JAKARTA, GRESNEWS.COM - Suara penolakan proyek pembangunan pembangkit panas bumi oleh PT. Pertamina Geothermal Energy di Kawasan Gunung Lawu, Karang Anyar, Jawa Tengah terus menggema. Reaksi penolakan sejumlah warga atas rencana ekplorasi panas bumi itu telah dimulai sejak awal 2017 lalu.

Alasan masyarakat lereng Gunung Lawu menolak rencana ekplorasi itu karena mereka khawatir proyek geothermal akan merusak alam, dan mengurangi sumber air bagi warga. Pasalnya Gunung Lawu adalah sumber air bagi masyarakat. Selain masyarakat juga mengaku tak mengetahui rencana dan sosialisasi proyek tersebut.

Salah satu kelompok masyarakat yang getol menyuarakan penolakan proyek ini adalah kelompok masyarakat sekitar Gunung Lawu yang tergabung dalam Gerakan Lawu Raya (GELAR). Bahkan GELAR menuntut pemerintah membatalkan proyek PT. Pertamina Geothermal Energy di Gunung Lawu dan mencabut segala perizinan berkaitan dengan eksploitasi Gunung Lawu demi menjaga fungsi konservasi Gunung Lawu.
Gelar bersama Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Jawa Tengah dan KPA Jawa Timur menolak secara tegas eksploitasi panas bumi di Gunung Lawu tersebut.

Mereka menolak proyek tersebut karena wilayah yang dijadikan WKP berada di kawasan konservasi Gunung Lawu. Padahal kawasan tersebut merupakan lahan vital bagi masyarakat Gunung Lawu. Sebab kawasan tersebut merupakan sumber kehidupan dan penghidupan masyarakat setempat.

"Dalam hal ini, selain untuk melindungi kekayaan dan keseimbangan ekosistem esensial berkelanjutan, fungsi pencegah kerusakan alami (erosi, hutan gundul, dll) serta banyaknya jumlah sumber mata air yang menjadi penopang kehidupan masyarakat dan lahan pertanian menjadi salah satu aspek yang perlu menjadi perhatikan," tulis KPA dalam web resminya.

Disamping itu, KPA menilai, kawasan tersebut juga menjadi pusat kegiatan spiritual di Jawa. Gunung Lawu merupakan salah satu gunung yang menyimpan kekayaan situs sejarah dan kekayaan kosmologis.
Dinyatakan KPA, potensi energi panas bumi yang besar memang patut disyukuri, namun kenyataannya pembangunan dalam rangka eksplorasi, eksploitasi dan pemanfaatan energi panas bumi dapat mengganggu aspek keseimbangan ekosistem, aspek kosmologi, aspek budaya, aspek sejarah, aspek ekonomi dan sosial masyarakat di sekitar.

Penolakan KPA juga mengacu pada kasus serupa  di PLTP Mataloko, di Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. PLTP Mataloko yang dibangun tahun 1997 telah mengakibatkan berbagai dampak seperti berkurangnya sumber mata air, kerusakan lahan pertanian, pendapatan petani menurun akibat turunnya hasil panen, hingga kasus meningkatnya penyakit ISPA dan kulit warga sekitar. Oleh karena itu KPA bersama warga setempat bertekad menolak rencana pembangunan proyek panas bumi di lokasi itu.

Rencana proyek panas bumi itu sendiri telah dimulai sejak Maret 2016, setelah PT. Pertamina Geothermal Energy berhasil memenangkan lelang pengelolaan wilayah kerja panas bumi (WKP) Gunung Lawu sebesar 165 mega watt (MW). WKP Gunung Lawu ditargetkan beroperasi pada 2022. Sesuai dengan pengumuman lelang, WKP Gunung Lawu memiliki luas 60.030 hektar. Dengan perkiraan cadangan terduga uap panas bumi sebesar 195 MW.

Pemerintah menargetkan proyek tersebut dapat memproduksi tenaga listrik panas bumi pada 2023. Jumlah yang diproduksi saat itu direncanakan sebesar 110 megawatt. Sementara pemenang lelang telah  memulai pekerjaannya pada awal 2017. Dimulai dengan survei-survei tentang kondisi geologi, geofisika, dan geokimia. Selain itu akan dilakukan pengambilan sampel uap, air panas, dan bebatuannya. Proses tersebut diprediksi butuh waktu setahun. Proses setelah itu yakni penetapan wilayah kerja.

IZIN MENTERI  LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN -  Menanggapi banyaknya penolakan atas rencana pembangunan proyek panas bumi ini Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, Siti Nurbaya Bakar, sempat menyampaikan bahwa pihaknya memang telah mengizinkan eksplorasi panas bumi di Gunung Lawu tersebut.

Namun izin tersebut diberikan dengan catatan bahwa eksplorasi tidak dilakukan di hutan berstatus cagar alam dan taman nasional. Siti juga menyampaikan bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan perlu mengecek eksplorasi untuk lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) di Gunung Lawu.

"Kalau menurut aturan harusnya enggak masalah. Tapi saya harus lihat lagi. Belum tahu persis. Kalau yang diminta cagar alam artinya di inti, kami harus cek. Kalau bisa diturunkan [status hutan yang diekplorasi]," ujarnya saat menjawab pertanyaan wartawan medio 2016 lalu.

Ia menjelaskan bahwa hutan memiliki kategori yang berlapis-lapis. Ada yang sama sekali tidak boleh diapa-apain, namanya cagar alam dan di bawahnya taman nasional. Seluruhnya kami sebut area konservasi. Kalau di bawah dua hutan itu bisa. "Kalau [ada eksplorasi] di cagar alam harus kami lihat dulu," Ujarnya.

BACA JUGA: