi salah satu komponen untuk menetapkan UMK 2016.

PENGUSAHA KEBERATAN - PP Pengupahan ini digadang pemerintah akan memberikan keadilan bagi buruh dan pengusaha. Uniknya tak hanya kaum buruh yang keberatan dengan formula yang diberikan pemerintah. Kaum pengusaha pun ternyata keberatan dengan formula pengupahan dalam PP ini.

Pengusaha keberatan karena dengan formula menggunakan inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional, kenaikan upah minimum provinsi (UMP) akan berkisar antara 9-10%.

Prince Tee, General Manajer PT Pou Yuen Indonesia yang memproduksi kaos kaki mengatakan, pengusaha tidak mampu menanggung kenaikan gaji yang tinggi. Dia bilang, pengusaha sering melakukan sharing dengan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan dewan pengupahan di daerah soal ini.

Sebenarnya itu secara prinsip kita masih mau terus jalankan usaha di Indonesia. Tapi kita dilema. Kenaikan gaji terlalu tinggi kita nggak mampu. Tapi di sisi lain, pemerintah perlu mengurangi pengangguran dan menjamin hak buruh," ungkap Prince. PT Pou Yuen Indonesia sendiri merupakan perusahaan yang didirikan dengan investasi dari Taiwan.

Prince menjelaskan, bagaimanapun pengusaha akan mendukung pemberlakuan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan tersebut dan akan tetap menjalankan sistem upah sesuai aturan yang berlaku. Mulai 2016 kenaikan upah minimum menggunakan formula baru bakal berlaku.

Dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi saat ini, pengusaha harus mengambil ancang-ancang menyiapkan kenaikan upah buruh 9,5-10% dari upah minimum provinsi (UMP) berjalan.

"Ya sebetulnya cukup berat. Tapi kami berusaha naikkan 9-10% itu. Sekarang sudah sesuai UMK Cianjur yaitu Rp1,6 juta. Ya kalau tambah Rp200 ribu masih sanggup lah kita. Dengan melihat situasi perusahaan yang investasi banyak sekali. Walaupun sebetulnya baru 5-10 tahun mendatang investasi baru kembali," jelasnya.

Sebelumnya, Ketua Apindo Hariadi Sukamdani juga menilai upah buruh yang terlalu tinggi justru tidak mendukung buruh untuk mendapatkan pekerjaan dalam masa waktu yang panjang. Hal ini bisa dilihat dari UU No. 13 Tahun 2013 yang lebih memberatkan pengusaha karena beban cost membayar pegawai sangat tinggi.

Dalam catatannya, setiap daerah yang notabene sebagai wilayah industri kerap menaikkan Upah Minimum Pegawai (UMP) dari 30 sampai 70 persen yang justru mengacaukan kalkulasi ekonomi yang dilakukan pengusaha. Bagi Hariadi, implikasi yang paling nyata saat ini dari regulasi tersebut perusahaan lebih senang mempekerjakan tenaga kontrak.

"Rata-rata pekerja di Indonesia itu hanya bekerja dalam waktu 8 tahun saja, selepas itu mau tak mau perusahaan mempertimbangkan untuk melakukan pemecatan," katanya

Nah, terkait masalah pemecatan ini, urusannya juga kerap tidak mudah lantaran jalur penyelesaian sengketa perburuhan yaitu peradilan hubungan industrial pada faktanya tidak banyak menyelesaikan kasus perburuhan. (dtc)

BACA JUGA: