JAKARTA, GRESNEWS.COM - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyatakan kekhawatirannya atas pernikahan usia dini di kalangan remaja yang kian meningkat. Kasusnya tak hanya terjadi di pedesaan tetapi juga mulai bergeser ke arah perkotaan.

Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012, perempuan usia 15-19 tahun yang menikah di perkotaan meningkat jadi 32%. Bila dibandingkan dengan lima tahun lalu, persentase pernikahan dini di perkotaan 26% dari total populasi kelompok usia tersebut.

Fenomena ini justru berbanding terbalik dengan yang terjadi di pedesaan, dimana pada tahun 2012 yang lalu angka pernikahan dini menurun menjadi 58% jika dibandingkan dengan lima tahun sebelumnya yang mencapai angka 61%.

"Kami mempertanyakan ada apa ini? Inilah yang kita upayakan agar remaja tidak melakukan pernikahan di usia yang terlalu dini melalui program Generasi Berencana (GenRe)," papar Kepala BKKBN Fasli Jalal dalam rilisnya, Minggu (23/11).

Fasli menyampaikan, mayoritas pernikahan usia muda biasanya akan berujung pada perceraian, kekerasan dalam rumah tangga serta persoalan lain.  Pernikahan dini juga turut menjadi faktor penyumbang tingginya angka kematian ibu akibat persalinan yang terlalu muda.

BKKBN berharap program GenRe lewat Eagle Junior Documentary Camp (EJDC) bisa menekan praktik pernikahan usia dini. Program EJDC merupakan kompetisi ide film dokumenter untuk remaja usia 15 sampai 19 Tahun yang bertujuan mengasah kemampuan kreatif remaja di bidang film dokumenter. Serta menjadikan film dokumenter sebagai media mengedukasi tentang konsep Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP).

"Jadi, kita ingin agar sosialisasi pematangan usia pernikahan dapat secara mudah dipahami oleh remaja. Bagaimana caranya? Salah satunya adalah oleh teman mereka sendiri," kata Fasli.

Fasli menjelaskan lahirnya Genre karena melihat keprihatinan remaja saat ini. Sebab pada tahun 2006, ada kenyataan bahwa setiap 1.000 remaja ada 26 di antaranya yang sudah menikah. Lima tahun kemudian pada 2011, angka itu naik menjadi 32 dari 1000 remaja yang menikah.    
"Besarnya arus globalisasi informasi yang tidak terkendali akan berdampak positif dan negatif bagi remaja. Perilaku negatif mengakibatkan hidup tidak sehat dan tidak berakhlak," jelasnya.

Sebuah organisasi kemanusiaan yang fokus pada perlindungan dan pemberdayaan anak bernama Plan Indonesia pada 2011 telah melakukan penelitian tentang pernikahan di usia dini. Hasilnya, pernikahan dini dinilai melanggar hak anak, terutama anak perempuan.

Penelitian Plan Indonesia  dilakukan di delapan kabupaten di Indonesia pada 2011 silam. Wilayah penelitian mencakup Kabupaten Indramayu (Jawa Barat); Grobogan dan Rembang (Jawa Tengah); Tabanan (Bali); Dompu (NTB); serta Timor Tengah Selatan, Sikka, dan Lembata (NTT).

Dari penelitian tersebut tercatat sebanyak 33,5 persen anak usia 13-18 tahun pernah menikah, dan rata-rata mereka menikah pada usia 15-16 tahun. Data ini tak jauh berbeda dengan temuan Bappenas tahun 2008 bahwa 34,5 persen dari 2.049.000 perkawinan tahun 2008 adalah perkawinan anak.

Menurut Gender Specialist Plan Indonesia, Bekti Andari, ada lima faktor yang mempengaruhi perkawinan anak, yaitu perilaku seksual dan kehamilan tidak dikehendaki, tradisi atau budaya, rendahnya pengetahuan kesehatan reproduksi, tingkat pendidikan orangtua, faktor sosio-ekonomi dan geografis serta lemahnya penegakan hukum.

Selain itu, pernikahan dini paling berdampak buruk bagi anak perempuan. Pertama,  anak perempuan rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Kedua, perkawinan dini berdampak pada kesehatan reproduksi anak perempuan. Anak perempuan berusia 10-14 tahun memiliki kemungkinan meninggal lima kali lebih besar, selama kehamilan atau melahirkan dibandingkan dengan perempuan berusia 20-25 tahun.

Terakhir, perkawinan dini mengakibatkan si anak tidak mampu mencapai pendidikan yang lebih tinggi. "Hanya 5,6 persen anak kawin dini yang masih melanjutkan sekolah setelah kawin," jelas Bekti.

BACA JUGA: