JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kerangka aturan mengenai buruh migran atau Tenaga Kerja Indonesia dan keluarganya dipandang masih lemah terutama menjamin perlindungan dan hak-haknya. Salah satu penyebabnya karena pemerintah Indonesia belum membuat peraturan perundang-perundangan yang secara khusus melaksanakan mandat Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya.

Konvensi yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada 18 Desember 1990 melalui Resolusi No. 45/158 ini mengamanatkan prinsip-prinsip dasar diantaranya mengatur standar minimum perlindungan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya.

Mengatur standar perlindungan pekerja migran dan kewajiban negara terkait yaitu negara asal, transit serta negara tempat bekerja. Kemudian, mencegah dan menghapuskan eksploitasi seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya.

Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Kementerian Luar Negeri Lalu Muhammad Iqbal mengatakan, konvensi buruh migran PBB pada dasarnya memang sudah ratifikasi pemerintah Indonesia. Sayangnya untuk aturan konkret terkait implementasi konvensi itu masih belum dilaksanakan.

Iqbal menyebut, seharusnya dalam hal memberikan jaminan perlindungan kepada buruh migran dan keluarganya, pemerintah menerbitkan kerangka aturan nasional berupa UU yang mengadopsi norma-norma dalam konvensi PBB tahun 1990.

"Pembuatan UU nantinya harus mengakomodir semua norma-norma internasional di PBB sehingga bisa dianggap sebagai bentuk implementasi terhadap konvensi tersebut," kata Iqbal kepada gresnews.com, Senin (25/1).

Pemerintah yang memegang bidang terkait, kata dia, harus segera mulai melakukan inisiatif pembentukan aturan. Kabar terakhir, rencana ini hanya sampai pada pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa tahun lalu namun prosesnya sama sekali belum dimulai.

Iqbal menambahkan, diundangkannya aturan tentang perlindungan buruh migran dan keluarganya sangat penting bagi kredibilitas Indonesia di mata internasional.

"Ketika Pekerja Rumah Tangga Indonesia bekerja di luar negeri dan kita mempersyaratkan negara tujuan harus memperlakukan pekerja sesuai norma-norma konvensi PBB sementara kita sendiri belum mengimplementasikannya. Ini masalahnya menyangkut kredibilitas," lanjut dia.

Terkait tindak lanjut pembuatan aturan internasional ke ranah nasional, tambah dia, merupakan pilihan tiap negara sejauh mampu melakukan harmonisasi dan implementasi aturan.

IMPLEMENTASI KONVENSI BURUH MIGRAN - Koordinator Jaringan Buruh Migran Indonesia Karsiwen menyebut, pada dasarnya, kondisi hak-hak pekerja dan keluarganya masih terbaikan dan belum terpenuhi dengan baik mulai dari gaji, kontrak kerja dan sebagainya. Hal itu, kata dia, dipengaruhi oleh belum adanya landasan implementasi nasional dalam bentuk Undang-Undang yang memuat aturan sesuai yang diamanatkan konvensi PBB tahun 1990.

"Masalahnya, konvensi tersebut hanya diratifikasi tetapi tidak diimplementasikan. Penerbitan UU Nomor 6 Tahun 2012 tentang Buruh Migran dan Keluarganya itu hanya sekadar bentuk ratifikasi saja sementara implementasinya tidak ada," kata Karsiwen saat dihubungi gresnews.com, Senin (25/1).

Karsiwen menambahkan, apabila pemerintah serius menjalankan hasil nyata dari ratifikasi yang dilakukan, maka seharusnya segera diterbitkan rumusan aturan perundangan nasional mengenai segala bentuk jaminan perlindungan buruh migran dan keluarganya. Tetapi yang terjadi malah hanya sekadar mengesahkan konvensi PBB tetapi tidak menjalankan seluruh aturan dan norma-normanya.

Atas dasar itu, dia menyebut, serikat pekerja buruh migran yang tergabung dalam berbagai asosiasi terus menyuarakan implementasi aturan konkret di tingkat nasional. Salah satunya yaitu menerapkan norma dan prinsip jaminan buruh migran dan keluarganya ke dalam UU Nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.

Disamping implementasinya, Karsiwen menilai, norma dan standar yang diatur dalam konvensi PBB tahun 1990 harus menjadi dasar dirumuskannya revisi UU Nomor 39 Tahun 2004 yang tengah diproses dalam Program Legislasi Nasional Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Selain itu, harapannya juga prinsip konvensi PBB Tahun 1990 dapat diintegrasikan ke dalam UU 39 tahun 2004. Alasannya, dalam Konvensi PBB terkait buruh migran semua diatur bagaimana perlindungan pekerja, gaji, kontrak kerja, jaminan hak keluarga.

Perlindungan gaji, kontrak kerja, libur kerja bisa dirasakan setiap buruh migran ketika telah ada suatu jaminan aturan yang disahkan dalam bentuk UU. Tanpa itu, tidak ada jaminan dan keadilan melainkan hanya melaksanakan UU Nomor 39 Tahun 2004 yang selama ini mengabaikan prinsip perlindungan dan hanya menguntungkan agensi atau jasa pelaksana penempatan TKI di sektor penempatan luar negeri.

Jaringan Buruh Migran memandang pentingnya implikasi aturan perlindungan yang dirintis PBB tersebut karena memastikan nasib seluruh buruh migran dan anggota keluarganya dalam kondisi hidup yang layak.

BACA JUGA: